[caption id="attachment_186504" align="aligncenter" width="333" caption="pinjem fotonya Fanny @situ patenggang"][/caption]
Rama hanya menatap sendu wanita yang ada dihadapannya. Ia tak tahu harus memulainya dari mana. Ruangan itu hanya seukuran kandang kambing, atau bahkan mungkin lebih kecil dari itu. Rama mulai melangkahkan kakinya masuk, tapi wanita itu langsung bereaksi mengetahui kedatangan Rama dan seorang wanita lainnya yang bersama Rama. Samar cahaya masuk melalui lubang antar bambu yang tidak terlalu rapat bahkan sangat renggang.
“Itu Lastri dok, anak perempuan pertama saya” ucap wanita setengah baya itu pada Rama. Lastri terlihat begitu ketakutan, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tapi kedua kakinya yang terpasung membuatnya tak bisa beranjak kemana – mana.
“Sudah berapa lama Lastri dipasung, mbo?” tanya Rama sembari mengelus lembut bahu Ibunda Lastri, mbok Nah.
“Hampir 6 tahun dok, setelah kepergian suaminya” jelas mbo Nah sembari menahan tangis.
“Suami?” Rama mencoba menegaskan. Bagas, nama suami Lastri yang entah sedang berada dimana saat ini. Bagas pernah menjadi mantri disana, dan selama menjadi mantri Bagas menyewa rumah disebelah rumah mbo Nah. Pertemuannya yang cukup intens dengan Lastri membuat benih – benih cinta diantara mereka mulai bersemi. Lastri awalnya ragu menerima pinangan Bagas, tapi mbo Nah bersikeras membujuk Lastri untuk menerima lelaki perantauan yang saat itu sedang menjadi idaman gadis – gadis di desanya. Mungkin itu pula lah yang membuat mbo Nah sedikit banyak merasa bertanggung jawab pada kondisi Lastri saat ini. Ada luka yang teramat sangat yang terpancar dari raut wajah mbo Nah yang berusaha ditutupinya.
Rama melangkah mendekati Lastri, namun wanita itu terlihat semakin ketakutan.
“Jangan takut nduk, ini dokter Rama yang akan bantu kita” ucap mbo Nah sembari mengelus lembut kepala putrinya. Rasa sayang itu terlihat begitu nyata, kasing sayang yang tak pernah mengenal situasi dan keadaan. Tapi Lastri masih belum mampu menghilangkan ketakutannya. Rama menghentikan langkahnya, hanya berjarak beberapa langkah dari Lastri.
“Lantas, kenapa Lastri dipasung mbo?” tanya Rama sembari membungkukkan badannya. Pertanyaan itu tiba – tiba saja membuat mbo Nah meneteskan air matanya.
“Siapa yang tega melihat anaknya dipasung? Kalaupun ada, wanita itu jelas bukan saya. Setiap kali mengantarkan makanan untuk Lastri, saya berusaha keras menahan air mata saya, tapi saya tak bisa berbuat apa – apa dok” mbo Nah menjelaskannya sembari sesekali menyeka air matanya.
“Ada yang bilang Lastri suka bikin rusuh teriak – teriak manggil nama Bagas, dan beberapa kali Lastri diarak sama anak – anak kecil disini sambil diteriaki ‘orang gila’, pilihan ini pun pak lurah yang kasih, bukan saya yang mau dok”. Mbo Nah sudah lebih bisa mengontrol tangisnya kini. Dan Rama semakin merasa yakin untuk membantu mbo Nah dan Lastri untuk keluar dari situasi yang sangat menyesakkan ini, walaupun dia sendiri belum tahu dengan cara yang seperti apa
Hari berikutnya, Rama lebih banyak bercerita kepada Lastri dan masih ditemani oleh mbo Nah. Hanya Rama yang asik bercerita, sementara Lastri masih sibuk dengan fikirannya sendiri. Rama mulai memasukkan kunjungan rutin ke tempat Lastri sebagai salah satu agendanya selepas tugas dari puskesmas Lontar, tempatnya mengabdi sebagai dokter muda. Kebaikan dan keramahan mbo Nah dan penduduk desa lainnya telah berhasil membuat Rama jatuh cinta pada desa itu.
“Gak akan ada usaha yang sia – sia mbo, semua yang kita dapatkan pastinya akan sesuai dengan apa yang kita usahakan” pesan Rama pada mbo Nah suatu senja.
Rama, dikunjungannya yang entah kesekian kali, telah berhasil membuat Lastri bebas dari pasungannya. Kondisinya yang sudah semakin tenang membuat mbo Nah mulai yakin untuk melepaskan pasungan Lastri. Tapi kedua kakinya yang sudah lama terpasung dan tidak digunakan, kini lebih kecil dari ukuran semula dan tak mampu di gunakan. Rama juga menghadiahkan sebuah kursi roda yang ia pesan langsung dari kota untuk mempermudah aktifitas Lastri.
Rama hanya menyisakan satu hari ini sebelum selesai masa tugasnya sebagai dokter muda di puskesmas desa Lontar. Seminggu kemarin dirinya disibukkan dengan setumpuk laporan kerjanya selama bertugas disana. Kunjungan terakhir sekaligus ucapan perpisahan pun mau tidak mau mesti dilakukannya.
“Karena besok saya mesti pulang pagi – pagi sekali mbo, jadi pamit sama mbo dan Lastri malam ini saja” ucap Rama. Mbo Nah hanya tersenyum sembari menahan tangis. Digenggamnya kedua tangan mbo Nah oleh Rama.
“Saya akan sering – sering mampir mbo, jangan pernah pasung kebebasan Lastri lagi ya mbo”. Mbo Nah hanya mengangguk sambil menyeka air matanya. Erat Rama memeluk wanita setengah baya itu, dan mbo Nah pun semakin berat melepaskan kepergian Rama. Rama lantas berpamitan pada Lastri yang duduk diatas kursi roda tepat di sebelah kanan mbo Nah.
“Saya pamit pulang ya Lastri”. Lastri tak menanggapi ucapan Rama barusan, dia masih tetap asyik dengan dunianya sendiri. Rama memegang tangan kanan Lastri yang saat itu menggantung disisi pegangan kursi.
“Jaga diri kamu dan mbo Nah, saya pasti kembali kesini nanti” ucap Rama sembari terus menggenggam tangan Lastri. Lastri masih asik melinting – linting ujung bajunya sembari bergumam, tapi entah apa yang diucapkannya. Setelah berpamitan pada Lastri, Rama melangkah menuju pintu ditemani mbo Nah. Rama, dokter muda itu benar – benar pergi, tapi ia tak sadar bahwa ia juga telah membawa separuh harapan Lastri. Rama dan mbo Nah sudah benar – benar hilang dibalik pintu, sebelum sempat melihat butiran bening yang keluar dari pelupuk mata Lastri.
**********
Belum bisa membuat cerita bersetting puskesmas seperti yang pernah diminta oleh seorang teman. Hanya bisa sebatas ini... Ternyata susah yaaaa... ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H