[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Image from google"][/caption]
Nindi terbangun dari tidurnya sambil terisak, nafasnya naik turun tak beraturan. Butiran bening masih tersisa disudut matanya yang sembab. Entah sudah berapa kali ia menangis saat tengah tertidur, dan tak terhitung butiran air mata yang ia tumpahkan dari kelopak mata indahnya. Nindi bangkit dan duduk disisi tempat tidurnya, menyeka sisa air matanya dengan tangannya.
“Sayang, entah Bunda bisa bertahan atau tidak…” ucap Nindi sambil mengelus lembut perutnya. Air matanya kembali metes, kali iniia biarkan butiran bening itu menyapa lembut pipinya. Nindi kembali teringat peristiwa yang terjadi dua minggu lalu.
“Hari ini aku ada rapat diluar, kemungkinan pulangnya agak malam” ucap Arman pada istrinya sebelum berangkat ke kantor pagi tadi. Nindi mengiringi langkah kaki suaminya tanpa menaruh curiga sedikitpun. Padahal rencananya hari ini Nindi hendak meminta Arman menemaninya ke dokter kandungan. Sudah beberapa hari ini Nindi merasa perutnya mual tak beraturan.
Rupanya kali ini Tuhan menunjukkan lagi salah satu bukti kebesaran-Nya. Setelah menunggu selama dua tahun, akhirnya Nindi dinyatakan positif hamil oleh dr.Wiwie, dokter kandungan di salah satu Rumah Sakit swasta ternama di pusat kota Jakarta. Nindi yang ditemani Rasti sahabatnya tak bisa menutupi kebahagiaan yang ia rasakan. Impiannya untuk memiliki buah hati akhirnya akan segera terwujud. Nindi berharap bisa memberikan kejutan bagi suaminya saat sang suami pulang dari meetingnya malam nanti.
Sesampainya di rumah, Nindi tak langsung memberitahu berita bahagia itu pada Arman. Ia meletakkan surat hasil tes kehamilannya di dalam laci meja riasnya. Dan kesibukan rutin hariannya membuat Nindi lupa membritahu hal itu pada Arman.
Dan pagi ini, Nindi benar – benar mengubur dalam – dalam niatnya memberitahu Arman setelah sesuatu yang tak pernah didudanya terjadi. Telepon sesuler Arman yang diletakkan diatas meja rias tepat dihadapannya tak henti berbunyi. Sementara sang suami berada di dalam kamar mandi, Nindi yangtengah sibuk merias diri melihat siapakah gerangan yang pagi – pagi begini menelpon suaminya.
Baru hendak mengambil ponsel Arman, tapi bunyinya sudah terlebih dahulu berhenti. Nindi masih terdiam di tempatnya, tanpa melakukan apa – apa. Dan lamunanya kembali disadarkan oleh suara merdu R Kelly yang keluar dari ponsel suaminya.
“Alda…” nama itu yang terbaca dilayar ponsel Arman. Tapi Nindi, tak memiliki keberanian untuk mengangkat telepon dari Alda. Dan bunyi ponsel Arman kembali berhenti setelah beberapa saat berdering. Alda tak lain adalah mantan istri dari Arman, lelaki yang kini menjadi suaminya. Entah perasaan apa yang ada dihatinya, tapi yang jelas prasangka itu berusaha ia buang jauh – jauh. Kali ini bunyi yang berbeda terdengar dari ponsel Arman, kiriman sms dari Alda. Rasa penasaran mulai menjalar lembut di hatinya. Tak ingin sebenarnya ia membuka pesan singkat yang dikirim Alda, tapi dorongan di hatinya ia rasa sangat kuat.
“Gimana mas, udah bilang ke Nindi belum?”. Gemetar tangan Nindi memegangi ponsel suaminya. Rasa penasaran tentang pokok perbincangan antara suaminya dan Alda semakin kuat ia rasa. Dan dengan lincah, Nindi membuka rangkaian pesan di ponsel suaminya. Tak sepantasnya ia melakukan itu, dan Nindi tahu benar akan hal itu. Tapi melihat namanya disebut – sebut dan naluri kewanitaannya seolah mencium sesuatu yang mencurigakan, membuat Nindi memiliki kekuatan lebih untuk melakukannya.
“Makasih sudah menemani aku malam ini”. Deg,tiba – jiba saja Nindi merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Seluruh aliran darahnya mendadak terasa panas. Pesan itu diterima Arman semalam, tepat pukul 11. 30 tengah malam tadi. Dan Nindi tentu masih ingat benar alasan Arman pulang telat semalam, meeting.
“Bisa keluar malam ini?”. Semakin penasaran Nindi setelah membaca beberapa pesan singkat dari Alda di ponsel suaminya. Hingga sebuah pesan yang menjadi hantaman kuat dihatinya ia temukan.
“Aku akan bercerai dengan suamiku, rindu kebersamaan denganmu dan Cantika”. Nindi, wanita itu hanya bisa terpaku diduduknya. Menatap kosong tulisan di layar ponsel Arman. Fikirannya sudah entah berada di belahan dunia yang mana. Seribu satu kemungkinan ia coba terka, namun yang ada sesak di hatinya semakin membuatnya tak dapat bernafas. Dan satu kemungkinan yang paling membuatnya takut, mampu mendorong keluar butiran bening dari kelopak mata indahnya.
“Kenapa sayang ?” pertanyaan Arman mampu membuat Nindi tersadar dari lamunannya. Arman kini berdiri tepat dihadapannya. Nindi segera menyeka lembut butiran bening yang membasahi pipinya. Tak membuang waktu, Nindi segera bertanya tentang maksud dari rangkaian pesan singkat Alda yang baru saja dibacanya. Terkejut, wajah Arman jelas menunjukkan itu. Tapi Arman tentu tak dapat mengelak, karena semuanya begitu gamblang terbaca.
Setelah mengambil posisi duduk di sisi tempat tidur, Arman membalikkan tubuh Nindi dan menghadapkan pada dirinya. Arman menatap lekat wajah sang istri, ada penyesalan yang amat sangat ia rasakan. Arman mulai bercerita semuanya dari awal. Agak terbata, namun Nindi seolah mampu mendengar dengan jelas dan lantang semua penjelasan Arman. Mendengar semua rangkaian cerita dari Arman, membuat Nindi merasakan ngilu yang amat sangat di dasar hatinya.
“Aku bersedia kamu ceraikan, jika hanya itu yang bisa menyatukan kembali Kamu, Alda dan Cantika”. Hanya itu kata terakhir yang diucapkan Nindi, begitu cepat keputusan itu ia ambil dan seolah tanpa beban mengatakan hal itu. Dan disinilah Nindi kini, disebuah rumah sederhana yang sudah ia sewa hampir dua minggu ini. Nindi hanya ingin ketenangan, sebelum ia benar – benar harus melepaskan sang suami dan Cantika yang sudah dianggapnya sebagai putrinya sendiri. Dan Arman faham benar akan keinginan sang istri.
*******
Pagi ini Nindi mengemas barang – barangnya, ia bermaksud kembali ke rumah sang suami setelah kesepakatan antara dirinya dan Arman dibuat semalam.
“Kamu tentu tahu kan bahwa aku tidak boleh menceraiakan istriku yang sedang dalam keadaan hamil?” ucap Arman. Arman mengetahui tentang kehamilan Nindi setelah tak sengaja dirinya menemukan hasil tes kehamilan Nindi yang diletakkan dilaci meja riasnya. Akhirnya mereka membuat sebuah kesepakatan, Arman akan menceraikan Nindi setelah anak mereka lahir, kurang lebih delapan bulan lagi. Nindi tak pernah tau apa yang akan dihadapinya, tapi kepasarahannya pada Sang kuasa membawanya pada sebuah keputusan yang bahkan tak pernah ia duga sebelumnya.
Nindi disambut oleh pelukan hangat Cantika, malaikat cantik yang membuat hari – harinya indah sebagai seorang ibu. Sementara Arman hanya bisa terdiam menatap istri dan anaknya saling melepas kerinduan.
“Bunda kerjaannnya udah selesai ?” Tanya Cantika pada Nindi begitu mereka selesai melepas rindu dan duduk di sofa ruang tamu. Nindi hanya menganggukkan kepalanya. Saat meninggalkan rumah kemarin, Nindi pamit untuk bekerja pada Cantika, dan setiap hari Cantika selalu menanyakan kepulangan Nindi pada seisi rumah terutama sang Ayah.
“ Aku mau tidur sama Bunda ya nanti malam” ucap Cantika sembari melemparkan senyum indahnya pada Nindi. Cantika, gadis berusia empat tahun itu memiliki mata bulat yang indah, pancaran binarnya mampu membuat senyum diwajah Nindi selalu mengembang. Dan perpisahan yang akan dihadapinya nanti, entah akan mampu ia lalui atau tidak. Arman hanya mampu menatap kedua wanita yang paling dicintainya dalam diam, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya setelah sampai di rumah. Ia membiarkan Nindi dan Cantika bercengkrama seraya melepas rindu. Perlahan, sesal menelusup lembut dihatinya.
Seperti ucapannya tadi siang, malam ini Cantika benar – benar tidur bersama mereka, berada ditengah – tengah anatara Nindi dan Arman. Seperti ritual tidur malam – malam sebelumnya, seusai membimbing Cantika membaca doa sebelum tidur, Nindi mengecup lembut kening Cantika.
“Malam sayang, selamat tidur” ucap Nindi pada Cantika yang sudah berada di dalam selimut hangatnya. Setelah Nindi, Arman pun melakukan hal yang sama.
“Malam sayang, tidur yang nyenyak ya” ucap Arman dan tak lupa mengecup lembut kening putrinya. Arman dan Nindi baru hendak berbaring, tiba – tiba saja mereka membatalkannya setelah mendengar teriakan Cantika.
“Eh nanti dulu, Ayah sama Bunda belum” ucap Cantika mengagetkan mereka berdua. Awalnya Nindi tidak memahami maksud ucapan Cantika. Tapi kemudian Cantika memberikan isyarat dengan menunjuk keningnya. Arman menghadapkan tubuhnya kearah Nindi, kemudian memegang lembut bahu Nindi.
“Malam Bunda… semoga mimpi indah” dan kecupan hangatpun akhirnya mendarat di kening Nindi. Entah sudah berapa lama hal itu tidak dilakukan Arman. Desiran halus perlahan menjalar kembali dihati Arman. Nindi hanya tersenyum, tak membalas ucapan Arman seperti yang diharapkan lelaki itu. Sekalipun Nindi adalah istrinya, namun Arman tak bisa sempurna membuang bayang – bayang Alda dihatinya. Alda pernah menempati tempat yang istimewa, bahkan hingga saat ini. ‘Wanita itu terlalu sempurna untuk bisa disejajarkan denganku’, itulah yang selalu ada difikiran Nindi. Hingga akhirnya Nindi rela mengembalikan posisinya untuk wanita yang tak lain adalah ibu kandung Cantika itu. Sekalipun sejak awal Nindi tahu bahwa Arman juga mencintai dirinya.
Agak lama hingga akhirnya Nindi mampu sempurna memejamkan matanya. Nidi menghadapkan tubuhnya ke arah kiri, menghadap Cantika sambil memegang tangan cantika dengan tangan kanannya. Disebelah Cantika, Arman masih belum bisa memejamkan matanya. Ia hanya terdiam sambil menatap wajah ayu istrinya, ada rasa sesak yang ia rasa kini. Tentang Nindi, tentu Arman tahu benar sifat istrinya. Lembut, tapi ketegasan terpancar dari tiap laku dan ucapannya. Arman meraih tangan Nindi dan Cantika, meletakkannya di atas tubuh Cantika. Arman kemudian meletakkan tangannya di atasnya. Ada rasa hangat yang menjalar hingga terasa sampai ke hatinya, dan membuatnya mampu terlelap.
Hari ke hari terasa lebih mudah bagi Nindi kini, setelah semua rasa bisa ia pasrahkan pada Sang Kuasa. Pasrah, hanya itu yang bisa ia lakukan sambil terus memohon kekuatan pada Sang pemilik hati. Dan bila malam tiba, Nindi tak perlu canggung bersebelahan dengan suaminya, karena setiap malam Cantika hadir ditengah – tengah mereka.
“Aku mau bobo bareng dede bayi ya Bunda” pinta Cantika setiap malam. Setelah mengetahui bahwa dirinya akan segera memiliki adik, Cantika semakin perhatian pada Nindi. Dan kebersamaan serta keakraban mereka setiap hari jelas mampu dirasakan oleh Arman. Arman, sampai pada titik kekhawatiran yang amat sangat ia rasa. Rasa yang ia miliki untuk Nindi dan calon buah hatinya jelas amat besar, terlebih mengetahui bahwa Cantika juga memiliki rasa sayang yang sama untuk Bunda dan calon adiknya. Perlahan nama Alda bahkan terkikis dari hatinya, benar – benar terkikis tanpa ia sadari.
******
Di sebuah ruang serba putih berukuran 6 X 5 meter Nindi terbaring menahan nyeri. Arman setia menemani sembari memberikan kekuatan. Arman menggenggam erat tangan Nindi, mengusap setiap butir keringat yang mengalir deras di dahinya. Dua orang perawat dan dokter Wiwie menuntun Nindi untuk menarik nafas dan mengeluarkannya dari mulut sembari mengedan. Baru kali ini Arman menemani istrinya di ruang bersalin, dan ia mampu melihat perjuangan Nindi demi melahirkan buah hati mereka. Karena sebelumnya, Alda melahirkan Cantika melalui proses Caesar.
Setelah perjuangan selama 30 menit di ruang bersalin, suara nyaring seorang bayi akhirnya terdengar.
“Selamat pak, anaknya laki – laki” ucap dr. Wiwie sambil menggendong anak mereka yang masih berlumuran darah. Dr. Wiwie kemudian melakukan serangkaian tes pada bayi mereka, lalu memberikan bayi mereka pada salah seorang perawat untuk dibersihkan. Setelah bersih dan dibalut selimut putih, dr. Wiwie memberikan bayi mereka pada Nindi, meletakkannya di sebelah kanan Nindi. Arman lalu meng- Adzani bayi lelaki mereka, kemudian mengecup lembut keningnya.
“Kamu hebat sayang” ucap Arman tulus pada istrinya, lalu kemudian mengecup kening Nindi. Nindi membalasnya dengan memberikan senyum terindahnya untuk Arman.
“Kamu juga hebat” balas Nindi. Mereka terdiam sejenak, sampai ucapan Nindi tiba – tiba saja membuat Arman dan dr. Wiwie yang berdiri di sampingnya tersentak kaget.
“Jadi… kapan kamu mau memulai proses perceraian kita ?”. Arman, pria itu hanya bisa terdiam sambil menahan nyeri yang teramat sangat. Penyesalan jelas terpancar di wajahnya. Wanita itu, yang terbaring lemah setelah perjuangan hidup dan mati itu, kini malah memintanya menceraikannya, seperti kesepakatan yang telah mereka buat dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H