Mohon tunggu...
Devi Raissa Rahmawati
Devi Raissa Rahmawati Mohon Tunggu... -

I am 22 years old woman. Graduated from University of Indonesia majoring in Psychology last year. Currently, waiting for my master program in Child Psychology begin on September 2010. Now, I work as assistent writer. I also establish company with two of my friends based on social entrepreneurship names 'Indonesian Youth Project'. Beside of that, I do some of eco projects and actively blogging about global warming and child psychology on www.precioustrash.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Bermula dari Level Kognitif..

7 Mei 2010   12:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[caption id="" align="alignleft" width="225" caption="Pak Salam, gigih berdaur ulang "][/caption] "Seperti mata uang, sampah dapat menjadi kutukan ataupun berkah, tergantung orang yang mempersepsi" Pak Salam mungkin satu dari segelintir orang yang memperoleh berkah tersebut. Sore itu, saya dan teman saya berkunjung ke Kedai Daur Ulang Pak Salam. Sayangnya, saat kami datang, kedai tersebut baru saja tutup, sehingga kami pun tidak dapat melihat proses daur ulang kertas. Pria jangkung yang terlihat lelah akibat aktivitas hariannya yang padat, tetap ramah menyambut kedatangan kami. Ia pun menceritakan sejarah awal mula ia bergelut dengan dunia daur ulang. Memulai pekerjaannya sebagai aktivis Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), membuat ia berkeliling dunia dan tahu tentang pengolahan sampah secara mendalam, bahkan ia pun sempat mengikuti pelatihan daur ulang bertaraf internasional. [caption id="" align="alignright" width="225" caption="kertas yang sudah di daur ulang "][/caption] Menyadari pentingnya mendaur ulang sampah, ia sudah getol berkampanye dan melakukan aktivitas yang berhubungan dengan isu sampah sejak tahun 1980-an, sayangnya hal tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah melihat isu ini tidak terlihat berbahaya. "Dulu pemerintah tidak peduli dengan sampah. Dianggap remeh. Baru ketika ada kejadian yang meninggal di TPA (Tempat Pembuangan Sampah-red), pemerintah baru mulai peduli". Tidak dapat mengharapkan pemerintah, ia pun membangun kedai daur ulang sendiri sejak tahun 1990-an yang terus bertahan, bahkan semakin maju, sampai sekarang. Kami mengobrol sambil melihat-lihat hasil karya daur ulang beserta cerita proses pembuatannya, dimana kertas bekas dihancurkan menjadi satu lalu dibuat bubur dan setelah itu dikeringan dan dibentuk sesuai kreativitas. Mencengangkan ketika teman saya yang berasal dari Jepang mengatakan bahwa metode tradisional seperti ini sudah dilakukan oleh masyarakat Jepang lakukan dari ribuan tahun lalu. Bahkan, anak TK sudah mahir dalam membuat kertas daur ulang seperti ini. Ia sangat heran melihat metode seperti ini masih digunakan di Indonesia, padahal yang saya tahu, memang inilah metode yang umum dipakai di Indonesia. Menurutnya, metode seperti ini menghabiskan waktu, tenaga, dan energi, yang juga diakui oleh Pak Salam. Jepang bahkan sudah memakai metode dengan menggunakan teknologi canggih. Yang pada akhirnya, dapat membuat kertas yang sudah didaur beberapa kali pun masih terlihat seperti baru. Keuntungan yang juga didapatkan dari konsumen adalah satu kali mereka membeli sebuah buku, maka ketika buku tersebut sudah habis pakai, mereka tinggal membawa buku tersebut ke pabrik daur ulang. Dan beberapa hari kemudian, mereka akan mendapatkan buku putih yang mulus dari tulisan secara gratis, karena asalnya pun dari buku mereka yang didaur ulang. Saya hampir-hampir tidak percaya bahwa buku yang sehari-hari dibawa teman saya tersebut selama ia di Indonesia adalah hasil dari dua kali daur ulang. Tidak terlihat bekas daur ulang sama sekali, berbeda dengan di Indonesia, dimana kertas daur ulang berwarna kecoklatan atau mudah untuk dikenali karena teksturnya berbeda. Ketika kami bertanya mengapa kedainya masih mempertahankan cara tradisional. Selain teknologinya mahal, ada alasan lain yang sangat mengejutkan dan tidak saya sangka. Beliau menekankan pada pentingnya pemikiran dan pola hidup masyarakat Indonesia. "Yang terpenting sekarang itu merubah pola pikir masyarakat dulu. Saya mau mereka mengerti kenapa mereka harus mendaur ulang. Makanya yang sering datang kesini anak-anak sekolahan, TK.. anak-anak kuliah juga sering datang kesini minta pelatihan". Menurutnya, masyarakat harus tahu alasan mengapa mereka harus mengolah sampah. Atas dasar itulah, maka kebanyakan murid, dari mulai murid TK sampai mahasiswa, banyak yang belajar di tempat Pak Salam. Ya, benar.. level kognitif yang paling penting. Saya baru menyadari hal tersebut. Yang paling terpenting adalah seseorang harus dapat menjawab ‘kenapa' bukan ‘apa langkah yang harus dilakukan' untuk mewujudkan. Ketika ia sudah tahu alasan, akan gampang sekali menggerakkan aksi untuk mewujudkan langkah tersebut. Tidak usah diajari, seseorang akan berusaha mencari tahu sendiri, Yang terpenting MOTIVASI. Bravo, Pak Salam, telah menyadari hal esensial yang terkadang dilupakan oleh kebanyakan orang.. Tulisan dapat juga dilihat di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun