[caption id="" align="alignnone" width="604" caption="sumber:http://www.beritadewan.com"][/caption] Yang pertama kali terbayang oleh saya saat mendengar profesi dokter adalah profesi yang mulia, sekolahnya mahal dan susah. Hanya orang terpilih yang bisa sekolah di Fakultas Kedokteran, karena passing grade masuk tinggi dan uang pangkal yang biasanya PALING MAHAL diantara fakultas yang lain. Kalo kata kawan saya di Malang, masuknya susah keluarnya juga susah. Ketika sudah lulus, dengan risiko pekerjaan yang sangat besar seperti Malpraktik atau Tertular Penyakit Menular dari pasien tetapi penghasilan tidak sebanding dengan tingkat kesulitan Sekolah dan Risiko Pekerjaannya. Bahkan di artikel Jawa Pos ini mengungkapkan bahwa 70% dokter anggota IDI tidak sejahtera. Menurut yang dilakukan di artikel "Orang Yang Disebut Dokter Umum" gaji dokter di klinik/RS Swasta adalah 150-300 ribu rupiah per hari dengan jam kerja 8 hingga 24 jam sehari tetapi ada juga yang berkerja 3 x 24 jam seminggu namun hanya menerima penghasilan 900 ribu per bulan. Teman istri saya juga buka klinik dengan uang duduk 14o ribu untuk 12 jam kerja sehari, nominal tersebut terlihat kecil namun cukup tinggi daripada pasaran yang ada. Rata-rata sekitar 200 ribu untuk jaga 24 jam penuh. Untuk di kota besar memang persaingan klinik kesehatan sangat ketat dan banyak sehingga pasiennya pun berkurang, hal ini yang menyebabkan gaji dokter menjadi murah karena klinik/RS tidak sanggup membayar mahal. Lalu bagaimana dengan di daerah? Menurut pengalaman Kakak Ipar paman saya, apabila praktek di puskesmas daerah tujuannya adalah mengabdi. Dimana dengan penghasilan pas-pasan dan pasiennya yang rata-rata dari penduduk kurang mampu, sehingga dokter biasanya dibayar dengan beras dan buah-buahan hasil bumi. Namun secara umum kondisinya lebih baik daripada dokter umum di kota besar dengan tuntutan hidup yang begitu besar, sedangkan di daerah hidup lebih tenang. Sedangkan dokter PTT yang di daerah Terpencil berkisar antara 1.8 jt dan Sangat Terpencil sekitar 6.7 jt dan beberapa daerah yang memberikan Insentif, namun pembayarannya pun sering nunggak hingga 3 bulan lebih dan belum dipotong biaya hidup yang mahal. Masih ingat kasus di Jakarta pasien di Puskesmas dan RSUD membludak karena digratiskan, sedangkan infrastruktur belum memadai hingga tidak tertangani. Siapa yang disalahkan? Dokter dianggap arogan karena tidak menerima pasien, padahal memang sudah penuh dan tidak dapat menampung. Bisa terbayang, keluarga menengah yang membanting tulang untuk membayar kuliah anaknya di FK dengan harapan tinggi, namun mereka lupa bahwa zaman sudah berubah. Suplai dokter umum  sudah banyak dan pemerintah kurang memperhatikan kesejahteraannya.  Oleh karena itu dokter sebenarnya perlu dibekali dengan ilmu kewirausahaan dan branding, agar dapat memasarkan keahliannya dengan cara berbeda. Seperti membuka klinik kecantikan, laboratorium, atau klinik kerjasama dengan asuransi, menyesuaikan dengan kebutuhan pasar di daerahnya. Kesimpulannya adalah zaman sekarang apabila mencari uang maka janganlah jadi dokter umum biasa, tapi jadilah dokter yang pandai memanfaatkan peluang atau dokter spesialis. Demikian, mohon maaf apabila pernyataan yang mengganggu atau menyinggung sumber: http://devinorizki.com/2013/05/15/prihatin-nasib-dokter-di-indonesia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H