[caption id="attachment_339164" align="aligncenter" width="640" caption="gunung Sindoro dan Sumbing, dilihat dari puncak gunung Prau. (doc.pri)"][/caption]
Mendaki gunung belakangan menjadi salah satu kegiatan outdor yang banyak diminati bahkan menjadi trend. Tidak hanya di kalangan anak muda, tetapi penggiat kegiatan ini pun tak sedikit juga berasal dari golongan tua. Saya pernah bertemu seorang kakek ketika mendaki gunung Ciremai, Agustus tahun lalu. Ketika bertemu di track menuju puncak Ciremai, kakek itu hanya membawa sebuah daypack kecil dan tongkat kayu untuk membantunya berjalan. Saya pun pernah bertemu dengan seorang Ibu yang usianya sudah tak bisa dibilang muda lagi dan membuat saya iri dengan semangatnya mendaki.
Dikalangan kaum muda sendiri, setelah kemunculan film 5 cm yang mengambil lokasi di gunung Semeru, membuat pecinta kegiatan outdor ini semakin meningkat. Dengan bermunculannya para pendaki baru sebenarnya membawa dampak positif bagi Taman Nasional yang mengelola kawasan wisata tersebut. Tapi tak sedikit pula dampak negatif yang menyertainya.
Mendaki gunung bukanlah kegiatan untuk gagah – gagahan. Bagi teman – teman yang menganggap para pendaki gunung sebagai sosok idaman untuk dijadikan pacar (atau bahkan suami), cobalah difikirkan lagi. Para pendaki gunung itu hobinya PHP (Pemberi Harapan Palsu). Beberapa rahasia yang sebenarnya sudah bukan rahasia lagi di anatara para pendaki akan saya jabarkan disini.
1.Hampir semua pendaki gunung itu hobinya PHP.
Ketika anda sedang mendaki gunung lantas kebetulan berpapasan dengan rombongan pendaki lain yang hendak turun, jangan sekali – kali bertanya jarak pada mereka. Anda hanya akan mendapat jawaban yang menyenangkan sesaat, lantas nyatanya hanya kecewa. Jika anda bertanya masih seberapa lama lagi sampai di puncak gunung, sambil tersenyum mereka akan mengatakan “Sebentar lagi puncak mba, ayo semangat”. Sebentarnya mereka itu entah seberapa lama lagi, tak jelas akhirnya. Atau kadang mereka menjawab “Tinggal 2 belokan lagi kok mba”. Iyalah dua belokan, kan memang selama ini juga cuma ada dua belokan, belok kanan dan belok kiri. Seberapa banyak belokan yang harus dilewati, itu yang tidak bisa mereka jawab dengan pasti.
Tetapi dengan cara itulah mereka saling menguatkan antar sesama pendaki. Sekalipun sudah tau akan mendapat jawaban yang seperti apa, nyatanya pertanyaan seperti itu hampir selalu ditanyakan oleh rombongan pendaki yang kebetulan berpapasan. Jawaban yang membuat mereka lebih bersemangat.
2.Pendaki Gunung itu hatinya lemah
Kesan pertama ketika melihat seorang pendaki yang menyandang cariel 100 liter di pundaknya, pastilah kita menganggap lelaki itu kuat dan gagah. Tapi justru para lelaki seperti itulah yang hatinya lemah. Mereka tak bisa melihat rekannya kesusahan atau sakit, bawaannya pingin nolong. Padahal beban di pundak mereka saja sudah susah payah mereka bawa. Pernah ketika mendaki gunung Gede 2 tahun lalu, salah seorang rekan wanita di rombongan kami sudah tak sanggup lagi membawa daypacknya. Alhasil salah seorang lelaki “berhati lemah” di rombongan kami bersedia membawakan daypacknya. Sebuah cariel 100 liter di bagian belakang di tambah daypack 25 liter di bagian depannya... woowww... kalo saya pastinya sudah melambaikan tangan ke kamera terlebih dahulu sebelum melangkah.
Jika kebetulan anda sedang melewati track sulit berupa tanjakan yang terjal atau semacamnya, pada saat bersamaan ada pendaki lain yang bahakan tak anda kenal melihat anda kesulitan, sudah bisa dipastikan pendaki itu akan mengulurkan tangannya untuk memberikan bantuannya pada anda. Salah satu bukti kelemahan hati para pendaki gunung yang lain menurut saya.
[caption id="attachment_339168" align="aligncenter" width="512" caption="para pelaku PHP... ^^"]
3.Pendaki Gunung tidak sama dengan Pecinta Alam
Bulan Mei kemarin ketika mendaki gunung Semeru, saya melihat pemandangan yang benar – benar membuat hati saya miris. Di beberapa tempat di Kalimati dan Ranukumbolo, saya banyak menemukan tisu basah bekas berserakan diantara semak - semak. Tisu basah – tisu basah itu biasa digunakan untuk alat pembersih ketika buang air besar maupun kecil. Seharusnya tisu basah – tisu basah bekas itu dibawa kembali dan dikumpulkan dengan sampah lain dan dibawa saat turun, kemudian dikumpulkan di basecamp terakhir. Tapi nyatanya tisu basah bekas itu justru mengotori kawasan gunung Semeru.
Bukan hanya itu, di beberapa kesempatan, saya pernah melihat beberapa pendaki yang memetik bunga edelweis dan jenis anggrek hutan kemudian membawanya sebagai kenang – kenangan. Seharusnya tiap – tiap kita punya rasa memiliki yang tinggi terhadap kelangsungan kelestarian bumi, termasuk menjaga kebersihan dan kelestarian tempat dimanapun kita berada. Bukan malah menjadi bagian dari para perusak.
4.Pendaki Gunung itu boros
Berbicara tentang mendaki gunung, tentu tak bisa dilepaskan dengan berbagai peralatan yang diperlukan ketika mendaki. Dan sebagian besar peralatan mendaki memiliki harga yang tidak bisa dibilang murah. Silahkan cek di toko sebelah untuk membandingkan harganya...hehehee. Mulai dari daypack / cariel, tenda, sepatu / sandal gunung, sleeping bag, matras, jaket, dan peralatan yang lainnya. Meskipun bisa saling pinjam, tapi biasanya para pendaki memilih untuk memiliki sendiri barang – barang itu. Dan setelah memiliki itu, meraka akan merawat barang itu karena sadar akan pentingnya barang – barang tersebut untuk kebutuhan mendakinya. Peralatan pribadi itu menjadi nyawanya para pendaki.
5.Pendaki Gunung itu gak pernah mandi
Saya jadi teringat ketika salah seorang rekan kerja saya bertanya “Kalo digunung itu mandinya gimana?”. saya langsung tertawa terbahak – bahak mendengar pertanyaan itu. Saya pun menjawab bahwa kami tidak mandi bahkan pernah sampai seminggu (ketika saya ke Semeru). Selanjutnya gantian dia yang tertawa mendengar pengakuan jujur saya. Tak mandi bukan merarti kami tak membersihkan diri kami. Kami membersikhan wajah dan tubuh kami dengan menggunakan tisu basah. Sudah mirip anak bayi ya dibersihkannya dengan tisu basah...heheheee
6.Pendaki Gunung biasanya sok ramah
Salah satu hal yang hampir pasti akan kita temui ketika mendaki adalah kebiasaan saling sapa diantara para pendaki saat berpapasan dengan pendaki lain. Meskipun tak saling kenal, para pendaki biasanya selalu bertegur sapa bila berpapasan, atau minimal memberi seulas senyum. Apa namanya kalau bukan sok ramah? Betul nggak? ^^
Bagi saya, mendaki sama halnya menikah dengan alam. Mulai dari mempelajari sifat dan track sebelum mendaki, melakukan persiapan fisik dan olahraga, membawa bekal yang cukup untuk selama mendaki, peralatan yang juga harus mendukung pendakian, dan juga melindungi dan tak merusak alam. Agak berlebihan mungkin perumpamaan saya, tapi itulah yang saya rasakan selama ini.
Meski tidak semua pendaki memiliki sifat seperti yang saya jabarkan, tapi sedikit banyak seperti itulah yang saya tangkap selama berinteraksi dengan para pendaki yang saya kenal. Saya hanya ingin memperingatkan untuk yang belum pernah merasakan yang namanya mendaki gunung, jangan pernah anda mendaki gunung jika tak mau terkena akbiatnya. Akibat setelah mencoba mendaki gunung untuk yang pertama kalinya adalah sifat candunya yang tak kenal putus. Gak tenang tiap liat tanggal merah di kalender, bawaannya pingin ndaki aja... hehehehehee. Jadi, masih berfikir untuk mencoba mendaki gunung dan memiliki pasangan seorang pendaki gunung?
[caption id="attachment_339165" align="aligncenter" width="384" caption="Kegagahan puncak Mahameru. (doc.pri)"]
*****
Maka disinilah kami berdiri
Menjejak bumi, menjunjung langit
Menggenggam awan dan harapan
Mentafakuri diri yang hanya butiran debu
Diantara berjuta nikmat dan helaan nafas...
***** Dewa Kurniawati, August 2014 *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H