Pesat dan cepatnya penyebaran informasi saat ini tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga menuai berbagai polemik. Netizen dengan mudahnya menerima informasi dan bahkan menyebarkannya dengan satu sentuhan saja, yang bahkan bisa dibaca publik dengan sangat cepat dalam waktu sepersekian detik.Â
Bahayanya, semua berita yang diposting bisa dilakukan oleh siapapun, dan dimanapun tanpa kredibilitas yang pasti, sehingga berita tersebut tidak terfilter secara maksimal untuk membedakan mana berita yang sesungguhnya atau mana berita hoax yang justru memiliki unsur fitnah ataupun provokasi semata.
Terkait dengan hal tersebut, kita tentunya masih belum lupa dengan kasus penistaan agama yang menyeret nama mantan Gubernur Jakarta, serta kasus yang menyeret nama putri proklamator, Sukmawati Soekarnoputri usai video deklamasi puisinya beredar viral. Sebenarnya tidak hanya itu, kasus penistaan agama di Indonesia sudah ada sejak tahun 1965 dan puncaknya pada tahun 2006 (sumber tirto.id).Â
Sekedar mengingat kembali, beberapa kasus penistaan agama yang pernah muncul seperti: Penangkapan Lia Eden yang terjerat kasus karena menganggap diri memimpin sekte Kerajaan Tuhan, Arswendo dikarenakan hasil jejak pendapatnya di tabloid monitor yang menimbulkan pergunjingan sebab dirinya lebih popular dibandingkan Nabi, hingga penistaan agama Hindu oleh seorang Ibu Rumah Tangga bernama Rusgiani karena menyebut canang sebagai sesuatu yang menjijikkan. Nyatanya, kasus penistaan agama tidak hanya membawa satu agama saja, tapi hampir kelima agama yang ada di Indonesia.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa betapa sensitifnya masyarakat Indonesia ketika disinggung mengenai hal-hal mengenai agama. Hanya disentil sedikit langsung berreaksi, hanya melirik sedikit langsung berkomentar.Â
Seakan perbedaan agama balik menjadi boomerang perpecahan. Jika hal ini kian terjadi tanpa adanya solusi yang tepat maka agama tidak lagi menjadi kendaraan perdamaian tapi gerbang perpisahan.
Jadi merupakan langkah yang sangat tepat ketika Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mulai mencari cara berbenah untuk mengatasi reaksi cepat masyarakat serta sinisme yang dilakukan terhadap agama lain.
Sesungguhnya, ketika banyak opini yang menyebutkan tentang bagaimana mengatasi hoax dengan penyaringan konten, ataupun pemberlakuan spam, report serta bentuk penghapusan postingan lainnya, hanya sedikit yang membahas mengenai bagaimana melihat kasus penistaan agama ini dari sisi manusianya, dari mereka yang menyebarkan dan mereka yang membaca.
Hoax tidak akan menyebar dengan cepat jika publik tidak tertarik untuk membaca dan membagikannya. Hoax penistaan agama tidak akan menjadi momok, ketika public sudah teredukasi dan tahu mana yang benar bagi agamanya. Serta, hoax tidak akan menjadi viral jika masyarakat disibukkan dengan hal-hal yang lebih produktif dan positif. Kesimpulannya? Minat masyarakat untuk mempergunjingkan agama lain, merasa agamanya sendiri yang paling benar serta kurang produktifnya kegiatan mereka yang kemudian menjadi akar permasalahan. Inilah yang sudah semestinya menjadi fokus utama kementrian agama.
Analogi sederhananya, layaknya hukum supply-demand, supply atau penawaran penyebaran hoax ini akan terus ada semasih adanya demand atau permintaan dari masyarakat. Jadi yang harus segera ditumbangkan adalah permintaan tersebut, lalu bagaimana caranya?
Meretas Hoax bukan hanya dari kontennya, tapi dengan membenahi penggunanya, baik penulis dan pembaca. Penyebar berita tahu bahwa beritanya akan laku, dan masyarakat akan terpancing, sehingga hal ini terus dilakukan. Sekeras apapun pemerintah berusaha memfilter, melarang masyarakat membuat konten yang sensitif mengenai agama, namun semasih masyarakat dan netizen 'senang' untuk menjadi penonton, maka hal ini akan mustahil untuk dihapuskan.