Mohon tunggu...
Devira Nanda
Devira Nanda Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Membiasakan diri menulis untuk berbagi hal-hal yang penting dan bermakna

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sine Cera, Tanpa Lilin

24 Agustus 2010   04:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada jaman Romawi kuno, patung dianggap sebagai karya yang agung, simbol status yang tertinggi bagi pemiliknya yang melambangkan kekayaan, kedudukan sosial, bahkan keabadian. Para pemahat patung tak luput dari imbas fenomena ini. Mereka begitu dipuja dan dihormati layaknya seorang nabi. Sayang beberapa pemahat patung ini kemudian berlaku curang. Cacat pada patung karena pahatan yang meleset atau karena ketidaksempurnaan batu dengan terampil dipoles dengan lilin bewarna. Lilin menutup ketidaksempurnaan tersebut hingga matahari, angin, dan waktu mengungkapnya.

Seniman patung yang idealis mengecam hal ini dan tak mau ambil bagian dalam menipu pelanggannya. Dengan tegas mereka memasang papan bertuliskan 'Sine Cera' di pintu toko mereka. Dalam bahasa Latin sine cera berarti tanpa lilin. Para seniman patung yang memasang tanda sine cera menjamin pahatan patungnya asli oleh karena itu mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk teliti memahat tiap detail. Meski seringkali harus kalah bersaing dengan seniman komersil, mereka memilih untuk tetap bekerja lebih keras. Kisah ini kemudian mengilhami pembentukan kosakata dalam Bahasa Inggris yang kita kenal dengan sincere yang artinya jujur.

Dalam beberapa hari terakhir saya terus teringat kisah tersebut. Berapa banyak orang saat ini yang berani bersikap sincere? Atau lebih tepatnya, masih adakah orang yang bersikap sincere?

Berapa banyak pemimpin dan calon pemimpin masa depan yang berani memasang tanda sine cera dalam hati mereka? Berapa banyak pemimpin dan calon pemimpin yang tidak berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diri mereka? Berapa banyak pemimpin dan calon pemimpin masa depan yang mampu mendengarkan dorongan kata hati: mengetahui apa yang benar-benar diinginkan atau tidak diinginkannya? Berapa banyak pemimpin dan calon pemimpin yang tahu siapa diri mereka dan tidak takut menunjukkan hal itu?

Setahun terakhir saya sangat menikmati proses pembelajaran kepemimpinan di beberapa organisasi kampus. Dari situ saya memetik pelajaran bahwa komunikasi pemimpin yang efektif tidak menggunakan pidato dan kata-kata yang dipoles hebat dan penuh retorika. Tujuan seorang pemimpin tidak akan serta merta terwujud melalui kompromi-kompromi politis yang membingungkan. Alih-alih mengubah, imbas nyata yang ditimbulkan adalah meneruskan keburukan yang sudah ada. Nilai-nilai yang ingin ditanamkan oleh seorang pemimpin hanya akan terdengar seperti monolog basi. Kita membenci kepura-puraan dan merindukan pemimpin sejati yang benar-benar mewakili sesuatu.

Sayang, terlalu banyak pemimpin dan calon pemimpin di sekitar saya yang berusaha menutupi kesalahannya, perasaan mereka sesungguhnya terhadap sesuatu, atau bahkan kebenaran dengan semacam lilin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun