Beberapa hari terakhir kegiatan saya dipenuhi dengan menyimak berita tentang kekerasan yang terjadi di berbagai tempat. Kalau kemarin berita yang mencuat di permukaan adalah berita bentrokan antara siswa SMAN 6 Jakarta dengan wartawan, menurut saya itu hanya puncak gunung es saja, dari kondisi bangsa ini dimana toleransi dan tenggang rasa semakin terkikis. Kalau mau ditelusuri akar permasalahannya, siswa SMAN 6 ini bukan aktor tunggal dalam mata rantai kekerasan tersebut. Sistem yang berkembang di sekitarnya ikut berperan membentuk karakter mereka.
Kekerasan di lingkungan akademik bukan hal baru. Sudah ada sejak lama, mendarah daging dan menjadi tradisi, kalau kita mau mengakui. Menerawang kembali ke belakang, mengingat perjalanan saya mulai menjadi siswa hingga mahasiswa seperti sekarang, kekerasan dalam lingkungan akademik jamak terjadi. Salah satu contoh: siswa yang baru diterima di sebuah sekolah seringkali mendapat kekerasan (bullying) baik psikis maupun fisik dari senior.
Bagaimana kekerasan tersebut bisa lolos tiap tahunnya? Siswa tidak lagi semena-mena mengintimidasi sesamanya tetapi lebih ke cara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Kekerasan di lingkungan akademik jaman sekarang ini disusun rapi dengan kedok pelatihan dasar kepemimpinan. Saya berulangkali menemui organisasi ekstrakurikuler di sekolah, yang sedang menjaring anggota baru dan mengadakan pengaderan, hampir selalu memasukkan agenda 'pressing' dimana senior memperlakukan juniornya dengan keras dan kasar, memberi hukuman fisik, memaki dan berteriak, dengan alasan untuk membentuk mental yang kuat, disiplin, dan tertib.
Saya selalu menyangsikan tujuan dari pola pembelajaraan yang menggunakan kekerasan tersebut. Alih-alih membentuk mental siswa yang lebih baik, justru faktanya tidak ada perbaikan signifikan dalam hal kedisiplinan atau prestasi siswa. Seringkali ritual pressing hanya menjadi ajang balas dendam bahwa sebelumnya senior pernah mengalami perlakuan yang sama. Kekerasan terus berlanjut dan menjadi tradisi, karena siswa telah didoktrin bahwa pressing adalah satu-satunya cara agar siswa memeliki ikatan dan solidaritas yang erat dengan teman & seniornya.
Kekerasan ini terus berlanjut hingga ke perguruan tinggi. Banyak organisasi mahasiswa yang menerapkan pengaderan dengan bumbu kekerasan dan intimidasi pada juniornya, dengan keyakinan bahwa praktik kekerasan tersebut bisa menghasilkan perubahan perilaku pada mahasiswa baru. Tapi, saya tidak tahu perubahan perilaku seperti apa yg diharapkan orang-orang yang melanggengkan budaya feodal ini. Karena di luar nilai-nilai yang coba mereka tanamkan dengan kekerasan itu, mereka sendiri belum menunjukkan kualitas terbaiknya.
Kekerasan di lingkungan akademik ini bagai lingkaran setan. Kalau kemarin kita menyaksikan kebrutalan puluhan siswa SMA menyerang orang dewasa, ini bukan semata-mata kesalahan siswa yang bersangkutan, guru, atau kepala sekolah. Ini baru di Jakarta, anda mungkin belum mendengar bagaimana perilaku siswa-siswa di daerah. Kekerasan di kalangan siswa dapat dengan mudah terjadi karena:
1. Adanya pembiaran praktik kekerasan terselubung di lingkungan sekolah/kampus selama bertahun-tahun oleh petinggi-petinggi di sana.
2. Maraknya kekerasan yang dilakukan oleh oknum tdk bertanggung jawab yang disiarkan oleh media, yang sayangnya hingga kini masih belum tuntas.
3. Semakin terkikisnya toleransi dan tenggang rasa di kalangan dewasa di negeri ini, dimana jamak kita temui perbedaan sedikit saja sudah dijadikan alasan untuk menyerang bahkan membunuh orang lain. Contoh yang buruk bagi pelajar,
Semua pihak bertanggung jawab atas hal ini. Apa peran kita? Terus berusaha menjadi teladan, tunjukkan bahwa dunia akan jadi lebih indah dan damai tanpa kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H