Sore ini langit Rangkat kurasa tak bersahabat. Mendung yang menyelimuti dinding langit kian menambah kelam suasana hatiku. Peristiwa beberapa hari yang lalu nyaris membuatku meninggalkan desa ini, desa yang sudah sukses mencuri hatiku. Aku terdiam, duduk mematung di tepi jendela kamarku seorang diri. Tak ada jeng pemi yang biasa menemani. Fikiranku kembali menerawang pada peristiwa itu, peristiwa yang tak hendak kuingat - ingat lagi. Tapi dalam suasana seperti ini, bayangan itu tiba - tiba hadir tanpa bisa kuhindari sama sekali. Berawal dari kebaikan hati jeng pemi yang mau menampung seorang pria korban kecelakaan mobil yang tak sengaja dilakukan olehl juragan Rawa. Awalnya pria itu menunjukkan itikad baiknya. Tak pernah ia menggodaku, bahkan jeng pemi sekalipun yang penampilannya memang menggoda tak berani ia goda. Entah karena tak berani melawan pentungan mas Hans atau karena rasa hormatnya pada kaum perempuan seperti kami. Image positif yang berhasil ia bangun pada awal perkenalan kami. Tapi ada yang berubah pada diri pria itu, tapat tiga hari yang lalu. Saat merasa sakit di kakinya, ia memintaku untuk memijatnya. Kebetulan aku pernah diajari memijat oleh jeng Pemi, jadi ia kupijat dengan ilmu yang seadanya. Sementara aku memijat kaki pria itu, jeng pemi memutuskan untuk beristirahat di kamarnya. Awal memijat, semua berjalan lancar. Obrolan pun bergulir dengan sangat biasa dan santai. Tapi kemudian ia menanyakan sesuatu yang sangat pribadi bagiku, mengenai perasaanku pada seseorang. Aku hanya berusaha bersikap jujur tanpa ada yang ditutup - tutupi, termasuk saat menjawab pertanyaannya. Entah bagian kata yang mana yang salah kuucapkan, yang kemudian mampu membuatnya melakukan hal yang memalukan padaku. Aku melihat sorot kekecewan di matanya setelah mendengar pengakuanku. Aku berusaha tenang, walau sorot mata itu kurasa sangat tajam hingga menembus pori - pori jantungku. Ia kemudian menggenggam tanganku, erat dan nyaris membuatku tak bisa melepaskan genggaman tangannya. "Maaf mas, tangannya" protesku sambil mencoba melepaskan genggaman tangannya. Bukan mengendur, yang ada genggaman tangannya malah semakin erat kurasakan. Sampai pada akhirnya.... tapi beruntung jeng pemi langsung datang saat mendengar jeritanku, dan tak terjadi apa - apa padaku. Namun peristiwa itu memberikan kenangan yang begitu buruk padaku, dan nyaris membuatku nekat meningalkan desa ini. Lagi - lagi jeng pemi yang menyelamatkan hidupku, memberikanku bahu yang tegar untukku bersandar, telinga yang sabar untuk mendengar celotehanku, dan cinta yang membuatku merasa ada. "Astagfirullah...." batinku saat tersadar dari lamunanku. Dan tak terasa, butiran bening selalu hadir saat kenanganku kembali pada peristiwa itu. "Aku gak bisa begini terus..." ucapku pada diri sendiri. Kuseka air mataku, aku lalu bangkit dan berjalan menuju tempat tidurku. Aku membuka sebuah laci yang terdapat pada lemari pakaian yang terletak di samping tempat tidurku. Kuambil sebuah map berwarna merah bertulisakan namaku di bagian depan sampulnya. Kubuka perlahan map itu, kukeluarkan satu lembar kertas dari dalam map, kuteliti kertas itu dengan seksama. "Aku gak akan sia - siain usaha Ayah selama ini" ucapku mantap. Kututup kembali map merah itu. Aku bergegas menuju pintu rumah jeng pemi. Setelah mengenakan sandal jepit berwarna hijau milikku, kulangkahkan kakiku menuju sebuah tempat yang kuharap bisa memberikan jalan bagi kehidupanku di desa ini. Aku teringat cerita jeng pemi beberapa hari lalu sebelum peristiwa menyesakkan itu terjadi. Ia bercerita bahwa pernah di adakan sebuah acara seperti posyandu di desa ini. Aku berminat untuk menjadi bagian dari acara tersebut, dan semoga bisa membuat semangatku kembali bangkit. "Tok...Tok...Tok..." kuketuk pintu itu perlahan, pintu yang bertuliskan "Warnet Nyimas Herda". Tak perlu menunggu lama, karena orang yang ingin kutemui kini sudah berdiri di hadapanku. "Gimana kabarnya dewa ?" sapanya lembut setelah memelukku. Kuberikan senyum terindahku sebagai bentuk terima kasihku atas perhatian yang selama ini ia berikan padaku. "Alhamdulillah baik k d-wee, kaka sendiri gimana ?" aku balik bertanya. "Aku juga baik". Ia kemudian mengajakku masuk ke dalam warnet milik tante Da yang sedang ia jaga. Setelah mempersilahkan aku duduk, kami mulai berbincang - bincang. "Ada apa dewa, kayaknya penting banget ?" rupanya ia mampu membaca mimik wajahku. Enath wajahku yang sangat tegang atau k d-wee yang memang pandai membaca mimik wajah orang lain. Aku memberikan map merah yang tadi kubawa pada k d-wee. Ia mulai membukanya dan meneliti isinya satu persatu. Sesekali wajahnya kulihat berkerut seraya berfikir. "Ini untuk apa?" tanyanya padaku. Setelah menghela nafas panjang, aku lalu mulai menjelaskan tujuanku mengunjunginya sore ini. Aku berharap dia bisa membantuku untuk ikut dalam kegiatan posyandu di desa ini, seperti saran yang di katakan jeng pemi tempo hari. "Kamu kenapa gak minta bantuan d-wee aja, siapa tahu kamu bisa ikut acara posyandu" saran jeng pemi waktu itu padaku. Dengan sabar dan seksama k d-wee mendengarkan ceritaku senja itu, sambil sesekali ia bertanya padaku. Ia tersenyum tulus kearahku, senyum yang begitu hangat kurasa di akhir ceritaku. "Jadi gimana k wee, aku bisa ikutan ?" tanyaku padanya. "Bisa...". Ia memotong kalimatnya, dan iitu jelas membuatku khawatir. Semoga tak ada syarat yang di berikan padaku, namun seandainya nanti ada semooga tak memberatkanku. "Kenapa kita gak bikin yang lebih serius ?" ungkapnya. "Seriusss...?" tanyaku padanya. Jujur, aku bingung dengan ucapan k d-wee tadi. "Iya, semacam rumah sehat, pondok sehat, gubuk sehat... atau apalah namanya yang bisa memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh buat semua warga" jelasnya. Kucoba menguraikan kata demi kata yang baru saja ia lontarkan. "Pondok sehat ?" gumamku pelan. Saat pertama kali datang ke desa ini, bu kades memang pernah bercerita tentang rencana k d-wee yang berniat mendirikan semacam Pondok sehat di desa ini. Dengan mantap k d-wee mengagukkan kepalanya. Tentu aku sangat setuju dengan ide yang ia lontarkan, tapi kali ini aku malah bertambah bingung, tak tahu apa yang mesti aku lakukan untuk mewujudkan gagasan itu. Gagasan yang kini juga sudah menjadi harapan dalam hidupku. *Berusaha berimajinasi, mewujudkan pondok sehat.... tempatku mengabdi pada desa rangkat....*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H