Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suaminya adalah Suamiku

10 Juli 2012   14:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: http://www.sleeplessinkl.com/wp-content/uploads/2009/06/ring.jpg

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi: http://www.sleeplessinkl.com/wp-content/uploads/2009/06/ring.jpg"][/caption]

Pagi mulai beranjak, Dilla sudah siap dengan riasan cantik diwajahnya. Dibalut dengan kebaya putih, kerudung putih yang berhiaskan beberapa ornamen bunga dan mahkota kecil diatasnya, membuat wajahnya semakin terlihat cantik dan anggun. Dilla memegang erat lengan sang Ibu, mereka berjalan beriringan menuruni tangga sebuah mesjid yang sudah ramai dengan para tamu undangan dan keluarga serta para sahabat. Sesekali Dilla menyeka air matanya, dan sang Ibunda segera menggenggam tangan Dilla sembari tersenyum seraya menguatkannya.

Masih sangat lekat dalam ingatannya tentang peristiwa yang terjadi sekitar tiga tahun lalu. Peristiwa saat dirinya harus menyerahkan lelaki yang amat dicintainya demi sang kakak, Fanya.

“Aku akan menikah dengan Fanya” ucap Bara sore itu. Dilla hanya mampu tersenyum mendengarnya. Rasa bahagia hadir disela rasa sedihnya. Tapi Dilla berusaha menepis semua keraguan dalam hatinya. Dilla harus merelakan lelaki itu, lelaki yang sudah dikenalnya sejak SMA, yang sudah mengisi hari – harinya dan menjadi lelaki teristimewanya setelah Ayah.

Persiapan demi persiapan begitu cepat dilakukan, hanya butuh waktu sekitar 3 bulan untuk mempersiapkan hari besar Fanya dan Bara. Fanya dan Bara terlihat sangat serasi di atas pelaminan. Mengenakan kebaya berwarna hijau, mereka tersenyum menyambut setiap tamu undangan yang hadir. Dilla berusaha menyibukkan dirinya dengan bertindak sebagai penanggung jawab acara besar sang kakak. Bukan tanpa alasan Dilla melakukannya. Jika dirinya hanya berdiri disamping sang Ibunda sembari menyalami para tamu, hal itu akan membuat lukanya semakin nyeri. Dilla lebih memilih berjalan kesana kemari dan memastikan semua hal berjalan sesuai rencana.

Peristiwa besar sang kakak berhasil dilaluinya. Selanjutnya, bahkan lebih sulit dari apa yang diperkirakan. Fanya dan Bara memilih tinggal sementara di rumah ibunda Fanya. Itu berarti Dilla akan lebih sering bertemu dengan Bara dan menyaksikan kebersamaam Fanya dan Bara di rumahnya. Ternyata itu jauh lebih sulit dari hanya menyaksikan kebersamaan sehari mereka di pelaminan. Bila sudah seperti itu, Dilla lebih memilih menghabiskan sisa senjanya di taman dekat rumah sembari memberi makan merpati yang berterbangan bebas disana.

Tapi kebahagiaan Fanya tak berlangsung lama. Enam bulan setelah pernikahan mereka, Fanya jatuh sakit. Entah penyakit apa yang menggerogoti tubuhnya, sampai – sampai hanya tersisa tulang yang terbungkus kulit. Fanya, wajahnya yang semula cantik kini terlihat pucat dan layu. Tak ada lagi cahaya keceriaan yang terpancar. Semua cara sudah dilakukan untuk mengobati penyakit Fanya, bahkan cara tradisional pun tak lupa mereka coba. Dan pada saat seperti itulah, kesetiaan Bara terlihat sangat jelas. Bara mampu menguatkan Fanya dan membuat semangatnya senantiasa menyala. Tak tampak sedikitpun kelelahan yang tersirat dari wajahnya.

“Terima kasih sudah menjaga kak Fanya” ucap Dilla suatu senja di taman tempatnya biasa menghabiskan waktu.

“Itu sudah kewajibanku sebagai suaminya” balas Bara.

“Ya, suami... kamu benar”. Tiba – tiba kesadaran akan status Bara membuat Dilla kembali tersadar bahwa kondisinya sudah jauh berbeda kini. Hari – hari berlalu begitu cepat, dan kondisi kesehatan Fanya tak kunjung membaik.

“Aku kembalikan Bara padamu, terima kasih sudah meminjamkannya padaku, maafkarena sudah membuatmu bersedih dan terluka bahkan jauh sebelum ini” ucap Fanya diantara tarikan nafasnya yang sudah mulai tersengal. Fanya menggenggam erat tangan sang adik dan juga suaminya, kemudian menautkannya. Dilla hanya bisa menangis, tak sepatah katapun mampu keluar dari mulutnya.

Setahun lalu Dilla memang merelakan Bara menikah dengan Fanya, itu pun karena memang Dilla yang meminta Bara melakukannya. Karena menurut Dilla hanya itulah cara satu – satunya yang bisa dilakukan agar Fanya kembali memiliki semangat hidup setelah peristiwa kelam yang menimpanya. Fanya sempat mengalami pelecehan yang dilakukan oleh calon suaminya sendiri, dan kejadian itu sukses membuat Fanya terpuruk dalam kesedihannya. Sedari dulu Fanya memiliki semua kesempurnaan yang menurut Dilla tidak dimilikinya. Parasnya yang cantik, prestasinya di bidang akademik, belum lagi Fanya juga pernah menjuarai festival menyanyi sewaktu remaja, dan tentu saja Fanya menjadi putri kebanggaan orang tua mereka. Dibanding – bandingkan dengan sang kakak, tentu Dilla tahu benar bagaimana rasanya. Itu pulalah yang menjadi salah satu alasan Bara mau mengorbankan hatinya demi Dilla.

Fanya hanya mampu bertahan 6 bulan dengan sakitnya. Usahanya bertahan harus berakhir saat Tuhan mengambil dirinya. Dan akhirnya Dilla benar – benar harus merelakan kepergian sang kakak.

Meski sudah mengembalikan Bara padanya, tapi tak membuat Dilla segera menerima Bara kembali. Butuh waktu bagi Dilla untuk menenangkan diri. Bayang – bayang Fanya masih setia di fikirannya. Dilla butuh waktu setidaknya 1 tahun untuk kembali menerima Bara di hatinya.

Satu demi satu peristiwa besar dalam hidupnya kembali berputar, mengiringi langkah kakinya menuju tempat akad nikahnya. Seorang pemuda tampan berpeci putih sudah duduk menunggunya. Dan prosesi sakral itu pun dimulai begitu Dilla duduk disamping pemuda itu dan mengenakan selendang putih dikepala mereka. Semua hening mendengarkan ucapan penghulu. Dilanjutkan dengan ucapan Ayah yang diikuti dengan kata – kata kesanggupan dari Bara.

“Saya terima nikahnya Dilla putri kusuma binti Kusuma wiraharja dengan maskawin seperangkat alat solat, emas dan surah Ar-Rohman dibayar tunai” tegas ucapan Bara membahana di ruangan yang penuh dengan para undangan itu. Setelah disahkan oleh saksi dan penghulu, semua larut dalam lantunan do’a. Bara kemudian mulai melantunkan surah Ar-Rahman yang dijadikan mahar perkawinan mereka. Satu demi satu ayat mampu Bara lantunkan, sementara semua yang hadir mendengarkan dengan takzim, termasuk Dilla.

Dilla akhirnya benar – benar menemukan kebahagiaannya. Meski harus merelakan lelaki teristimewanya bersanding dan menjadi suami kakaknya sebelum akhirnya menjadi suaminya. Dilla sama sekali takberfikir akan bersatu dengan Bara pada akhirnya, apalagi harus dengan cara yang seperti ini. Tapi yang Dilla tahu, Tuhan akan selalu memberikan indah pada setiap akhir dari perjuangannya jika semua dijalani dengan ikhlas dan selalu bersyukur. Seperti salah satu ayat yang terdapat dalam surah favoritnya, Ar-Rahman “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun