Semua orang pastinya sudah tahu, ketika memasuki bangku sekolah menengah atas, kita dihadapkan untuk memilih antara 3 jurusan, yakni IPA, IPS atau bahasa. Pada dasarnya, penjurusan ini adalah untuk lebih mengkonsentrasikan bidang pembelajaran, sehingga siswa diharapkan mampu lebih terfokus.
Namun, praktiknya, seringkali ketiga jurusan ini hadir dengan buaian stereotip dan mitos.
Saya putar kembali ingatan saya waktu itu. Berhubung saya tidak tahu yang mana lebih baik dipilih, saya memulai mencari tahu dengan menanyakan orang-orang di sekeliling saya, termasuk orang tua. Nyatanya, kebanyakan dari mereka begitu mendewakan jurusan IPA. Jurusan ini dianggap segalanya dan paling fleksibel, karena katanya siswa jurusan IPA masih bisa beralih ke ilmu sosial dan bahasa nantinya, dan tentunya dengan lebih mudah beradaptasi dan mengerti terhadap ilmu baru.Â
Orang-orang yang bisa masuk jurusan ini dianggap pintar dan memiliki IQ yang lebih tinggi daripada jurusan yang lain, karena sederhanya dianggap lebih bisa menggunakan logika, sedangkan jurusan yang lain hanya mengandalkan hapalan. Iming-imingnya juga, karena katanya jawaban ujian lebih pasti, ketimbang ilmu sosial yang harus berupa essay ataupun pengetahuan umum. Terakhir, semakin dibumbui lagi dengan kemudahan untuk mencari jurusan jika melanjutkan kuliah nanti. Intinya, masa depan seakan gemilang untuk kelas IPA.
Di sisi lain, sayangnya jurusan IPS makin dikesampingkan. Mitosnya mayoritas siswa kelas IPS adalah orang-orang berandal, rebel, dan ditakutkan lagi mudah terpengaruh dengan pergaulan yang menyimpang.
Kemudian, kita beralih ke jurusan yang paling jarang diminati: bahasa. Dulu, saat saya SMA, kelas bahasa hanya satu, Â siswanya hanya 11 orang. Bahkan, tidak sedikit yang bilang kelas ini kelas buangan.
Saya masih mengubur dalam-dalam kebingungan akan stereotip ini, dan dengan lugunya mengikuti apa yang orang tua dan mayoritas orang sarankan. Tapi selama tiga tahun mengenyam bangku SMA di kelas IPA, belajar tentang sin, cos, tan, algoritma, sel tubuh, unsur kimia dan lain sebagainya, berbagai pertanyaan kian muncul di pikiran saya. Apakah memang ini yang saya perlukan untuk dipelajari? Bergunakah ini nantinya untuk saya dalam mencari pekerjaan?
Waktu cepat berlalu, sampai akhirnya, ketika saya melanjutkan ke S1, saya lebih memilih sastra, dan kini untuk S2 saya malah mengambil ilmu sosial. Tidak hanya saya yang akhirnya menyimpang ke jalan lain, banyak pula teman sekelas SMA saya yang kini malah mengambil jurusan ekonomi, manajemen, sosial politik, dan berakhir dengan bekerja di bidang sosial. Bidang ilmu yang justru saat SMA dulu tidak pernah mereka kenal dan pelajari.
Sampai sejauh ini saya melangkah, saya baru tersadar, 3 tahun berada di kelas IPA tidak benar-benar bermanfaat seutuhnya bagi saya. Kelas IPA hanya untuk bagi mereka yang ingin melanjutkan ke kedokteran, farmasi, laboratorium, keperawatan, dan pekerjaan lainnya terkait ilmu sains. Sedangkan, IPS untuk masalah sosial, entah itu hubungan internasional, keuangan, politik dan lain sebagainya.Â
Tidak jarang justru banyak orang pintar dan cerdas yang berkiprah di ilmu sosial dengan berbagai pengetahuan umumnya yang luas, karismatik dan diplomasi yang mumpuni. Apalagi ditambah dengan kemampuan bahasa yang luar biasa. Globalisasi kini membuka gerbang semakin luasnya lapangan pekerjaan, tapi hanya akan menjadi semakin mudah bagi mereka yang biasa berbahasa asing dengan baik.
Saya pastinya tidak bisa memutar balik waktu, namun yang masih saya bisa lakukan adalah memberikan saran bagi adik-adik di sana yang sedang membaca artikel ini, atau orang tua yang kini sedang membimbing anak-anak mereka. Tidak ada yang salah dengan jurusan IPA, IPS dan bahasa. Tidak akan semudah itu untuk menyimpulkan bahwa kita lebih pintar atau kurang pintar hanya karena berada di suatu kelas tertentu. Tidak ada juga yang bisa menjamin masa depan hanya dengan berpegangan pada satu kelas yang menurut orang lain hebat, tapi justru tidak sesuai dengan minatmu.