[caption id="attachment_359215" align="aligncenter" width="512" caption="Bagian depan Museum Benteng Heritage (doc.pri)"][/caption]
Tak banyak yang tau bahwa kota Tangerang memiliki sebuah museum yang menyimpan sejarah dan peninggalan kebudayaan etnis Tionghoa, dan merupakan museum Tionghoa pertama di Indonesia. Begitu pula dengan saya. Baru sekitar dua bulan lalu saya mengetahui bahwa Tangerang memiliki sebuah peninggalan sejarah Tionghoa di kawasan pasar lama Tangerang, yang merupakan cikal bakal kawasan pecinan pasar lama saat ini.
Museum Benteng Heritage, nyatanya warga Tangerang sendiri belum banyak yang mengetahui keberadaan museum ini. Letaknya di jalan Cilame nomor 20, Pasar Lama Tangerang. Letaknya yang strategis di pusat kota Tangerang yang menjadi cikal bakal kota Tangerang saat ini yang dikenal dengan nama kota Benteng. Penyebutan kota Benteng sendiri disebabkan karena pada saat dikuasai oleh Belanda, Tangerang di kelilingi oleh benteng – benteng yang dimaksudkan untuk menghalau serangan dari kerajaan Banten yang hendak mengambil alih kembali daaerah kekuasaannya yang direbut oleh Belanda. Saya sempat kesulitan untuk menemukan museum ini. Letaknya yang berada di dalam kawasan padat pasar lama dan dari luar tak terlihat plang yang menandai keberadaan Museum Benteng Heritagea, cukup membuat saya kesulitan untuk menemukannya.
[caption id="attachment_359217" align="aligncenter" width="512" caption="pintu masuk Museum Benteng Heritage (doc.pri)"]
Minggu siang kemarin pukul setengah 12 saya sampai di Museum Benteng Heritage. Saya disambut oleh seorang ibu yang merupakan salah seorang pengurus di museum. Setelah membayar tiket masuk sebesar 20 ribu rupiah dan mendapatkan sebuah stiker, saya diantar oleh seorang petugas yang lainnya. Kebetulan saat itu sedang ada acara yang diadakan oleh salah satu komunitas fotografi di Tangerang, jadilah saya ikut bersama rombongan itu untuk mendapatkan penjelasan dari pak Hendra tentang sejarah Museum Benteng Heritage tersebut. Saya diminta naik ke lantai 2 setelah sebelumnya membuka alas kaki terlebih dahulu. Disana sudah ada pak Hendra dan peserta tour yang sedang dijelaskan tentang kecap Benteng yang sudah ada sejak tahun 1882.
[caption id="attachment_359219" align="aligncenter" width="512" caption="Bagian registrasi museum (doc.pri)"]
Adalah Teng Hai Sui yang merupakan pendiri pabrik kecap Teng Giok Seng atau yang lebih dikenal dengan Kecap Benteng yang didirikan pada tahun 1882. Pabrik tersebut hingga saat ini masih beroperasi dan letaknya berada tepat di seberang klenteng Boen Tek Bio yang berada di depan museum. Pak Hendra juga menjelaskan tentang alasan mengapa rumah–rumah pada zaman dahulu khususnya rumah etnis Tionghoa dibuat dengan pemasangan palang pintu. Alasannya adalah agar apabila seseorang masuk ke dalam rumah, secara tidak langsung dan disadari atau tidak, mereka akan lebih membungkukkan badannya seraya menghormati altar pemujaan yang biasanya diletakkan tepat di depan pintu. Pak Hendra juga menjelaskan tentang koleksi koin dari zaman kerajaan Banten yang sebelumnya bernama Bantam yang dimiliki Museum Benteng Heritage.
Berjalan ke bagian tengah di lantai 2, kami diajak mengenal lebih jauh Laksamana Cheng Ho. Seorang pelaut kebangsaan Tionghoa yang menjelajah lautan sejak tahun 1405–1433 dan sudah sebanyak 6 kali menginjakkan kakinya ke wilayah Nusantara, dan salah satunya mendarat di Tangerang tepatnya di wilayah yang sekarang dikenal dengan Teluk Naga. Misinya menjelajah lautan selain untuk singgah dan berdagang, misi lain laksamana Cheng Ho adalah untuk menyebarkan agama Islam. Di tiap kali pelayarannya, laksamana Cheng Ho bisa membawa sekitar 300an perahu dengan prajurit sebanyak 30.000 orang. Di tiap kali singgah, biasanya akan ada sekitar 100an prajurit yang akan menetap di daerah mereka singgah dan tak ikut kembali ke Tiongkok. Ke 100 orang prajurit itu yang akhirnya menikah dengan warga asli pribumu dan merupakan cikal bakal etnis keturunan Tionghoa di Tangerang.
Kami juga di kenalkan dengan sepatu khas yang biasa dikenakan wanita Tionghoa saat itu di Tiongkok. Awalnya saya mengira itu sepatu untuk anak–anak, tapi nyatanya perkiraan saya salah. Bentuk dan ukuran sepatu yang seperti seolah diperuntukkan bagi anak–anak itu sebenarnya dikenakan oleh para wanita dewasa. Pada masa itu di Tiongkok, kaum wanita sejak kecil ditekuk dan diikat bagian jari kakinya sehingga tulang – tulang kakinya tak bertumbuh besar. Alasannya adalah agar para wanitanya tak bisa melarikan diri. Koleksi–koleksi kerang yang ditemukan di bagian pembuangan di bawah bangunan museum itu pun di pajang di bagian tengah museum. Melihat ke bagian atas bangunan rumah di lantai 2 itu, kita disuguhkan dengan relief dari keramik kuno yang pembuatannya menggunakan metode “cut and paste”. Hampir 90 persen ukiran yang terbuat dari potongan keramik warna warni itu utuh sesuai aslinya pada saat dilakukan pembersihan ketika restorasi museum dilakukan. Setelah dilakukan penelitian, relief itu menceritakan tentang kegagahan jendral Kwan Kong yang jujur dan setia.
[caption id="attachment_359223" align="aligncenter" width="346" caption="peraturan pengunjung museum (doc.pri)"]
Museum itu sendiri awalnya adalah sebuah rumah yang ditinggali oleh seorang keturunan Tionghoa. Kemudian pada tahun 2009 rumah tersebut dibeli oleh pak Udaya Halim dan mulai dilakukan restorasi sembari mengulik peristiwa sejarah yang terjadi di sekeliling rumah itu. Rumah yang diperkirakan berusia 300an tahun itu akhirnya resmi dibuka sebagai museum di tahun 2011.
Berjalan ke sebelah kiri ruangan, kami diajak melihat meja altar pemujaan yang juga merupakan tempat meletakkan sesembahan. Beberapa patung dewa – dewa yang diletakkan di altar pemujaan itu pun dijelaskan oleh pak Hendra pada kami. Juga sepasang alat komunikasi dengan arwah leluhur yang terbuat dari kayu juga diperlihatkan pada kami. Berjalan ke arah depan, ada dua buah koleksi kebaya tahun 50’an yang merupakan sumbangan dari warga Tangerang. Ada juga sebuah tempat tidur pengantin lengkap dengan mahkota yang biasa dikenakan pengantin laki – laki dan perempuan serta alat penyangga kepala (bantal) yang terbuat dari anyaman bambu.
Yang unik di bagian ini adalah toilet yang terbuat dari kayu. Penduduk jaman dahulu biasanya meletakkan toilet jauh dari ruang utama atau rumah. Dan penduduk Tionghoa dahulu lebih memilih menggunakan kayu sebagai toilet mereka.
Dibagian selanjutnya kami diajak untuk melihat ruang koleksi kamera milik pak Udaya Halim. Begitu memasuki ruang koleksi kamera, saya dibuat tercengang dengan semua koleksi yang terpampang rapih di dalam sebuah lemari kaca. Pak Udaya sendiri sudah menjadi kameramen sejak tahun 1970’an. Tak heran bila akhirnya beliau memiliki koleksi berbagai jenis kamera mulai dari yang manual hingga yang paling masa kini.
[caption id="attachment_359221" align="aligncenter" width="512" caption="Tangga yang menguhubungkan museum shop dengan lantai 2 (doc.pri)"]
Tak banyak yang tau bahwa sebenarnya salah satu warga keturunan Tionghoa yang bernama Yo Kim Cang lah yang sebenarnya menyelundupkan piringan hitam lagu Indonesia Raya ke Eropa untuk diperbanyak. Selanjutnya hasil copyan piringan hitam lagu Indonesia Raya itu di sebarkan ke beberapa wilayah RI dan akhirnya bisa diperdengarkan secara serempak pada saat proklamasi kemerdekaan RI di tanggal 17 Agustus 1945. Dan salah satu copy piringan hitam yang masih tersisa ada di museum itu setelah mengalami perjalanan panjang. Keturunan terakhir Yo Kim Cang pernah datang ke museum untuk menjelaskan secara langsung tentang piringan hitam sebelum akhirnya meninggal dunia.
Sayangnya, kami tak diperkenankan memotret bagian dalam museum. Kami hanya diizinkan memotret bagian luar dan depan museum. Saya sempat melihat – lihat bagian museum shop yang menjual pernak pernik oleh – oleh juga buku tentang muesum benteng heritage tersebut. Disana juga dijual kecap Benteng yang merupakan hasil produksi pabrik kecap pertama di Tangerang yang masih beroperasi hingga hari ini.
Di bagian depan museum, berjejer rapih penghargaan – penghargaan yang diperoleh oleh museum benteng heritage. Diantaranya dari museum rekor indonesia untuk kategori Museum Tionghoa Pertama di Indonesia, Naga Nusantara Pertama juga dari MURI, Cipta Award 2012 untuk kategori Tujuan Wisata Budaya dan Lingkungan Terbaik dari Menteri Pariwisata RI, Anugrah Purwakalaghra Museum Award 2014 kategori Fun Museum and Smart Museum, dan beberapa penghargaan lainnya. Layaknya para pendahulu kita yang mengupayakan keberadaan kita entah disadari atau tidak, pantas pulalah kita menghormati upaya mereka dengan selalu menghargai sejarah.
[caption id="attachment_359222" align="aligncenter" width="512" caption="Jejeran penghargaan yang diterima Museum Benteng Heritage (doc.pri)"]
Seorang pujangga asal Senegal berkata “Pada akhirnya kita akan hanya melestarikan apa yang kita cintai, mencintain apa yang kita mengerti dan mengerti apa yang diajarkan. Kita harus belajar tentang budaya – budaya orang lain untuk bisa mengerti, juga untuk mencintai dan melestarikan warisan dunia kita bersama...” Yo Yo Mo, White House Conference on Culture and Diplomacy...
[caption id="attachment_359224" align="aligncenter" width="384" caption="piagam penghargaan dari MURI kategori Museum Kebudayaan Tionghoa Pertama (doc.pri)"]
[caption id="attachment_359225" align="aligncenter" width="384" caption="foto silsilah keluarga Tionghoa (doc.pri)"]
[caption id="attachment_359226" align="aligncenter" width="384" caption="lampion yang tergantung di bagian depan Museum (doc.pri)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H