Semenjak kecil, saya dididik untuk turut menyemarakkan hari kemerdekaan RI dengan mengikuti berbagai lomba yang berlangsung sejak seminggu sebelum tanggal 17 Agustus baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. Sebagai anak-anak tentu saya merasa sangat antusias mengikuti macam-macam lomba yang dalam ingatan saya cukup kocak ketika itu. Apalagi ditambah iming-iming hadiah yang dibungkus kertas kado warna-warni, saya yang dulu termasuk pemalu mendadak kehilangan malu. Saya larut dalam suasana. Semua orang di sekitar saya tertawa, bersemangat, dan hangat.
Hiruk pikuk kemeriahan. Sejak kecil saya melihat agenda utama perayaan hari kemerdekaan di negeri ini diwarnai kemeriahan. Mulai dari upacara besar-besaran, lomba-lomba, acara karnaval dan jalan santai, panggung hiburan, hampir tak pernah saya melihat ada suatu acara yang menawarkan konsep lain. Dari rangkaian seremonial kemerdekaan yang saya ikuti dan saksikan ketika masih kecil dulu, hampir tak terbesit sama sekali bahwa negara ini tidak sejahtera. Ya, semua serba gemerlap dan meriah.
Namun kini seiring bertambahnya usia saya merasa ada sesuatu yang timpang. Dalam riuh ramai seremonial kemerdekaan itu memang terasa benar kebersamaan, gotong royong, dan kekeluargaan di antara warga. Namun setelah pelaksanaan semua seremonial itu tidak ada kelanjutan yang berarti. Seolah seremonial itu sengaja dibuat sedemikian menarik untuk menghibur sejenak masyarakat yang sudah lelah menjalani beban kehidupan yang berat. Lebih jauh, seremonial tersebut rupanya telah mengalihkan perhatian masyarakat dari esensi perayaan dan tujuan kemerdekaan itu sendiri.
Momen hari kemerdekaan Indonesia yang selalu memperoleh antusiasme yang tinggi dari masyarakat sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk mengedukasi warga mengenai hakikat dari kemerdekaan itu sendiri. Seremonial yang bersifat artifisial menghabiskan dana besar hanya untuk hiburan. Seolah berusaha menutup borok dari pembangunan yang belum juga berjalan dengan baik, masyarakat disuguhi berbagai acara hura-hura dan konsumtif sementara di luar sana masih banyak persoalan krusial yang tak kunjung terselesaikan menyangkut kemiskinan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan.
Marilah kita fokus kembali pada esensi peringatan kemerdekaan: (1) nasionalisme, yang dimaksud tentunya bukan fanatisme sempit yang destruktif, melainkan nasionalisme yang bernafaskan semangat untuk membangun; (2) pembangungan, yang dimaksud adalah refleksi dan evaluasi pembangunan yang telah berjalan lebih dari setengah abad terakhir ini.
Keduanya sangat erat berkaitan. Kenapa? Kerena memupuk nasionalisme akan lebih baik jika disertai pemahaman mendalam mengenai kondisi riil negara dan usaha pemecahan masalah bersama-sama. Dengan ditanamkannya sense of belonging terhadap negera tempat mereka tinggal ini, warga akan tergugah untuk berbuat sesuatu untuk sekitarnya dengan kata lain ia turut berpartisipasi dalam pembangunan.
Oleh karena itu perayaan hari kemerdekaan hendaknya diisi dengan kegiatan sosial yang menekankan pada semangat pengabdian masyarakat. Sayang rasanya jika perayaan hari kemerdekaan yang menelan banyak biaya ini hanya digunakan untuk hiburan sesaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H