Akhirnya, saya terdampar di sini. Angers, sebuah kota kecil di bagian barat Prancis. Mungkin terlalu berlebihan mengungkap ini, tetapi bagi saya, melanjutkan pendidikan dengan segalanya berada di luar zona nyaman merupakan pengalaman berharga yang sangat saya dambakan. Namun, tentu saja, mendapatkan pengalaman ini dalam genggaman tidaklah mudah.
Finansial menjadi permasalahan utama. Siasat saya adalah dengan beasiswa, tapi lagi-lagi saya harus melalui rintangan, jatuh-bangun, putus asa dan kecewa yang bertubi. Saya menjadi sangat terlatih untuk bersabar dengan urusan birokrasi, serta pasrah menggantungkan kisah akhirnya nanti pada nasib, walaupun segala persyaratan sudah dipersiapkan sedari awal.
Sampai di Prancis, saya hanya bisa bernafas lega sebentar. Lingkungan yang baru menuntut saya untuk beradaptasi. Kalau orang lain mungkin melihat kesempatan saya ini penuh dengan euforia dan rasa bangga, tapi kenyataannya mimpi yang jadi nyata tidak selamanya sebahagia itu. Banyak suka-duka yang saya lalui, yang pada akhirnya semakin membentuk pribadi saya, menegaskan bagaimana saya dan memacu untuk membentuk siapa saya nantinya, dan hal yang terpenting adalah: saya belajar tentang hidup.
Luar Negeri itu bukan hidup di istana dengan kehidupan mewah, dilayani bagai raja dan disuguhi kenyamanan. Mungkin, sebagian dari pembaca tidak dengan mudahnya percaya dan setuju, “Bagaimana bisa? Bukannya enak ya hidup di Luar Negeri?” Oke, saya coba jabarkan satu-persatu. Kita mulai dari makanan. Kebiasaan saya makan nasi, dengan sayuran dan lauk matang harus dengan terpaksa diganti dengan roti keras, keju dan makanan mentah.
Belum lagi kebingungan dengan makanan ‘tidak dikenal’ lainnya yang dijual di supermarket atau restoran. Kemudian, harus berkompromi juga dengan cuaca, dari yang paling dingin suhu minus menusuk tulang, sampai paling panas hampir 40 derajat celsius dengan udara yang pengap. Hal lainnya adalah transportasi, harus membuang kebiasaan 'santai' dan menggantinya dengan disiplin dan tepat waktu. Belum lagi budaya-budaya lainnya yang sangat kontras dengan budaya timur. Berada di sini seperti di hutan, dipaksa agar cepat beradaptasi dan selalu mencari cara bagaimana untuk tetap bertahan hidup. Well, challenge accepted!
Mereka tidak Seramah itu
Mereka, orang lokal, tidaklah seramah seperti halnya orang Indonesia kepada orang asing. Pendatang di sini dianggap sama. Mereka menganggap, kita bisa berbahasa mereka selancar yang mereka bisa. Tentu saja, usaha kita untuk memahami terkadang kurang dihargai dan dijawab ketus. Penolakan untuk berbahasa lainnya selain bahasa mereka (bahkan bahasa Inggris) juga sering terjadi. Namun, saya bisa ambil sisi positifnya, setidaknya saya jadi semakin terpacu untuk memfasihkan diri, walaupun memang perlu waktu untuk itu.
Warna-Warni Karakter
Hidup itu memang harus seimbang, harus ada yang suka dan yang tidak. Berada di lingkungan ini saya belajar tentang bagaimana tidak terlalu terbuai tinggi dengan pujian, dan tidak terlalu tersungkur jatuh dengan cibiran. Setiap orang tentunya berhak berkomentar dan berargumen tentang siapa kita. Saya hanya bisa biarkan mereka membuat karangan paling ‘kreatif’ tentang saya. Mungkin cuman bisa tertawa lucu ketika ada yang berusaha menanyakan seperti apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka, saya akui, sangat lihai dalam mengutak-atik bahasa, termasuk mencomot dan menambahkan cerita sesuai fantasi dan keinginan sendiri. Klarifikasi pun mungkin bukan solusi terbaik. Yang hanya bisa saya lakukan adalah menunjukkan bagaimana saya sebenarnya, biarkan sisanya mereka yang simpulkan sendiri.