Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kata Maaf Terakhir......

10 April 2011   02:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Laras bergegas menaiki mobil jemputan sekolahnya. Ini bis pertama yang datang pagi ini. Tak seperti biasanya, pagi ini laras berangkat lebih awal karena ada yang ingin dia lakukan.

“Hhmm… semoga aja Retno suka” gumamnya sambil memperhatikan sebuah kotak yang terbungkus kain motif bunga berwarna ungu yang dibawanya. Tak henti laras bersenandung pagi itu, menikmati kesendiriannya di dalam bus sekolah yang dinaikinya. Matanya menerawang, seraya mengingat kembali peristiwa yang terjadi antara dirinya dan sang sahabat, Retno.

“Klo kamu gak suka sama Fajar bilang aja, gak usah jelek – jelekin dia di depan aku” ucap retno dengan nada suara yang agak tinggi pada laras. Marah sepertinya.

“Aku liat sendiri ret, bukan mau ngejelek – jelekin fajar” jawab laras yang juga sudah mulai terpancing emosi. Siang itu sepulang sekolah laras dan retno berdebat panjang mengenai fajar, kekasih retno. Laras memergoki fajar tengah jalan dengan salah seorang senior di sekolahnya yang terkenal playgirl, gadis namanya. Awalnya fajar mengaku ada acara di rumah salah seorang keluarganya, tapi rupanya laras yang sore itu juga ada di mall yang sama tak sengaja melihat fajar. Gandengan gadis tak lepas dari lengan fajar. Gelagat yang mereka perlihatkan tak selayaknya teman. Tapi laras yang saat itu menemani bunda, tak bisa leluasa membuntuti fajar. Bukan kali itu saja laras memergoki mereka. Dua hari sebelumnya laras juga memergoki fajar dan gadis di kantin sekolah, berbincang sangat akrab. Tapi demi menjaga perasaan retno, laras tidak memberitahukan apa yang dilihatnya pada retno. Namun rupanya nalurinya sebagai seorang wanita tak bisa membiarkannya berlarut – larut, terlebih retno sahabatnya sejak SMP dulu.

“Pokoknya aku gak peraya” tegas retno. Retno segera berlalu meninggalkan laras yang masih berdiri terpaku di sebuah kursi di taman sekolahnya. Sejak peristiwa itu sekitar sepuluh hari lalu, hubungan retno dan laras menjadi renggang. Retno menanyakan kebenaran berita itu pada fajar, tapi fajar malah berbicara hal yang diluar dugaannya.

“Gak bener kok ret, justru laras yang dari dulu suka sama aku”. Bukan main terkejutnya retno, semakin membara kemarahannya pada laras. Dan sejak hari itu hingga pagi ini tiba, retno masih belum mau memberikan seutas senyumnya pada sang sahabat.

Suasana sekolah pagi itu sangat sepi, belum ada satu murid pun yang datang. Yang ia lihat hanya pak Mar, sang penjaga sekolah yang tengah sibuk dengan sapu dan kain pel-nya. Tapi sepertinya pak Mar tak menyadari kedatangannya, karena tak ada sapaan pagi seperti biasa ketika laras melintas di hadapannya.

“Aku simpen di sini aja kali ya” ucap laras sambil meletakkan bungkusan itu di atas meja retno. Tak lupa ia sertakan pula sebuah amplop berwarna ungu yang ia keluarkan dari dalam tas-nya. Laras teringat ucapan bunda kemarin sore.

“Mau sampai kapan diem – dieman sama retno? Coba kamu duluan yang buka ruang buat komunikasi, minta maaf sama retno dan bicara perlahan” ucap bunda sore itu.

“Bunda yakin suatu hari retno akan tahu betapa kamu sayang sama dia” lanjut bunda lagi. Laras segera mengikuti saran bunda.

Laras setia menanti sang sahabat datang. Duduk di sebuah kursi yang berada di taman tepat di depan kelasnya menjadi pilihan laras. Satu persatu para siswa datang, tapi belum juga tampak sosok retno. Oh, apakah tak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya? Karena sepanjang pagi ini belum ada yang menyapa laras yang masih bertengger manis di tempatnya. Mentari pagi sudah semakin terik, namun sosok retno belum juga tampak. Ada yang berbeda dari pemandangan pagi ini. Semua siswa terlihat murung, beberapa di antara mereka bahkan masih menyisakan butiran bening di ujung kelopak mata mereka. Laras tentu mengenal mereka, semuanya teman satu kelasnya. Ada apakah gerangan?

Laras segera bangkit dan bergegas menuju kelasnya. Laras mendapati semua teman satu kelasnya mengelilingi mejanya dan retno. Tangis mereka kembali pecah begitu melihat bungkusan yang tergeletak di depan mereka.

“Ada apa sih, kok pada nangis ?” Tanya laras. Tapi bukan jawaban yang laras terima, justru tangis yang semakin menjadi. Laras bingung dengan semua itu, tak ada yang mau menjawab pertanyaannya.

“Apa mereka marah juga ya sama aku ?” batin laras. Laras menunggu teman – temannya membuka suara, meski masih terasa hening dan hanya isak tangis yang terdengar. Akhirnya orang yang ditungggu laras dating juga. Retno segera menampakkan dirinya di depan pintu kelasnya. Laras yang mengetahui kedatanagn retno, segera bergegas menuju kearah sahabatnya.

“Loh, retno kamu kenapa? Pasti gara – gara fajar lagi deh?”. Laras yang mendapati retno datang dengan wajah sembab habis menangis begitu bingung. Tapi tak juga ada jawaban dari retno. Lunglai langkah retno berjalan menuju mejanya, yang saat itu masih dikelilingi oleh teman – teman satu kelasnya. Retno tak kalah terkejutnya begitu mendapati bungkusan ungu itu. Retno hanya mampu menatap lekat bungkusan ungu itu. Setelah beberapa saat hanya duduk di kursinya, retno memberanikan diri untuk menyentuh bungkusan itu. Didapatinya sebuah amplop berwarna serupa. Retno mengambil amplop ungu itu, mengeluarkan isinya dan perlahan membacanya.

Teruntuk Retno, sahabatku sepanjang masa….

Ret, maaf untuk semua hal menyakitkan yang sudah aku lakukan, maaf jika aku belum bisa menjadi sahabat terbaikmu. Tak ada niat sama sekali untuk mengecewakanmu. Aku hanya ingin kamu membuka mata atas semua yang terjadi. Kamu gadis yang sangat baik, dan aku beruntung memiliki sahabat sebaik kamu. Fajar bukan lelaki yang baik, dan kamu sangat berhak untuk bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari dia.Terima kasih karena selama ini sudah mau menjadi penopang saat aku terjatuh, menjadi tangan yang menghapus air mataku, penghibur dikala laraku. Pagi ini aku buat brownies kukus kesukaan kamu. Meski masih dibantu bunda, tapi aku berharap kamu suka. Aku berharap semoga bersahabatan kita akan kembali lembut dan manis serupa brownies kukus ini.

Dari yang menyayangimu…… Laras…..

Air mata retno tak henti menderas begitu membaca surat dari laras. Perlahan retno membuka bungkusan yang ada dihadapannya. Sebuah kotak makan berwarna ungu. Dibukanya kotak makan itu, brownies kukus kesukaannya. Semua temannya memeluk retno erat. Perlahan sebuah cahaya datang dari arah pintu, cahaya yang sangat terang. Sosok laras kemudian hilang bersamaan dengan sang cahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun