Mohon tunggu...
Devira Nanda
Devira Nanda Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Membiasakan diri menulis untuk berbagi hal-hal yang penting dan bermakna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bulan Penuh Berkah bagi Pengemis

10 Agustus 2010   16:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:09 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa malam terakhir ini ada pemandangan yang tidak biasa di sudut-sudut pusat keramaian di kota Surabaya. Jika biasanya di tempat umum saya menggerutu karena 'ditodong' pengamen dengan suara pas-pasan dan petikan gitar asal-asalan, beberapa hari terakhir tidak banyak pengamen yang terlihat. Seolah sudah terjadwal-mengingat sudah mulai memasuki bulan ramadhan- pengamen-pengamen itu digantikan oleh beberapa pengemis, mulai dari pengemis anak-anak, ibu-ibu yang membawa serta anaknya, sampai nenek-nenek.

Ya, pengemis dan kemiskinan adalah potret nyata di negeri ini. Pertumbuhan ekonomi yang diraih negara tidak menyentuh fakir miskin secara riil. Dari tahun ke tahun mereka terus mengemis, dari yang tadinya malu-malu kini menjadi sebuah pekerjaan tetap yang terorganisir. Budaya mengemis dan pilihan untuk menjadi pengemis tanpa disadari terbangun dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi pengemis bukan lagi karena keterpaksaan akibat himpitan ekonomi dan ketidakberdayaan sosial, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh struktur sosial dan ekonomi yang timpang.

Paradigma kemiskinan kini tak hanya dipandang sebagai suatu kegagalan institusional dan struktural yang cenderung menyalahkan sistem dan pemegang kekuasaan. Sekarang muncul analisis kemiskinan menurut perspektif individual-kultural dimana kemiskinan merupakan kesalahan individu yang bersangkutan. Seorang pengemis miskin mengemis karena ia malas, tidak mau bekerja, atau tidak punya etos kewirausahaan di samping ada pula pengemis yang mengemis bukan karena tidak mau bekerja melainkan karena tidak ada pekerjaan untuknya; ia tidak sempat mengenyam pendidikan, tidak memiliki keterampilan. Singkat kata: ia dimiskinkan.

Parahnya budaya mengemis dewasa ini tidak lagi diartikan harfiah identik dengan orang miskin yang meminta-minta uang di tempat umum. Belakangan budaya mengemis yang terbangun di masyarakat makin kompleks. Kini yang mengemis bukan lagi orang miskin tapi juga kalangan menengah ke atas. Para mahasiswa dari keluarga mampu berbondong-bondong mengurus (memalsu) Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk mendapat beasiswa. Para keluarga yang berpenghasilan cukup pun tak ketinggalan mengurus SKTM untuk mendapat askes rumah sakit gratis. Beberapa yayasan keagamaan menyebarkan anggotanya ke rumah-rumah warga dalam rangka menghimpun donasi-yang seringkali tidak dilengkapi keterangan yang jelas mengenai yayasan dan kegiatannya.

Tanda kegagalan pemerintah? Ya, jelas pemerintah gagal. Tapi saya malas menulis keburukan-keburukan pemerintah disini karena kita cenderung hanya akan meratapi dan mengeluh. Sederhananya, memberantas pengemis justru dimulai dari diri kita sendiri. UU dan perda larangan mengemis hingga fatwa MUI bahwa mengemis itu haram hanyalah bagian dari rancangan program pemberdayaan, yang menentukan berhasil tidaknya peraturan tersebut berjalan tidak hanya pemerintah, tapi juga kita.

Sebagai sebuah hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan yakni keberdayaan dan keberkuasaan yang mencakup: (1) state of mind, seperti perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupannya secara mandiri; (2) reallocation of power, yaitu keteraturan yang dihasilkan dari pembenahan struktur sosial. Maka dari itu, ingatlah bahwa suksesnya pemberdayaan tersebut sangat penting tidak hanya pagi pengemis tapi juga kita semua.

Tanamkan pada diri anda bahwa mengemis, apapun modusnya, adalah wujud dari kemalasan. Memang, tidak semua pengemis mengemis karena malas bekerja, ada juga orang yang benar-benar tidak berdaya dan terdesak. Melihat hal ini tidak manusiawi rasanya kalau saya menganjurkan orang-orang untuk tidak bersikap iba terlebih kepada pengemis yang tidak berdaya. Namun, sekali lagi bersikaplah bijak. Bisa jadi orang yang tadinya terdesak itu menjadi benar-benar malas karena terbiasa mengemis.

Demi terciptanya generasi bangsa yang rajin dan pekerja keras, lebih baik salurkan kelebihan harta ke tempat-tempat yang tepat dan terpercaya. Sikap memberi uang pada pengemis sebenarnya tidak banyak membantu mereka, justru membuat mereka semakin bodoh dan malas. Dan buntut dari itu, semua upaya, niat baik, dan program pemberdayaan masyarakat dari pemerintah tidak akan tercapai jika rakyat lemah dan malas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun