Mohon tunggu...
Dewa Gilang
Dewa Gilang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Single Fighter!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan "Tumbalkan" Afi Demi Ego Kita

2 Juni 2017   07:59 Diperbarui: 2 Juni 2017   08:50 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekitar 5 tahun yang lalu, ketika saya memutuskan hendak membagikan ide-ide yang menggelitik di benak saya dan apa yang telah saya tulis di buku harian, mentor melarang saya menuliskannya di Facebook. Ia menyarankan saya agar bergabung di Kompasiana. Mentor juga melarang keras saya untuk bergabung dengan salah satu "forum sebelah" yang kala itu terkenal dengan "jual belinya". Bagi mentor, wadah yang terbaik bagi saya adalah Kompasiana.

Saya mengikuti saran mentor. Di media sosial saya hanya punya satu akun, yakni di Kompasiana. Sejak itu pula saya menuangkan seluruh ide saya di Kompasiana.

Ketika suhu Pilpres tengah mendekati "suhu didih", mentor -sekali lagi- menyarankan saya agar mengurangi aktivitas menulis saya di Kompasiana. Bahkan, ketika Pilkada Jakarta yang baru saja berlalu, mentor melarang saya untuk menulis di Kompasiana. Larangan yang sempat saya langgar dua kali tanpa sepengetahuan Beliau.

Mencuatnya kasus Afi membuat saya sepenuhnya mengerti saran mentor dan larangannya. Kompasiana ternyata sangat anti dengan plagiat. Warganya sangat kritis terhadap isi tulisan -meski ada beberapa yang kritis seputar latar belakang mazhab dan usia penulis. Awal kemunculan saya bahkan diiringi dengan isu plagiat, karena keseringan saya mengutip Jalaludin Rakhmat. Dan itu membentuk karakter saya. Hal yang tak mungkin saya dapatkan andai saya menulis di luar Kompasiana.

Demikian halnya dengan larangan mentor. Diakui atau tidak, Pilpres dan Pilkada telah membelah bangsa menjadi dua kubu. Uniknya, keduanya merasa paling berhak dan benar. Sebagai penulis, saya merasa harus netral. Walaupun tetap tidak bisa mengurangi subyektivisme. Saya duga larangan mentor demi agar melatih netralitas sebagai penulis kelak. Tapi dugaan saya salah!

Kasus Afi meluluh lantakkan bangunan dugaan saya. Bagi saya Afi adalah salah satu contoh korban dari sengit serta tak sehatnya pertarungan antara ke dua kubu. Saking sengitnya bahkan hingga mematikan nalar, akal sehat serta nurani sebagian di antara kita.

Sejatinya apa yang ditulis Afi adalah keinginan dari seluruh manusia di belahan bumi manapun. Tema yang diusung Afi pun adalah tema yang universal, yang niscaya seluruh agama mendengungkannya. Tak ada yang salah dengan itu. Sayangnya, sebagian kita terlalu cepat "mengorbitkan" Afi. Sesuatu yang wajar saya pikir. Kita bagai menemukan setetes embun penawar dahaga di tengah tandusnya padang keber-agama-an dan keberagaman kita. Yang menjadi kurang ajar ialah memaksa Afi untuk ikut terlibat ke dalam pertarunga dua kubu, dengan menjadikannya -seolah-olah- wakil bagi kubu sebelah untuk menohok kubu lainnya.

Sebaliknya, ketika kasus plagiat membelit Afi, maka kubu lainnya menabuhnya sebagai balasan terhadap kubu sebelah. Caci maki di media sosial datang silih berganti menghujam Afi, bahkan hingga fisiknya. Mereka mengesampingkan usia Afi yang masih terlalu muda sehingga terlalu lugu dan polos.

Iya, Afi memang terlalu muda. Terlalu muda untuk mengakui bahwa ia telah berlaku curang dalam salah satu tulisannya. Terlalu muda untuk mengenal arti dari istilah-istilah yang "njelimet" dari plagiat hingga pharapasing. Terlalu muda untuk dibebani segala macam harapan, keinginan berlebih terlebih caci maki. Dan saya pernah merasakan layaknya yang Afi rasakan.

Iya, saya pernah merasakan apa yang Afi rasakan. Malu untuk mengakui salah. Terlalu melambung tinggi takkala dipuja. Kesedihan yang mendalam ketika dicaci. Satu-satunya yang menjadi pembeda ialah keberadaan mentor. Saya beruntung mempunyai mentor, sedangkan Afi tidak.

Namun Afi mempunyai kesempatan memiliki ribuan -bahkan jutaan- mentor. Kita lah yang seharusnya menjadi mentor bagi Afi. Kita koreksi Afi tanpa caci maki. Kita bina Afi tanpa puja yang berlebihan. Kita bela tanpa membabi-buta. Sehingga Afi menjadi milik semua, milik dari bangsa ini, dan bukan milik dan wakil dari salah satu kubu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun