Istilah kearifan lokal, juga dikenal sebagai local wisdom, adalah gabungan dari dua suku kata. Kebijaksanaan adalah kemampuan manusia untuk bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang digunakan dari melihat fenomena yang terjadi dengan menggunakan pikirannya, sedangkan lokal berfokus pada ruang terbatas untuk interaksi dan sistem nilai yang melibatkan hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dan lingkungan (Ridwan, N, 2007).
Secara geografis Kabupaten Kediri berbatasan dengan Kabupaten Jombang di utara, Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar di timur, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Tulungagung di selatan, serta Kabupaten Nganjuk di barat dan utara. Kota Kediri menjadi enklave dari Kabupaten Kediri. Kabupaten Kediri memiliki luas wilayah 1.523,97 km2. Yang terbagi menjadi 26 kecamatan.
Kebudayaan berasal dari Bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang artinya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan akan dan budi manusia  (Koentjaraningrat, 2015). Dalam KBBI, culture (budaya) memiliki arti sebagai sebuah pikiran ,adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang dan menjadi kebiasaan turun-temurun yang sukar diubah.
Larung sesaji diartikan sebagai kegiatan melarungkan sesaji berupa hasil bumi sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME atas berkah yang diberikan kepada manusia, dan juga sebagai permohonan keselamatan dan perlindungan Tuhan YME (Sulistyowati, 2018). Awal mula adanya ritual larung sesaji adalah berdasarkan kisah Dewi Kilisuci dan Mahesasuro sering dikaitkan dengan meletusnya Gunung Kelud di Kabupaten Kediri, hal ini tercatat di dalam naskah-naskah klasik seperti, Kitab Pararaton dan Perjalanan Bujangga Manik.Â
Singkatnya, Dewi Kilisuci merupakan putri Kediri yang dipinang oleh dua orang laki-laki bernama Lembu Suro dan Mahesa Suro. Namun Dewi Kilisuci ingin menolak pinangan tersebut dengan dalih ingin dibuatkan sumur masing-masing berbau wangi dan amis. Saat sumur hampir jadi Dewi Kilisuci yang dari awal enggan menerima pinangan tersebut akhirnya meminta anak buahnya untuk mengubur sumur yang terdapat Lembu Suro dan Mahesa Suro di dalamnya, alhasil mereka mati karena terkubur di dalam sumur yang dibuatnya sendiri.
Sebelum mereka mati Lembu Suro sempat mengucapkan sumpah yang berbunyi "Kediri dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung dadi kedung" yang artinya "Kediri jadi sungai, Blitar jadi halaman, Tulungagung jadi danau" (Fatimah, dkk. 2019). Oleh karena itu, masyarakat melakukan ritual larung sesaji sebagai tolak balak dari kutukan tersebut.
Isi sesaji dalam ritual larung sesaji adalah nasi, sayur, lauk pauk, buah-buahan, yang disusun dalam bentuk tumpeng (Bambang, 2016). Masyarakat membuat dua jenis tumpeng yakni, tumpeng nasi putih dan nasi kuning dengan kreasi yang serupa. Semua makanan yang telah terkumpul dijadikan satu ditempatkan di tengah yang dikelilingi oleh masyarakat sambil duduk dan mendengarkan ketua adat membacakan doa, kemudian memperebutkan hasil sesaji tersebut.Â
Bahan sesaji yang digunakan dalam ritual larung sesaji di kawah Gunung Kelud adalah wedang kopi murni, lada tawar, badek, ayam panggang, dll. Dan yang paling penting adalah melarungkan batu intan ke kawah Gunung Kelud (Fatimah, dkk. 2019).
Kesimpulannya Keanekaragaman budaya Indonesia, khususnya, merupakan kekayaan budaya berharga yang harus dilindungi. Di Desa Sugihwaras Kecamatan, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, upacara adat Larung Sesaji Gunung Kelud masih dilestarikan. Upacara kuno ini adalah salah satu kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun sebagai titik awal untuk tolak balak kutukan Lembu Suro pada Dewi Kilisuci karena kecewa karena telah ditipu dalam perjuangan cintanya. Budaya ini dilaksanakan setahun sekali dengan tujuan sebagai satu kesatuan suatu bentuk penghargaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang melimpah.
Sumber: