Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Aku, Senja dan Sejumput Kenangan.

25 Juni 2012   19:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:32 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13406522231006230248

[caption id="attachment_190653" align="aligncenter" width="461" caption="dok pribadi"][/caption]

Senja itu sendu” ucapmu tiap kali menemaniku menghabiskan senja di dermaga tepi sungai. Tapi aku hanya tersenyum, tak hendak membantahmu.

“Mengapa kau sangat menyukai senja ?” tanyamu suatu kali. Tapi aku tak menjawabnya. Dan untuk kali berikutnya, kau juga menanyakan hal yang sama. Aku kembali hanya memulas senyum. Lelah karena pertanyaanmu tak kunjung mendapatkan jawabku, kau lalu hanya duduk disebelahku. Menemaniku hingga senja menutup hari dan berganti gelap.

Aku tak mungkin melupakan hari itu, saat pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Memiliki keluarga baru dan merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya, bahkan mungkin untuk yang terakhir kali. Bunda, Ayah dan kak Raka, adalah keluarga baru yang begitu menyayangiku. Butuh waktu yang tidak sebentar sampai akhirnya mereka bisa menyesuaikan diri dan berkomunikasi denganku, dengan kemampuan bahasa yang seadanya.

Senja itu, untuk pertama kalinya aku merasakan segarnya udara luar, diluar tempat tinggalku dulu. Bunda mengizinkanku untuk berkeliling disekitar rumah, dan dermaga ini lah tempat yang aku pilih. Suasananya tenang, tak ada aktivitas yang dilakukan warga, mungkin karena sudah lama tak terpakai dan mereka sudah memiliki dermaga baru yang lebih besar. Duduk ditepian dermaga, melihat tarian anak – anak ikan sembari menatap langit senja yang keemasan, adalah caraku menikmati senja. Asyik bercengkrama dengan anak – anak ikan, sampai tak sadar bahwa gelang yang aku pakai tersangkut salah satu ranting pohon. Aku menariknya kuat, bahkan mungkin terlalu kuat hingga menyebabkan kaitannya terlepas, dan gelangku pun terjun bebas ke dasar sungai.

Aku hanya bisa menangis, tak ada teriakan yang keluar dari mulutku. Menatap ke dasar sungai sembari terus menangis. Gelang itu adalah harta paling berhara yang aku miliki. Hanya sebuah gelang perak biasa, ada gantungan inisial namaku disana, S untuk Sofie. Aku tak tahu sudah berapa lama aku menangis, yang jelas aku merasakan mataku mulai pedih. Hingga sebuah bayangan berhasil membuatku mengangkat wajahku. Kau yang berdiri di hadapanku. Seorang anak lelaki yang mungkin usianya tak jauh beda denganku.

Kau bertanya tentang mengapa aku menangis, tapi aku tak menjawab tanyamu. Kau bertanya lagi, dan aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya padamu. Aku hanya menunjuk ke dasar sungaidan melingkarkan jariku di pergelangan tanganku secara bergantian. Entah berapa kali aku melakukannya sambil sesekali menyeka air mataku. Tiba – tiba kau melepas sepatu dan kaos yang kau kenakan, lantas terjun bebas ke sungai. Kau tau, kau membuatku berpuluh – puluh kali lebih ketakutan dari sebelumnya. Beberapa kali muncul dan kemudian menghilang lagi ke dalam sungai. Sampai kemudian kau muncul dari dalam sungai dengan menggenggam gelangku yang berhasil kau temukan.

Senja itu, untuk pertama kalinya aku merasakan bahagia yang luar biasa. Gelang peninggalan Ibu akhirnya bisa kukenakan kembali, dan kau yang melingkarkannya di tanganku. Hanya gelang itu yang aku miliki sebagai satu – satunya jejak dari Ibu yang menitipkanku di panti asuhan. Usiaku baru 8 tahun saat itu, dan mungkin usia kita hanya terpaut 2 tahun. Sejak saat itu, kau mulai rutin menemaniku menghabiskan senja di dermaga tepi sungai setiap minggunya. Ya, hanya satu kali dalam seminggu, menjadi jadwal rutinmu mengunjungiku disini. Entah sudah berapa banyak senja yang kita lalui disini, entah sudah puluhan bahkan ratusan cerita yang kau bagi padaku. Dan aku, berbagi rasa lewat catatan yang aku buat untukmu tiap harinya, yang kau baca di setiap kali pertemuan kita.

Saat Ayah mengatakan bahwa dia memintaku untuk menjadi menantunya yang tak lain adalah istri dari kak Raka, aku sungguh sangat terkejut. Lelaki itu sudah ku anggap seperti kakakku sendiri, sudah terlalu banyak cerita yang kubagi dengannya terkecuali tentangmu. Kebaikan Ayah, Bunda dan kak Raka lah yang akhirnya membuatku menerima permintaan Ayah. Tak ada salahnya bersuamikan kak Raka, lelaki tampan yang mapan, sangat menyayangiku, mampu membimbingku, setidaknya itulah yang aku lihat selama ini. Tapi bayangan senja dan engkau merenggut separuh kebahagiaanku. Tiga tahun setelah kepergianmu yang kau bilang untuk melanjutkan kuliah ke tokyo, kau nyaris tak pernah berkirim cerita lagi untukku. Tak ada lagi senja bersamamu, hanya menyisakan aku, anak – anak ikan dan senja yang tak selalu berwarna keemasan.

Lusa adalah hari pernikahanku dengan kak Raka, dia yang akan menjadi masa depanku dan bukan engkau. Aku tak pernah menghitung banyaknya senja yang aku gunakan untuk menunggumu, pun berapa lembar kertas yang aku habiskan untuk menuliskan ceritaku padamu. Mungkin bila nanti catatan ini sampai padamu, kau akan tahu mengapa aku begitu mencintai senja. Dan engkaulah lelaki yang telah membuatku jatuh cinta pada senja. S untuk Sofie, Senja, dan Surya. Aahh... tidak, S hanya untuk Sofie dan Senja, tanpa Surya...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun