Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pucuk-pucuk Cemara

31 Januari 2024   16:47 Diperbarui: 31 Januari 2024   16:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pucuk-Pucuk Cemara
DN Sarjana

Bener aja Kintamani itu daerah dingin. Malam itu Rivaldo tak dapat tidur nyenyak. Sengatan dingin menyelinap, walau badan nya terlilit bad coper yang lumayan tebal. "Bagaimana kalau aku menginap lebij dari semalam?" Pikir Rivaldo dalam hati.

Ketika Rivaldo keluar hotel, terlihat gadis-gadis kecil sumringah menata barang dagangan. Ada berbagai asesoris tertata dalam bakul jualan. Manik-manik dalam berbagai jenis seperti gelang, cincin, kalung dan masih banyak lagi. Tentu yang paling menjadi icon jualan adalah kipas cendana.

Tak sedikitpun Rivaldo melihat mereka merasakan kedinginan. Wajah sumringah tetap mereka tunjukkan. Senyum gadis desa Kintamani yang menawan. Gerai rambut panjang menambah anggun dan polosnya kehidupan mereka.

Rivaldo coba mengusir rasa dingin dengan menikmati segelas kopi hangat disebuah rumah makan utara jalan. Memandang ke utara tampak bebukitan Batur terlihat eksostik. Liukan batu-batu beberapa terlihat hitam dan kokoh. Konon warna hitam disebabkan letusan Gunung Batur tempo dulu.

Tampak sayong masih menyelimuti. Awan putih menyelinap di balik rimbun dedaunan yang lusuh terbalut embun pagi. Disebalah barat tempat Rivaldo menikmati kopi, terlihat megahnya Pura Batur.

Bersamaan dengan bersitan sinar mentari dari balik bukit, Rivaldo melangkahkan kakinya menyusuri tepian obyek wisata Puncak Penulisan. Terlihat dikejauhan Danau Batur dipancari sinar mentari.

Belum terlalu lama, gadis-gadis kecil itu mulai ramah menawari barang dagangan.
"Ayo om, beli satu untuk penggarus. Bair dapat aja jualan."
Walau Rivaldo menjawab tidak tertarik, gadis-gadis itu terus saja mengikuti langkahnya.

Rivaldo tidak pedulikan mereka. Rivaldo berdiri di jalan pedetrian. Hatinya nelangsa ketika melepas pandang kearah danau Batur. Air danau warna biru terlihat dalam selipan daun cemara, begitu memikat.

Pandangan Rivaldo tertuju pada  penjual yang memajang dagangan di pinggir jalan. Tampaknya gadis itu sudah menginjak remaja. Mungkin karena itu ia malu membuntuti wisatawan.

Rivaldo mendekati dan coba bertanya. "Kamu jualan ya? Bisa aku tahu harus panggil siapa? Kalau aku cukup Valdo. Kalau nama lengkapku Rivaldo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun