Cuaca pagi yang cerah di desa rangkat, secerah suasana hatiku saat ini. Mentari belum lagi menyembul, ketika jeng pemi sibuk dengan minyak - minyak pijetnya yang ia jejerkan di meja ruang tamu, persiapan memijat hari ini. "Rencananya hari ini ada pijet di mana jeng ?" tanyaku sambil membantu merapikan minyak pijet beraneka aroma yang ia letakkan di meja. “Hari ini special buat mas Hans, jadi gak terima orderan pijet yang lain” jawabnya sambil tersenyum ramah padaku. “Ehm… mas hans” ucapku padanya. Lagi – lagi ia hanya tersenyum. Kubalas senyumnya sebisaku, berharap tak ada pertanda yang ia lihat. Slesai membantu jeng pemi membereskan minyak pijetnya dan meletakkannya pada sebuah rak khusus minyak pijet, aku pamit ke belakang untuk membereskan piring dan gelas bekas sarapan kami pagi ini. “Ah… pria itu” batinku dalam hati. Tak hendak ku mencari sakit, karena setiap orang tak ingin merasakan sakit. Tapi kekagumanku pada pria itu, biarlah hanya aku dan Tuhan yang tahu. Perlahan tapi pasti, harus kukubur rasaku padanya. Mencoba menata hati untuk yang lain. Tiba – tiba aku teringat bocah ingusan itu. Ya, peristiwa itu masih membekas di hatiku. Tapi tak hendak ku menyalahkan dia, ada rasa yang jelas – jelas ia pendam, tak tahu apa. Berharap ia sukses dengan tobatnya dan memberikan kabar baik pada kami semua. Dan ingatanku kembali menerawang pada sosok pria berkacamata di desaku dulu, sebelum aku hijrah ke Desa Rangkat ini. Pria berkacamata yang juga hanya akan menjadi bagian dari imaji dan khayalku saja, nyaris terlalu sempurna untukku. Berkharisma, tampan, berpendidikan dan baik hati, memang terlalu sempurna untukku yang hanya seorang tukang obat yang kabur dari ibu tirinya karena hendak dinikahkan dengan juragan sapi kaya raya. Sabtu, selalu menjadi hari dimana jeng pemi mengkhususkan pijatnya hanya untuk mas hans. Pijetnya tutup. Itulah yang selalu ia katakana padaku dan pada pelanggannya jika sabtu tiba. “Mau kemana zwan?” terdengar suara jeng pemi berbicara dengan seseorang dari arah depan. “Biasa jeng, hari sabtu jadwalnya mbolang” jawab orang yang diajak bicara oleh jeng pemi. “Zwan…..” ucapku. Aku segera meletakkan gelas dan piring yang selesai kucuci pada rak piring. Kucuci bersih tanganku kemudian berlari kedepan. “Zwaaaannnn…” panggilku dari dalam rumah jeng pemi. “Kenapa lari – lari gitu dewa?” Tanya jeng pemi yang berdiri di depan pintu rumah begitu melihatku berlari agak terengah. “Gak apa – apa jeng” jawabku sambil berusaha mengatur nafasku. “Apa dewa” zwan masih berdiri di depan gerbang rumah jeng pemi, menungguku membuka suara. Ku beri senyum terindahku pagi ini padanya. “Aku boleh ikut mbolang hari ini ?” pintaku pada zwan. Jeng pemi yang berdiri di sampingku terlihat bingung dengan pertanyaanku, tak biasa. Bukan hanya jeng pemi, zwan-pun sama bingungnya. Tapi senyuman langsung mengembang dari bibir zwan. “Beneran wa ?" tanya zwan meyakinkan. Aku mengangguk mantap. "Waaahhhh… pasti seru neh ada temennya” jawab zwan kemudian. Syukurlah, tinggal restu jeng pemi yang beum ku dapat. "Jeng, aku izin ya mau ikut mbolang sama zwan, mau sedikit merefresh otak" pintaku paja jeng pemi. "Yakin dewa mau ikut sama zwan ? Biasanya zwan mbolangnya jauh loh" tanya jeng pemi dengan nada yang agak khawatir. "Yakin, tenang jeng aku udah punya bekal kok" aku mencoba meyakinkan jeng pemi, semoga ia tak khawatir padaku. "Bekel ?" ucap jeng pemi dan zwan berbarengan. Aku kemudian masuk ke dalam kamarku, mengambil sebuah tas ransel berukuran sedang. Kumasukkan beberapa potong pakaianku, tak lupa kumasukkan botol madu andalanku, balsam telon yang tak pernah absen dari tasku, HP, dompet, peralatan mandi. "Semoga ini cukup" batinku sambil menutup relsleting tasku. Ups, ada yang terlupa.... Aku juga membawa beberapa botol jamu kunyit asam sebagai tambahan untuk staminaku. Setelah semua persiapan kurasa cukup, aku bergegas menemui jeng pemi dan zwan di depan rumah. "Aku siap". Dengan ransel menempel di pundakku dan senyum terindahku hari ini, aku menemui jeng pemi dan zwan yang asik duduk berbincang di depan rumah. Mereka lalu bangkit. "Aku pamit ya jeng". Ku peluk jeng pemi erat sebagai ucapan perpisahan kami, hanya sementara. "Hati - hati ya dewa, kalo ada apa-apa jangan lupa kasih kabar, HP-nya jangan dimatiin biar aku bisa hubungin terus". Aku tersenyum mendengar pesan jeng pemi, terdengar kekhawatiran di dalamnya. "Titip dewa ya zwan" pesan jeng pemi pada zwan. "Beres, tenang aja jeng, dijamin aman deh" dengan memberikan dua jempolnya gadis petualang itu berusaha meyakinkan jeng pemi. Setelah berpamitan pada jeng pemi, kami berdua memulai perjalanan kami pagi ini. Petualangan baru akan aku mulai hari ini. Hhmm... apa ya yang akan kutemui hari ini ??? berharap bisa memberikan pengalam yang indah. Indah, sudah pasti akan ada banyak keindahan yang aku temui, dan luka ini semoga akan terbawa pergi..... *Mencoba berimajinasi, berpetualang dalam imaji dan khayal....*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H