[caption id="" align="aligncenter" width="406" caption="image from google"][/caption]
Senja, masih setia dengan lamunannya. Duduk terdiam dihalaman depan sebuah ruang rawat kelas 1 di salah satu rumah sakit swasta ternama di kota kembang, Bandung. Dipangkuannya, sebuah buku bersampul putih dengan logo hati berwarna marun di bagian tengahnya masih setia menunggu untuk dibuka kembali. Lamunannya kembali membawanya pada kenangan akan ucapan terakhir sang adik sebelum peristiwa tragis itu terjadi.
“Kak Senja, boleh gak kalo kak Hikmal buat aku?” Tanya Rara tiba – tiba. Saat itu dirinya dan Rara tengah menikmati senja dihalaman belakang rumah mereka. Duduk disaung bambu yang berada di salah satu sudut halaman belakang, ditemani secangkir teh hangat dan brownies kukus buatan Bunda.
“Maksudnya ?” Tanya Senja agak terkejut. Rara tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya. Senja memutuskan untuk tidak terlalu menggubris kata – kata adiknya, walaupun sebenarnya ada perasaan lain yang ia rasakan di sudut hatinya. Senja kembali membuka sampul buku putih itu, sebuah foto seorang gadis cantik yang sangat dikenalnya terpampang dihalaman pertama buku itu. Senja membuka sebuah halaman yang ia lipat ujungnya, menandakan halaman terakhir yang ia baca.
“Kak Senja memang perempuan sempurna, cantik, lembut, pintar, ramah, belum lagi rasa empatinya yang tinggi, gak heran banyak laki – laki yang kagum sama dia. Sementara aku…” . Senja menghentikan sejenak bacaannya, mengisi penuh rongga dadanya dengan oksigen dan menghembuskannya perlahan.
“Bunda bilang aku berbeda dari kak Senja, aku terlalu cuek, termasuk pada penampilanku. Jeans dan kaos oblong, serta sepatu kets selalu setia menemani setiap langkahku. Aku rasa tak ada yang salah dengan penampilanku, karena laki – laki yang cerdas tidak hanya menilai wanita dari penampilan luarnya saja, bukankah begitu???”. Senja tersenyum simpul sambil menganggukkan pelan kepalanya. Dibaliknya halaman buku putih itu. Ini baru halaman ke empat yang telah selesai ia baca. Masih banyak kejutan yang akan diterimanya di buku itu. Setelah halaman ke enam ia selesaikan, Senja kembali menutup buku putih itu dan memilih menemani sang adik didalam.
Senja hanya bisa menatap tubuh Rara yang terbaring tak berdaya dalam balutan selimut putih dengan perasaan perih yang luar biasa. Dilengan kanan Rara, terpasang sebuah jarum infuse yang mengalirkan cairan berwarna kecoklatan dari botol yang tergantung pada sebuah tiang infuse yang berdiri tegak disampingnya. Sementara itu, sebuah masker oksigen masih harus dipasang untuk membantu pernafasannya. Sejak kecelakaan yang menimpanya empat hari lalu, Rara sama sekali belum membuka matanya. Dan selama itu pula tak lepas kekhawatiran dari hati Senja, Ayah dan Bunda.
*************
Pagi ini giliran Senja yang menjaga Rara, bergantian dengan Ayah yang sudah sejak semalam berada di rumah sakit. Senja, duduk tepat disebelah kiri Rara sambil menggenggam tangannya.
“Ra, kangen denger ketawa kamu… cepet sembuh ya sayang” ucap Senja tepat ketelinga Rara. Senja, larut dengan ceritanya pada Rara. Banyak hal ia ia ceritakan, mulai dari pekerjaannya, keadaan dirumah, dan masih banyak hal lain yang Senja ceritakan pada adiknya. Sekalipun Rara tidak bisa merespon semua yang diucapkan Senja, namun menurut dr. Amar yang menangani Rara, Rara tetap bisa mendengar semua yang diucapkan Senja. Dr.Amar menyarankan agar Rara sering diajak berbincang, untuk mempercepat kesembuhannya.
Setelah cukup lama berbicara dengan Rara, Senja bangkit menuju sebuah lemari besi kecil yang berada disebelah kanan Rara, dekat tiang infus. Senja membuka laci satu – satunya yang ada di bagian atas lemari besi itu, mengeluarkan buku putih yang sudah beberapa hari ini menjadi bacaan wajibnya. Senja kembali ke duduknya, membuka perlahan halaman terahir yang telah selesai ia baca kemarin. Senja membalik halaman berikutnya, alangkah terkejutnya Senja, halaman itu begitu berbeda dari halaman yang sudah ia baca sebelumnya. Aneka tulisan berwarna warni dengan bentuk huruf yang beragam menghiasi halaman itu.
“Hikmal Purnama” kata itu yang tercetak besar dengan tinta warna warni sebagai kata pembuka cerita Rara di halaman itu. Tiba – tiba saja Senja merasa jantungnya dipompa lebih cepat, aliran darahnya mendadak berjalan tak beraturan.
“Waaww… aku merasa seperti baru melihat seorang malaikat. Seorang lelaki tampan, putih, berdiri kokoh di depan pintu rumahku, dan memberikan senyum terindahnya hanya untukku. Hampir saja aku terjatuh karena pingsan, tak mampu menopang tubuhku yang tersihir oleh pesona lelaki itu. Saat kutanya siapa dia, dia kembali tersenyum dan membuatku merasa ada sengatan kecil di aliran darahku. Tuhan… alangkah indah ciptaan-Mu”. Senja terdiam, menatap wajah sang adik yang sangat pucat dan lemah. Matanya mulai sembab, ada genangan yang berusaha ia tahan agar tidak tumpah.
“Namanya Hikmal Purnama, aku memanggilnya kak Hikmal. Lelaki tampan itu rupanya rekan kerja kakakku di kantornya yang baru. Kakakku adalah seorang psikolog dan baru tiga bulan bekerja bersama kak Hikmal. Dalam hati, aku berdoa semoga kak Hikmal bukanlah kekasih kakakku, atau setidaknya hubungan mereka saat ini hanya sebatas rekan kerja. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa laki – laki adalah makhluk yang menarik”. Butiran hangat menyentuh pipi lembut Senja, derainya perlahan semakin deras. Dibiarkannya aliran itu membasahi pipinya.
“Aku seperti terbius pesonanya, semua yang ada di diri lelaki itu membuatku tak bisa bernafas dengan leluasa, semua hal selalu tertuju padanya. Seperti saat ini, saat ia menjemputku di kampus untuk yang pertama kalinya. Sekalipun hal itu ia lakukan atas permintaan kak Senja, tapi sungguh ada luapan bahagia yang kurasa. Sepanjang perjalanan menuju sebuah tempat dimana aku akan menghabiskan senja bersamanya dan kakakku, kami membicarakan banyak hal. Ia seolah tahu topik – topik yang membuat diriku tertarik, meski sebenarnya yang lebih menarik bagiku adalah lelaki yang duduk disampingku”. Entah berapa banyak butiran bening yang jatuh dan kini membuat baju yang dikenakannya basah.
“Tookk… tookk… tookkkk….” Terdengar suara pintu kamar 103 itu diketuk. Senja bergegas bangkit, mengambil beberapa lembar tisu yang tergeletak diatas lemari besi, kemudian menyeka air matanya yang masih tersisa. Tak lupa ia meletakkan buku putih itu kedalam laci tempat buku itu disimpannya tadi. Setelah merasa penampilannya sudah lebih layak, Senja membuka pintu.
“Hikmal…” ucap Senja pelan begitu melihat pria itu diambang pintu. Mereka melangkah memasuki ruang rawat Rara.
“Gimana kaba Rara ?” Hikmal membuka percakapan.
“masih sama kayak sebelumnya”. Hikmal duduk tepat disamping kiri Rara, menyentuh lembut tangannya seolah ingin menanyakan kabar sang pemilik tangan. Sementara Senja, hanya berdiri dibelakangnya. Hikmal berbicara banyak hal, seolah yang diajak berbicara mampu memahami ucapannya. Hikmal, pesonanya pun mampu merasuk hingga ke ujung hati Senja. Perhatiannya, kelembutannya, tutur katanya, dan semua lakunya mampu membuat Senja merasa dihargai sebagai seorang wanita. Semakin mengenal Hikmal, persaannya pada lelaki itu perlahan berubah. Ada rindu yang lembut menyapa saat dirinya tak melihat sosok Hikmal dikantor karena ada keperluan diluar kantor, ada rona yang perlahan tampak saat Hikmal memberikan perhatiaan dengan kiriman pesan singkatnya, debaran dihatinya yang perlahan bergejolak kala Hikmal tiba – tiba ada disampingnya dan berbicara lembut padanya.
“Kamu udah sarapan?” Tanya Hikmal tiba – tiba sambil membalikkan tubuhnya dan menghadapkannya pada Senja. Senja tersenyum sembari mengangguk mantap. Dua buah lesung pipi terlihat saat Hikmal menarik lembut bibirnya.
****************
Senja kembali menekuri buku putih itu di saung halaman belakang rumahnya. Entah sudah halaman keberapa yang ia baca, karena setiap lembarnya tidak diberikan halaman khusus. Senja mendapatkan buku itu dari Bunda, dan buku itu merupakan salah satu barang bukti yang ditemukan polisi di dalam tas Rara saat kecelakaan itu terjadi. Rara mengalami kecelakaan saat menaiki ojek menuju kampusnya, motor yang ditumpanginya mendadak oleng dan menabrak sebuah pembatas jalan. Tubuh Rara yang kecil terpelanting hingga kepalanya membentur trotoar. Awalnya Bunda merasa ragu menyerahkan buku itu, tapi rasa sayangnya pada kedua putrinya membuatnya merasa harus melakukan itu.
“Rasanya hari ini dadaku tiba – tiba sesak. Sebuah pemandangan yang tak kuharapkan kulihat pagi ini. Tak sengaja dari balik jendela kamarku, aku melihat kak Hikmal tiba – tiba menggandeng lembut tangan kakakku saat mereka berjalan menuju mobil kak Hikmal. Oh, semoga tak seperti dugaanku ya Tuhan…”. Senja kembali mengingat peristiwa itu, saat Hikmal pertama kali menggandeng tangannya sewaktu menjemputnya. Bukan hanya Rara yang terkejut, Senja sendiri hampir tak percaya dibuatnya. Dengan lembut Hikmal meraih tangan Senja dan menggendengnya, persisi seperti seorang Ibu yang tak ingin kehilangan jejak anaknya.
“Tuhan apa ini pertanda, pertanda bahwa harapanku memang sudah tak ada untuk kak Hikmal. Tak ada niat sama sekali untuk melihat yang tak pantas kulihat. Hp kak Senja yang diletakkan di atas meja tiba – tiba bordering, bahkan tak cuma sekali. Dan yang membuatku semakin peanasaran karena aku melihat nama yang tertera di layar HP-nya, Hikmal. Tiga kali berdering dengan penelpon yang sama, kali ini giliran SMS yang masuk. Rasa penasaranku begitu besar Tuhan, maafkan kelancanganku. Semua kalimat yang tersusun rapi menanyakan kegiatan, mengingatkan makan, bahkan sapaan menjelang tidur yang begitu lembut membuat ngilu disudut hatiku. Dan mungkin kali ini Bunda benar, bahwa selain melihat wanita dari hatinya, setiap lelaki juga pastinya lebih memilih wanita dengan hati lembut dan paras cantik seperti kakakku, dibandingkan wanita tomboy seperti aku. Aku tentu tak bisa menyaingi kakakku, aku sadar benar hal itu dan semakin membuatku merasa menjadi bayang – bayang kakakku. Selalu dibanding – bandingkan dengan kak Senja sangat membuat diriku tak nyaman”. Senja terkejut saat melihat hari dan tanggal yang tertulis dibagian atas halaman itu, tepat dengan hari dimana Rara meminta Hikmal padanya dulu.
Senja merasa bersalah pada sang adik, tak hendak dirinya menjadi tolak ukur untuk Rara. Karena jauh didasar hatinya, Senja kagum pada sosok adiknya dan berharap bisa seperti dia. Rara jauh lebih mampu mengekspresikan apa yang dia inginkan pada kedua orang tua mereka, lebih releks dalam menghadapi berbagai masalah. Tawa renyah yang selalu menggema dimanapun dia berada, membuat Senja merasa Rara adalah sosok wanita yang mampu mengubah suasana hati menjadi kembali riang.
*************
Hari kesepuluh Rara dirawat, kondisinya tak mengalami perubahan yang berarti. Senja kembali teringat akan apa yang dibacanya sepanjang hari kemarin. Rara jelas sangat mengagumi lelaki yang juga dikaguminya. Dan kesakitan hati Rara, membuat Senja merasa ada bagian hatinya yang ikut terluka. Senja tak melepaskan pandangannya dari sosok sang adik. Gejolak dihatinya tak henti bergemuruh, genggaman tangan Senja semakin kuat.
“Bangun sayang… kita semua kangen denger kamu ketawa…” air matanya kembali menetes, tak Senja hiraukan. Diangkatnya tangan kiri sang adik. Senja menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan.
“Kakak ikhlas merelakan kamu sama Hikmal” pelan Senja mengatakan hal itu. Bibirnya bergetar menahan isak tangis. Diciumnya lembut tangan sang adik, dan entah untuk berapa lama ia menahan tangan Rara dalam pelukannya. Senja meletakkan tangan Rara ditempatnya semula, diusapnya lembut punggung tangan Rara. Untuk beberapa saat ia terdiam menatap wajah pucat Rara. Entah ini hanya imajinasinya atau memang benar terjadi, Senja melihat jari jemari Rara bergerak. Disekanya cepat sisa air mata yang masih menggenang. Sejenak Senja tertegun, teringat kembali kata - katanya yang baru saja ia ucapkan pada Rara…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H