[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="dari om google"][/caption]
Riza, masih sempurna dengan kegelapannya. Kedua matanya masih terbalut perban. Operasi transplantasi mata yang berlangsung selama kurang lebih 8 jam akhirnya selesai juga. Harapannya untuk bisa kembali melihat akhirnya akan segera terwujud. Tapi ia masih harus bersabar, sisa obat bius bekas operasinya masih membuat kesadarannya hilang.
Sudah dua jam Riza tertidur dengan kedua mata terbalut, dan kini kesadarannya mulai pulih. Ayah, bunda, dan wina kakak perempuan riza setia menemani di sisi riza.
“Kapan perbannya dibuka, bun?” Tanya riza yang kini sudah duduk di atas tempat tidurnya.
“Sabar ya, tunggu dokter Roy sebentar”bunda terus berusaha menenagkan putra bungsunya. Sejak siuman tadi riza terus bertanya kapan dokter roy akan membuka perban yang membalut kedua matanya. Riza sudah tidak sabar ngin melihat lagi. Melihat semua keindahan dunia yang sempat meninggalkannya. Dan keindahan yang pertama kali ingin dilihatnya adalah Nada. Seorang gadis yang dengan suaranya setia menemani riza sudah lebih dari 1 bulan ini.
Pertemuan nada dan riza pertama kali terjadi di rumah sakit ini. Nada melihat riza yang saat itu tengah duduk sendiri di salah satu sudut taman rumah sakit. Tapi bukan jawaban hangat dari sapaan lembut nada yang diterima nada pada awal perbincangannya.
“Sendiri aja mas ?” Tanya nada membuka suara sambil duduk di sebelah riza.
“keliatannya gimana ?” jawab riza sinis.
“Keliatannya sih sendiri”.
“Mau nyindir saya ya karena saya gak bisa lihat ?” lebih kencang dan tegas kali ini intonasi suara riza. Sempat membuat nyali nada ciut, tapi pancaran kesedihan di wajah riza membuat nada menguatkan tekadnya. Satu minggu berlalu setelah pertemuan pertama. Dan pertemuan kedua kali ini jauh lebih baik, hingga tiba hari ini.
“Sabar sebentar ya mas riza” ucap dokter roy. Perlahan, dokter roy yang dibantu oleh dua orang perawatnya mulai membuka perban yang melilit kedua mata riza.
“Ya, sekarang buka matanya pelan – pelan” perintah dokter roy pada riza. Riza mulai membuka matanya, dan pancaran putih sinar lampu kamar mulai berhasil ditangkap oleh matanya. Riza sempurnamembuka matanya, perlahan mengedip-ngedipkan matanya. Agak remang awalnya, tapi kemudian riza dapat melihat dengan jelas.
“Gimana sayang ?” Tanya bunda yang berdiri di sebelah kiri riza. Riza tersenyum puas seraya bersyukur.
“Alhamdulillah bunda”. Bunda segera memeluk bungsunya. Tangis kebahagiaan mengalir seketika. Diikuti oleh wina dan ayah, bergantian memeluk riza. Tak lepas ucapan terima kasih pun tak henti – henti diucapkan untuk dokter roy.
***********************
Sudah tiga hari ini riza menunggu nada, tapi tidak ada tanda – tanda kedatangan nada sama sekali. Terakhir kali riza bertemu dengan nada sekitarseminggu yang lalu, dan itupun riza sudah mengingatkan nada untuk hadir di saat matanya bisa kembali melihat. Karena yang membuat riza kembali memiliki semangat untuk sembuh adalah dirinya. Tak hendak riza bertanya pada ayah, bunda ataupun sang kakak. Karena diantara mereka sama sekali tidak ada yang mengetahui tentang nada. Selama ini, nada hanya menemui riza ditaman rumah sakit tanpa ada yang tahu, terkecuali dokter roy.
“Mas riza, ada titipan buat mas” ucap salah seorang suster begitu masuk ke dalam kamar riza.
“Dari siapa suster ?”
“Nggak tau mas, kata bagian informasi sih orangnya udah ngasih dari seminggu lalu, tapi dia mintanya dikasih ke mas riza hari ini. Nggak tau kenapa ditunda - tunda gini” jelas suster itu. Suster itu memberikan Sebuah kotak berwarna ungu.
“Makasih suster”. Setelah menyerahkan kotak itu pada riza, sang suster meninggalkan riza di kamarnya seorang diri. Riza membuka tutup kotak ungu itu. Didalamnya ada sebuah kertas yang terlipat dan sebuah foto. Riza meneliti foto itu, foto seorang gadis yang duduk di sebuah padang rumput yang luas dan indah. Tak ada keterangan sama sekali di balik foto itu, dan rasa penasaran riza mendorongnya segera membuka lipatan kertas itu.
Teruntuk Riza,.
Za, gimana kondisi kamu saat ini? Aku selalu berdoa untuk kesembuhanmu. Maaf, kemarin aku tak bisa menemanimu saat kamu pertama kali membuka matamu, seperti yang selama ini kamu minta. Maaf, karena aku telah membuatmu menunggu. Maaf karena aku sudah tak jujurpadamu selama ini. Keberadaanku di RS ini bukanlah untuk menemani sepupuku yang sedang sakit, melainkan berusaha melawan sakit yang mendera tubuhku. Sudah 3 bulan ini aku dirawat di RS ini. Dokter bilang ada masalah dengan ginjalku, sehingga aku diharuskan untuk cucui darah setiap 3 hari sekali. Mereka bilang awalnya penyakitku bisa sembuh, entah hanya untuk menghiburku saja atau tidak. Lama kelamaan aku merasa tubuhku semakin tak bersahabat denganku. Pertama kali meliahtmu ditaman, aku melihat guratan kesedihan terpancar jelas di matamu yang penuh dengan keteduhan. Aku ingin kau berbagi kesedihan denganku, aku ingin melihat pancaran kebahagiaan dimatamu. Walau baru sesaat aku mengenalmu, tapi percayalah kau adalah anugerah terindah yang dihadirkan-Nya untukku. Untuk kesekian kalinya aku merasa bersyukur telah diberikan penyakit ini oleh Tuhan. Karena dengan cara itu Ia mempertemukanku denganmu. Riza, wanita yang kau lihat difoto itu adalah aku. Aku kini sudah berada di padang rumput yang luas, bisa bergerak bebas tanpa harus merasa sakit karena tusukan jarum – jarum infuse yang lama kelamaan kurasa menusuk hingga ulu hatiku.
Riza melipat kembali kertas itu. Ia meneliti lebih seksama foto nada. Cantik, dan yang paling ia suka dari foto nada adalah matanya. Mata nada memancarkan binary kebahagiaan yang sangat di foto itu.
Dua bulan sudah berlalu sejak operasi itu, dan kini riza sudah kembali dengan aktivitasnya seperti dulu. Sore ini rencananya riza akan mengunjungi RS tempatnya di operasi. Bukan tanpa alasan riza kembali ke sana. Dokter roy berjanji akan memberitahukan padanya siapakah gerangan orang yang dengan semurah hati itu mau mendonorkan matanya untuk seseorang yang tidak ia kenal, dan tanpa pamrih. Walaupun sebenarnya dokter roy tidak ingin riza tahu, tapi sang pendonor mengizinkan jika waktunya tepat.
“Ini dia” dokter roy menyerahkan sebuah map kepada riza, map yang berisi biodata pendonor matanya. Riza membuka perlahan, disana tertulis nama Nada Putri. Riza berusaha menenangkan hatinya. Tapi begitu ia melihat foto yang tertempel di bagian bawah biodata itu kecamuk di hatinya semakin kuat ia rasa. Dokter roy yang mengetahui hal itu segera bangkit menghampiri riza dan menepuk pundaknya pelan. Seolah mengetahui pertanyaan yang ada di hati riza, dokter roy mengangguk. Air matanya sudah tak mampu lagi ia bendung, tangisnya pecah. Mata indah yang dikagumi riza kini telah menghiasi bagian dari wajahnya.
“Jika harus seperti ini, aku memilih buta selamanya dok” ucap riza di sela – sela tangisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H