Zahra kembali melipat kertas berwarna ungu itu. Ketika menerima surat itu dari Raras tadi siang, dadanya tak henti bergemuruh. Nama yang tertulis di sampul depan surat itu membuat zahra merasa ada nyeri di dasar hatinya.
***************
"Ra, ada titipan dari bayu" agak ragu raras memberikan surat itu pada zahra, karena pasti akan membuat luka di hati sahabatnya. Sebenarnya surat itu sudah ada pada raras sejak dua hari yang lalu. Tapi raras menunda memberikannya pada zahra, menunggu waktu yang lebih tepat. Setelah menerima surat itu dari raras, zahra pun tak langsung membukanya, perlu waktu bagi hatinya untuk bisa menerima berita yang dibawa oleh surat itu. Dan malam ini, seusai shalat Isya, ia merasa hatinya sudah lebih tenang dan bisa di ajak kompromi. Diambilnya surat ungu itu dari dalam tasnya. Zahra memilih membaca isi yang tertulis pada surat ungu itu di beranda kamarnya.
"Bayu dan Alin" lirih zahra mengucap dua nama yang tertera di sampul depan surat itu. Perlahan zahra membuka lipatan surat itu, dan mulai membacanya. Kata demi kata mulai ia baca, nyeri di sudut hatinya semakin kuat ia rasa.
"Dua minggu lagi" air mata yang ia tahan sedari tadi tumpah semua. Setetes demi setetes butiran bening itu jatuh membasahi undangan pernikahan bayu dan alin yang dipegangnya. Zahra kembali melipat kertas ungu itu. Nyeri di hatinya sempurna ia rasa.
Belum hilang keterkejutan zahra dengan berita pernikahan bayu dan alin, raras kembali membawa berita duka untuknya pagi ini, berita duka dari bayu.
"Ra, mamanya bayu masuk rumah sakit" berita itu dikirim raras memalui pesan singkat di hp-nya. Setelah berbalas pesan, mereka memutuskna untuk menjenguk ibunda bayu sore ini.
"Kamu pasti bisa ra" raras tak henti memberikan semangat pada zahra, bahkan sejak tadi pagi ketika raras mengajaknya menjenguk ibunda bayu. Gemuruh dihatinya kembali membuncah, entah mampukah ia bertemu dengan bayu lagi, setelah hampir 8 tahun tak bertemu seusai kelulusan mereka.
"Kamar 213". Akhirnya mereka berhasil menemukan kamar tempat ibunda bayu di rawat. Sejenak zahra menghentikan langkahnya di depan kamar itu.
"Kapan mau siap kalo kaya gini terus" raras memegang pundak zahra, berusaha menguatkannya dan meyakinkannya.
"Bismillah...." ucap zahra seraya menguatkan dirinya sendiri. Kedua gadis itu masuk ke dalam ruangan 213, tempat ibunda bayu dirawat. Tak ada siapapun disana, kecuali sang pasien yang sedang terbaring di tempat tidurnya. Senyum ramah ibunda bayu menyambut kedatangan raras dan zahra.
"Tante sendirian aja ?" tanya raras setelah mencium tangan ibunda bayu bergantian dengan zahra. Mereka berdiri di samping kanan tempat tidur ibunda bayu.
"Iya, bayu lagi nganter alin ke depan". Deg, nama itu lagi. Desiran dihatinya kembali ia rasa, gemuruh itu tak pernah surut bahkan sejak tadi pagi keputusan untuk menjenguk ibunda bayu diambil.
"Kalian temennya bayu atau alin ?" tanya ibunda bayu pada mereka berdua.
"Kita temen kuliahnya bayu tante, saya raras...." ucap raras.
"Saya zahra...". Pandangan ibunda bayu tak lepas dari sosok zahra sejak dia memperkenalkan dirinya tadi.
"Oohh.. kamu yang namanya zahra?" tanya ibunda bayu. Zahra mengangguk sambil tersenyum, sangat indah senyum zahra sore itu walaupun masih terlihat kaku. Tangan ibunda bayu tiba - tiba meraih tangan zahra. Bukan main terkejutnya zahra mendapati hal itu. Sorot mata penuh kasih sayang sangat jelas terlihat dari mata ibunda bayu.
"Cantik kamu nak". Hanya itu komentar ibunda bayu, dan perbincangan mereka berlanjut dengan lebih santai. Namun suara ketukan dari arah pintu kamar membuat percakapan mereka terhenti.
"Mungkin itu bayu" ucap ibunda bayu. Tak dipungkiri lagi, debaran di hati zahra semakin kuat begitu mendengar hal itu, terlebih kali ini untuk pertama kalinya mereka bertemu kembali setelah 8 tahun. Zahra dan bayu sebenarnya berteman baik sejak kuliah, bisa dibilang dekat. Bayu dengan kemampuan organisasinya, sementara zahra dengan kecerdasan intelektualnya yang membuat mereka bisa saling mengisi kekurangan dan kelebihan masing - masing. Berawal dari persahabatan antara mereka bertiga (zahra, raras dan bayu), dan perlahan rasa itupun muncul. Zahra hanya bisa menyimpan rasanya sendiri, berharap tak ada yang mengetahui hal itu. Tapi mata raras lebih tajam dari elang, semua gelagat zahra bisa terbaca dengan jelas.
Perlahan pintu kamar itu terbuka, dan terdengar suara langkah kaki orang yang semakin lama semakin jelas terdengar.
"Bayu, ada raras sama zahra neh" ucap ibunda bayu setelah bayu sempurna memperlihatkan dirinya. Bayu segera menghampiri zahra dan raras, dan senyum menawan bayu langsung terlihat.
"Gimana kabar kalian ?" Tanya bayu sambil berjabat tangan dengan zahra dan raras bergantian.
"Baik, gak nyangka bisa ketemu lagi ya bay" raras membuka pembicaraan sore itu.
“Iya, gak nyangka bisa liat kalian disini” senyuman itu kembali merekah.
“Kamu sehat ra?” pandangan bayu tak lepas dari sosok zahra, bahkan sejak bayu mengetahui kedatangan zahra.
“Alhamdulillah… aku sehat” datar jawaban zahra.
Ada yang sedari dulu ingin bayu utarakan pada zahra. Bayu meminta izin pada ibundanya untuk mengajak zahra berbicara di luar, di depan kamar inap 213. Izin itupun segera diterima bayu. Ibunda bayu tahu benar sudah berapa lama anaknya menantikan bisa berbicara berdua dengan zahra, sahabatnya yang memiliki tempat special di hatinya. Walau awalnya bingung, tapi zahra tidak bisa menolaknya, apalagi ada ibunda bayu di sana.
Di depan kamar 213, di sebuah kursi tunggu pasien, zahra dan bayu berbicara.
“Udah lama aku nunggu kamu ra, kamu selama ini ke mana?” tanya bayu yang terus menatap gadis yang duduk di sampingnya. Sementara zahra, pandangannya luruh ke depan sambil sesekali melihat kearah langit – langit.
“Setelah kelulusan kemaren, keluargaku dapet musibah, Ayah ditipu sahabatnya sendiri sampe – sampe semua usahanya abis” Zahra menarik nafas panjang, mengingat peristiwa itu membuatnya kembali merasakan luka dihatinya. Karena peristiwa itulah dia harus pergi dari kota ini dan berpisah dengan dua orang sahabatnya, dan juga cintanya. Bayu setia menunggu zahra membuka kembali suaranya.
“Kita sekeluarga pindah ke jogja, mulai usaha baru di sana,.. Alhamdulillah semuanya udah balik lagi sekarang, setahun lalu buka cabang di Jakarta” lanjut zahra.
“Raras tau kamu pindah ke jogja?” tanya bayu lagi. Zahra mengangguk mantap.
“Tapi kenapa dia bilang nggak tau kamu pindah ke mana?” keheranan tampak jelas dari raut wajah bayu.
“Aku yang minta sama raras buat gak kasih tau ke kamu, aku malu” zahra masih sempurna menenggelamkan wajahnya, tak mengangkatnya sedikitpun.
"Hampir setiap hari aku berusaha nyari kamu, setiap hari juga aku sms dan telpon raras, tapi jawabannya sama, gak tau” emosi mulai terdengar dari nada suara bayu.
“Maaafffff….” Hanya kata itu yang bisa diucapkan zahra.
“Aku cuma pengen tau kabar kamu ra….” Kini lebih pelan kata – kata bayu terdengar.
“Aku nggak mau kamu liat aku terpuruk, susah buat aku nerima kondisi aku waktu itu bayu, terlebih dengan semua kesempurnaan yang kamu punya…” air mata zahra segera tumpah, gemuruh di hatinya mulai pecah. Tak ada pilihan untuknya saat itu, mau tidak mau ia harus pindah bersama ayah dan bundanya.
"Alin adiknya temen kantorku Ra, dia yang ngenalin aku sama Alin" bayu mencoba menetralisir pembicaraan mereka.
"Dia cantik bay".
"Dia mirip kamu ra, periang, baik, perhatian, cerdas, dan satu kebiasannya yang bikin aku terus inget sama kamu" bayu memotong kalimatnya.
"Apa?" tanya zahra yang kali ini sudah bisa menatap bayu.
"Satu bulan sekali, dia selalu keliling - keliling lampu merah, nyari pengemis, tukang sapu jalan, anak jalanan, buat di bagi nasi bungkus" bayu menatap lekat mata zahra.
"Karena itulah aku mutusin buka hati aku buat dia". Deg, ucapan terkhir bayu membuat zahra merasakan penyesalan, nyeri, yang bercampur menjadi satu. Dulu, raras sering menyarankan dirinya untuk mengatakan perasaannya pada bayu, tapi sebanyak itu pula zahra menolaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H