Melintas dalam ingatannya Tanah Lot, pantai Kuta telah membuat hatinya tumbuh mekar. Akankah terulang lagi? Lampu dalam pesawat tampak terang. Tanda sudah bisa membuka sabuk pengaman. Tiada lagi terlihat di luar kecuali sekumpulan awan. Beberapa penumpang membaca koran. Ada juga yang memasang head set mendengarkan musik. Pramugari tampak membagikan makanan. Cindy membuka tempat makan di depan tempat duduk. Dia tidak hirau dengan hidangan. Ia terasa nyaman dalam diam membisu. Entah apa yang melintas dipikirannya, kemudian dia terlelap tidur dalam kesepian.
Hingga terdengar kru pesawat mengumumkan bahwa pesawat siap-siap mendarat. Penumpang dipersilahkan memakai sabuk pengaman. Terasa pesawat bergetar. Mungkin sedang turun dari ketinggian. Hanya beberapa saat, pesawat mendarat dengan aman. Mobil air port menjemput penumpang keluar dari bandara.
Pak Hendro sopir pribadi mama, sigap menjemput. Kali ini Bu Inem juga ikut. Sambil menyalami mama dan aku, pak Hendro dan bu Inem, bergegas mengangkat barang bawaan dari troly.
"Pak Hendro, Bi Inem, hati-hati ya. Barangnya berat". Mereka mengangguk.
"Mari, ibu yang bawa Den Ayu. Bi Inem mencoba meraih lukisan yang aku pegang".
"Aku aja bi. Tidak berat kok".
Tidak berselang lama, mereka sudah sampai di rumah. Rumah yang luas dengan taman yang tertata rapi.
"Den Ayu, bibi sudah buatkan teh jahe hangat kesukaanmu. Silahkan dinikmati. Bibi sudah taruh di kamar".
Sambil tersenyum dan memegang tangan Bibi Inem, Cindy berkata. "Bi, sini dulu. Ikuti aku ke ruangan. Aku ingin cerita sama bibi".
Bi Inem mengangguk.
Sesampai di kamar, Bi Inem diberikan kejutan berupa hadiah baju yang bercirikan nuansa Bali.
"Bi, ini baju dengan gambar Tanah Lot. Yang satu lagi, yang dres itu oleh-oleh dari pantai Kuta".
Bi Inem tampak sumringah. Senang bukan main dapat oleh-oleh dari Bali. Berkali-kali dia bilang terimakasih.
"Bi, yang terbungkus itu, kita buka bersama yuk. Pasti bibi akan terkejut apa isinya".
Cindy perlahan merobek bungkusan. Bi Inem ikut memegangi. Tampak mulai terlihat urai rambut. Cindy terus merobek bungkusan, hingga.
"Na, lihat kan Bi, lukisannya?"
Bi Inem terheran-heran. Gadis yang dari kecil dia asuh tampak anggun dan cantik di lukisan itu. Persis dengan yang sesungguhnya.
"Duh, Den Ayu, lukisannya bagus. Cantik dan ayu. Memang pas dengan Den Ayu", Bi Inem memuji.
Cindy tersenyum dan menatap Bi Inem.
"Bibi tahu siapa yang melukis?"
"Hendaklah Den Ayu. Menurut Bibi, pasti ganteng orangnya". Baru berkata demikian, Cindy teringat dengan pelukis yang meluluhkan hatinya, Â Mas Putu.