Entah harus dari mana memulai cerita perjalananku kali ini, tapi yang jelas bagiku ini perjalanan terlama yang pernah aku lakukan dengan menunggangi si kuda besi alias sepeda motor. Memulai perjalanan dari Tangerang sejak hari jum’at malam pukul 22.00 WIB, kami akhirnya baru bisa sampai di desa Sawarna, kec. Bayah kab. Lebak Banten pukul 14.00 hari sabtu esok harinya. Perjalanan sejauh 240KM itu bukan tanpa halangan. Sempat menginap di Serang kota dan baru melanjutkan perjalanan selepas Subuh, perjalanan kami juga sempat terganjal karena salah satu motor temanku terkena musibah (ban bocor), sempat juga ada satu motor yang mesinnya tiba – tiba mati.
Sampai di lokasi wisata desa Sawarna, kami disambut dengan jembatan panjang yang mesti kami lewati. Aku sebenarnya agak takut karena harus menyebrangi jembatan kayu yang ditopang dengan tali besi, sementara kami melewatinya dengan motor. Tiket masuk ke objek wisata di desa Sawarna hanya 5 ribu rupiah per orang. Kami lalu melajukan motor kami ke salah satu pantai di kawasan objek wisata desa Sawarna, yaitu pantai Pasir Putih. Ada 3 pantai sebenarnya yang akan kami kunjungi, pantai Pasir Putih, pantai Tanjung Layar, dan Pantai Legon Pari.
[caption id="attachment_248932" align="aligncenter" width="410" caption="jembatan yang menjadi pintu masuk menuju objek wisata di desa Sawarna"]
Tapi siang itu pantai Pasir Putih tidak menampakkan keindahannya seperti biasa, pasirnya malah berwarna kecoklatan, tidak berwarna putih mengkilat seperti yang dibicarakan banyak orang. Menurut salah seorang pemilik warung makan disana, bulan yang paling pas untuk melihat keindahan pantai pasir putih adalah sekitar bulan Juni. Pada bulan itu matahari sedang panas – panasnya sehingga membuat pasir disana kering tidak lembab seperti kemarin. Karena saat kami sampai di sana, cuacanya memang sedang gerimis.
Puas berfoto – foto, kami lalu melanjutkan perjalanan penuju tempat berikutnya yaitu pantai Tanjung Layar. Berjarak sekitar 800 meter dari pantai pasir putih, pantai tanjung layar menyuguhkan keindahan yang berbeda. Dua buah karang yang berdiri kokoh menjulang tinggi dan mirip seperti layar, menyambut kami dengan gagahnya. Sore itu air lautnya tidak terlalu tinggi, sehingga membuat karang di sekitarnya terlihat dengan jelas. Kami menghabiskan sore di pantai tanjung layar. Sembari menunggu sunset, kami sibuk berfoto, duduk santai di kursi yang disediakan di pinggir pantai, membersihkan diri sambil memeriksa keperluan kami sebelum melanjutkan perjalanan.
[caption id="attachment_248933" align="aligncenter" width="307" caption="dua buah karang besar yang menjadi icon di pantai Tanjung Layar"]
Puas menikmati sunset, kami bersiap melanjutkan perjalanan menuju pantai Lagon Pari. Menurut informasi dari salah seorang rekanku, kami bisa menikmati sunrise yang indah di sana. Setelah berhitung tentang jarak tempuh dan waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pukul 18.00 sore dengan berjalan kaki, sementara motor kami titipkan di parkiran. Berbekal dua buah senter dan sebuah head lamp, kami ber sepuluh berjalan menelusuri pantai. Bersyukur malam itu hujan tak turun lagi, langit pun cerah penuh bintang. Baru setengah perjalanan, satu senter milik salah seorang rekanku rupanya batrenya habis. Jadilah hanya menyisakan sebuah head lamp dan satu senter. Sesekali terjerembab pasir, jatuh tersandung karang, belum lagi air laut yang sudah mulai meninggi, benar – benar menguras energi dan semangat kami.
Setelah menelusuri pantai selama dua jam dan bertanya kepada salah seorang nelayan yang kebetulan berpapasan, kami akhirnya sampai di pantai Lagon Pari. Pantai yang benar – benar sepi dan belum ada cahaya lampu disana.Para pemilik warung hanya mengandalkan lilin sebagai alat bantu penerangan di malam hari. Kami lalu memutuskan untuk segera mendirikan tenda yang kami bawa. Beberapa orang sibuk mendirikan tenda, semetara sisanya para wanita sibuk menyiapkan makan malam. Kami juga meminta bantuan kepada salah seorang pemilik warung untuk menumpang memasak nasi, sementara kami hanya memasak lauknya. Sup sosis dan chicken nugget adalah menu makan malam kali malam itu. Ubi yang kami beli di pasar Malingping pun tak lupa kami bakar sebagai camilan.
Usai makan malam dan berbincang – bincang sejenak, kami semua jatuh terlelap, itung – itung mempersiapkan fisik untuk esok harinya. Selain sebuah tenda, kami juga meminjam salah satu pondok kosong milik ibu pemilik warung yang memang belum digunakan. Malam dingin ditemani hujan, di dalam tenda yang di bangun di pinggir pantai, suara ombat yang memecah keheningan malam, benar – benar jadi teman tidur yang luar biasa.
Pagi harinya, kami terbangun dengan misi yang sama. Melihat Sunrise yang katanya indah. Tapi rupanya alam berkehendak lain, cuaca mendung masih mengungkung langit Lagon Pari sejak semalam kami tidur. Sejam menunggu sembari memasak air, cuaca masih belum juga berubah. Sedikit kecewa karena tak dapat melihat Sunrise, tapi kami masih bisa menikmati pantai Lagon Pari yang indah. Suasana pantai yang masih sepi dan pantainya yang tenang, terlihat beberapa perahu nelayan yang mulai kembali dari melaut. Beberapa rekanku bahkan sempat membantu para nelayan mendorong perahunya ke bibir pantai.
[caption id="attachment_248937" align="aligncenter" width="403" caption="perahu nelayan yang baru kembali dari melaut"]
[caption id="attachment_248935" align="aligncenter" width="410" caption="beberapa rekanku yang ikut membantu mendorong perahu nelayan"]
Tak ada yang sia – sia dari sebuah perjuangan, begitu pula perjalanan kami dua jam menelusuri pantai di malam yang gelap. Semburat warna – warni pelangi menghiasi langit Lagon Pari dengan cantiknya. Tak dapat sunrise kami malah di suguhi pelangi, senyum sumringah segera terkembang di wajah kami. Puas bermain air dan berfoto – foto, kami kembali mengemasi barang bawaan kami. Pukul 08.30 pagi kami lalu berpamitan kepada ibu pemilik warung yang kami pinjam pondoknya. Hanya butuh waktu satu jam berjalan kaki untuk bisa kembali sampai di pantai Tanjung Layar tempat dimana motor kami titipkan. Mungkin karena siang hari dan track yang di lewati berbeda, jadi kami bisa memangkas waktu tempuh kami.
[caption id="attachment_248936" align="aligncenter" width="461" caption="pelangi di langit Lagon Pari"]
Setelah membersihkan diri dan merapihkan kembali barang bawaan kami, pukul 10.30 siang kami memulai perjalanan kembali ke Tangerang. Kami metuskan untuk pulang lewat jalur Pelabuhan Ratu Sukabumi, bukan melalui Serang seperti saat berangkat jum’at kemarin. Berharap kami bisa memangkas waktu dan jarak tempuh, sehingga bisa tiba di Tangerang lebih cepat. Tapi rupanya track dari Sawarna menuju Sukabumi tidaklah mudah. Jalanan yang berliku dengan tanjakan – tanjakan yang tajam, belum lagi di beberapa bagian jalan juga banyak yang berlubang, benar – benar menguras tenaga dan kesabaran kami. Bahkan salah seorang rekanku ada yang motornya sempat berhenti tepat saat menanjak di salah satu tanjakan yang curam dan rusak.
Di perjalanan pulang, kami juga disuguhi dengan pemandangan yang luar biasa indah saat memasuki kawasan Sukabumi, tepatnya di pantai Karang Hawu dan pantai Pelabuhan Ratu. Sempat berhenti di depan gerbang pantai Pelabuhan Ratu karena motor salah seorang rekanku lagi – lagi bannya bocor. Jadi lah kami bisa menikmati pemandangan pantai Pelabuhan Ratu dari dekat.
Waktu menunjukkan tepat pukul 20.00 malam saat kami sampai di Tangerang hari minggunya. Perjalanan selama 10 jam yang benar – benar membuat pinggang pegal dan nyeri pundak, melalui total jarak tempuh 446KM yang luar biasa melelahkan. Tapi sungguh itu merupakan pengalaman telusur pantai yang menyenangkan yang belum pernah aku alami sebelumnya.
[caption id="attachment_248938" align="aligncenter" width="448" caption="pantai Lagon Pari yang masih sepi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H