Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bingkisan Terakhir....

13 Mei 2011   20:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:44 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="" align="aligncenter" width="324" caption="image from google"][/caption]

Bocah lelaki itu terlihat letih, keringat di keningnya mengalir deras. Sesekali terlihat ia menyeka keringatnya sambil bersandar di dinding sebuah bangunan tua yang sudah lama tak terpakai. Saat lampu lalu lintas yang ada di depannya menampilkan warna merah, ia bergegas berjalan di sisi – sisi kendaraan yang berhenti sambil menawarkan Koran yang dipegangnya. Amir, nama bocah lelaki yang masih mengenakan celana merah dan sepatu sekolah, sementara baju putihnya telah berganti dengan kaos putih yang warnanya sudah mulai kusam. Mungkin usianya berkisar 10 tahun.

“Pulangnya telat lagi?” Tanya Ibu yang sedang menyetrika di ruang depan. Amir menghampiri ibu, lalu mencium tangan ibu.

“Iya, tadi abis dari rumah Eko, bu” jawab Amir sambil duduk di kursi yang berada tepat di samping ibu.

“Lain kali pulang ke rumah dulu, ganti baju baru main, biar ibu nggak khawatir nunggu kamu” jelas ibu sambil mengelus halus kepala Amir.

“Iya bu” ucap amir sambil bangkit.

“Amir ganti baju dulu ya bu”. Amir bergegas masuk ke dalam kamarnya. Sebelum mengganti pakaian, Amir menyempatkan diri melihat tabungannya. Upah yang hari ini ia dapat, ia keluarkan dari dalam saku bajunya. Diangkatnya kasur miliknya, dan disanalah Amir menyimpan uangnya.

“Alhamdulillah… nambah lagi tabungannya” ucapnya sambil meletakkan uangnya.

*************************

Matahari terasa terik menyengat kulit. Amir bersama beberapa anak seusianya yang seharusnya beristirahat seusai sekolah justru sibuk berlalu lalang di jalanan ibukota menawarkan barang dagangan maupun jasanya. Sudah 2 minggu aktivitas itu dilakukan Amir, walaupun tidak intens setiap hari karena pasti akan membuat ibu curiga. Walaupun sebenarnya ibu sudah mulai merasa tidak tenang bila mengetahui putra satu – satunya masih belum pulang hingga sore tiba.

Dan sore ini, kekhawatiran ibu kembali muncul. Saat ibu tengah sibuk dengan jemuran di belakang rumah, Amir pergi tanpa pamit pada ibu.

“Amir…” panggil ibu setelah meletakkan pakaian diatas kursi yang berada di ruang depan. Tentu saja Amir tidak menjawab panggilan ibu.

“Amiiiirrrr…” ibu kembali memanggil Amir, berharap kali ini panggilannya mendapatkan jawaban. Tapi tetap tidak ada jawaban sama sekali dari Amir. Ibu kemudian beranjak ke kamar Amir, membuka tirai yang terpasang di pintu kamar Amir. Namun sosok sang anak tak juga ia jumpai.

“Amir kemana ya, pergi kok tumben nggak pamit, mana udah mau ujan lagi” ucap ibu yang terlihat begitu khawatir pada anak semata wayangnya. Amir, sebenarnya bukanlah putra kandung ibu. Entah siapa yang dengan tega meletakkan bayi begitu saja di depan rumah ibu. Hanya dibungkus dengan kain seadanya tanpa ada identitas bayi dan sang pengirim sama sekali. Sementara ibu, merasa bahwa Amir adalah kemurahan yang diberikan Allah padanya. Disaat ibu merasa frustasi dengan pernikahannya yang harus kandas setelah 5 tahun tidak memiliki anak. Sang suami malah terang – terangan membawa seorang wanita untuk dijadikan istri keduanya, demi memiliki keturunan. Alhasil ibu mengalah, ia memberikan kebebasan pada suaminya untuk memilih wanita lain dan menceraikan dirinya. Dan ibu merasa bahagia walaupun hanya sebagai seorang tukang gado – gado dan buruh cuci.

Hujan pun turun dengan lebatnya, diiringi petir yang saling sambar. Rasa khawatir semakin besar menggelayut di hati ibu. Akhirnya ibu memutuskan untuk mencari Amir. Namun urung dilakukan, setelah ibu tidak menemukan payung satu – satunya milik keluarga itu yang biasanya diletakkan di dapur.

“Ya Allah… semoga Amir baik – baik saja” ucap ibu yang duduk dengan perasaan cemas di ruang depan. Setengah jam berlalu namun hujan belum juga reda, dan sosok Amir pun masih belum Nampak.

Sepuluh menit kemudian terdengar suara pintiu rumah Amir diketuk. Seketika itu ibu bangkit dari duduknya dan berjalan kearah pintu yang dikunci dari dalam. Amir terlihat berdiri di depan pintu dengan memegang payung dan semua pakaiannya basah kuyup.

“Kamu dari mana aja Mir ?, bikin ibu khawatir aja” ibu segera mengabil payung yang dipegang Amir kemudian melipatnya. Sementara Amir berjalan masuk ke dalam rumah.

“Amir inget belum piket waktu pulang sekolah bu, jadinya tadi ke sekolah sebentar” jelas Amiir pada sang ibunda.

“ya udah kamu mandi dulu gih, ibu siapin baju ganti buat kamu”. Amir beranjak menuju kamar mandi, sementara bunda menyiapkan pakaian ganti untuk Amir.

*********************************

Siang ini Amir mengayunkan langkahnya dengan riang, berjalan menuju sebuah pasar yang berada di dekat lampu merah tempat biasanya ia berjualan Koran. Tapi jelas siang ini bukan untuk berjualan Koran, ada hal lain yang lebih penting yang hendak ia lakukan.

“Assalamu’alaikuuummm…” ucap Amir di depan sebuah ruko yang memajang mukena, sajadah serta beberapa peralatan shalat lainnya.

“Wa’alaikumsalam…” jawab seorang wanita yang mungkin usianya sama seperti usia ibu Amir.

“Eh Amir, mau cari apa ?” Tanya sang pemilik toko pada Amir.

“Mau nyari mukena buat ibu” jawab Amir sambil beranjak masuk ke dalam took. Sang pemilik toko langsung menawarkan beberapa alternative mukena pada Amir. Setelah bercakap – cakap, baru Amir tahu bahwa pemilik took ini adalah teman ibunya saat duduk di bangkus SMP dulu.

“Yang ini berapa bu ?” Amir memilih sebuah mukena berwarna putih, yang disekelilingnya diberi hiasan bordir. Di bagian kepala juga diberi aksen hiasan yang sama, sangat cantik dan cocok bila dikenakan ibu.

“Yang itu 120 ribu, Mir”. Amir terkejut mendengar harga mukena itu, ia hanya membawa uang 60 ribu. Uang yang selama hampir 1 bulan ini ia kumpulkan dari upah berjualan Koran maupun upah menjadi tukang ojek payung. Pekerjaan yang tak pernah diketahui ibunya.

“Tapi Amir Cuma punya 60 ribu doang, bu” ucap Amir sambil memperlihatkan uang recehnya yang ia bungkus menggunakan saputangan ibunya. Terlihat ketulusan yang terpancar dari raut wajah Amir, dan akhirnya mampu membuat luluh hati sang penjual mukena.

“Ya udah ambil aja”. Kegembiraan langsung terlihat begitu Amir mendengar berita baik itu. Transaksi pun terjadi, dan Amir berhasil membawa pulang mukena yang ia idamkan untuk ibunya hanya dengan setengah harga. Sepanjang perjalanan, Amir sudah bisa membayangkan raut kebahagiaan sang ibunda saat ia menerima mukena itu. Sebelumnya sekitar sebulan lalu, Amir terkejut begitu melihat mukena ibu yang nyaris sudah tidak layak pakai. Kebetulan saat itu Amir diminta ibu mengangkat mukena ibu yang dijemur di belakang rumah. Warna yang semula putih sudah tampak menguning, belum lagi di bagian kepala tali sebelah kanan sudah putus dan harus dijepit dengan peniti.

*********************************

Salah seorang tetangga Amir berjalan terburu – buru menuju rumah Amir.

“Assalamu’alaikuummm…” ucap lelaki itu sambil mengatur nafasnya yang tersengal. Ibunda Amir yang tengah berjualan di depan rumahnya mendadak menghentikan kegiatannya.

“Wa’alaikumsalam… ada apa pak, kok buru – buru banget ?” Tanya ibu Amir yang tampak heran.

“Ini” lelaki itu menyodorkan tas Amir yang ia bawa. Semakin berdebar dada ibu Amir, dan kekhawatiran perlahan menelusup ke relung hatinya.

“Itu kan tasnya Amir, Kok bisa sama bapak, Amir mana?”. Agak bingung lelaki itu menjelaskan peristiwa yang menimpa Amir.

“Amiri kecelakaan Bu, sekarang udah di bawa ke Rumah Sakit”. Lemas rasanya sekujur tubuh ibu, bahkan hanya untuk menopang tubuhnya rasanya sulit. Ibu bersama lelaki itu bergeas ke Rumah sakit tempat Amir di rawat, tak lupa pula tas Amirpun ia bawa serta.

Sesampainya di Rumah sakit ternyata ibu terlambat, tubuh Amir terbujur kaku di salah satu ruang UGD tempat Amir pertama kali ditangani tadi. Isak tangis segera terdengar dari penjuru ruangan. Tak kuasa ibu memeluk tubuh kaku Amir, lunglai bahkan hampir terjatuh. Amir, bocah lelaki itu tewas tertabtak truck saat hendak menyebrang di salah satu lampu merah kota. Kegembiraan yang membuncah, dan harapannya untuk melihat kebahagiaan di wajah ibu bahkan belum sempat terlaksana. Dan isak tangis ibu semakin menjadi saat mendengar cerita perjuangan Amir yang dipaparkan lelaki yang menemani ibu ke Rumah sakit tadi. Yang tak lain adalah agen Koran dimana Amir biasa mengambil Koran untuk dijual. Ibu terus memeluk Amir, bersama mukena putih yang menjadi bingkisan cinta terakhir Amir untuknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun