Belajar untuk Belajar
“The mind is not a vessel to be filled, but a fire to be kindled.” (Plutarch)
Ujian Nasional baru saja selesai. Saya ucapkan selamat pada seluruh pelajar Indonesia yang sudah melewati ritual tahunan pendidikan Tanah Air ini.
Selamat, karena akhirnya 3 hari yang merepotkan itu sudah lewat. Selamat, karena kita tidak perlu lagi pusing dengan trik menjawab soal-soal UN. Selamat, karena kita tidak perlu lagi berdoa semalam suntuk agar lulus. Selamat, karena kita tidak perlu takut kalau peringkat sekolah kita kalah dengan sekolah sebelah. Selamat, karena buku tebal bank soal yang menemani kita setiap hari bisa kita lupakan.
Selamat. Karena kita, pelajar Indonesia, tidak mengerti arti belajar. Saya tidak bermaksud membodoh-bodohkan pelajar Indonesia. Tapi mari kita renungkan. Sebenarnya apa tujuan kita sekolah? Belajar? Belajar itu apa? Mencari ilmu? Belajar memahami bumi dan seluk-beluknya? Belajar untuk semakin mengerti arti kehidupan? Atau sebenarnya belajar untuk mengerjakan soal, mendapat nilai bagus, masuk universitas ternama, dan akhirnya mendapat posisi yang bagus di dunia kerja? Itukah belajar?
Sosiolog bernama Ivan Illich menulis sebuah buku yang kontroversial “Deschooling Society”. Baginya, sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar (learning), guru-guru hanya mengajar (schooling) dan tidak mendidik. Ia mengkritik sekolah yang tidak berfokus pada proses belajar dimana pelajar sungguh-sungguh mengerti apa yang ia pelajari dan kaitannya dengan kehidupan. Sekolah hanya mengajar anak-anaknya untuk mengejar nilai bagus, gelar bagus, kecakapan mengerjakan tes tanpa benar-benar mengerti ilmu yang dipelajarinya. Lalu apa guna semua nilai dan gelar itu? Banyak dari kita akan menjawab, untuk bekerja. Hei, mari pikirkan lagi. Relakah kita punya hidup sesederhana itu? Sesederhana mencari makan untuk hidup? Jika ya, sayang sekali otak yang kita punya untuk mengerti jutaan misteri kehidupan!
Kembali lagi ke UN. Mungkin UN bisa jadi satu latihan disiplin belajar yang baik. Sayangnya, banyak sekolah yang akhirnya terjebak untuk memfokuskan proses belajar di sekolah untuk meraih nilai UN yang tinggi. Sekolah takut murid-muridnya tidak lulus UN, peringkat sekolah turun, maka sekolah menekan muridnya untuk belajar mengejar UN. Ya, mengejar UN dan bukan ilmu. Alhasil, sekalipun tahun ini UN bukanlah penentu kelulusan siswa satu-satunya, siswa masih saja berlomba-lomba mencari jalan pintas untuk meraih UN yang bagus. Padahal setelah hasil UN keluar, apa yang bisa kita banggakan dari sana? Toh UN itu bukan tolak ukur yang representatif untuk mengukur hasil pendidikan di Indonesia. Siswa yang memperoleh nilai terbaik di UN pun belum tentu bisa menjadi orang yang berkontribusi bagi pembangunan di Indonesia.
Pendidikan formal seringkali tidak peka akan kondisi sosio-kultural masyarakat. Kondisi di masing-masing pulau yang menjadi bagian dari negara Indonesia jelas berbeda. Maka dengan menyamaratakan pendidikan secara nasional menurut saya kurang bijak. Di satu daerah, pendekatan sekolah dengan ruang kelas, meja dan kursi, mungkin bisa efektif. Tapi di daerah lain, mungkin lebih efektif kalau siswa belajar di pantai, bukit, atau sawah. Sosiologi memandang learning experience sebagai proses belajar di kelas DAN di luar kelas. Jadi, siapa bilang belajar itu harus di kelas?
Pertanyaan lain yang muncul dalam benak saya adalah, di daerah Indonesia yang masih belum berkembang, perlukah siswa-siswinya menghafalkan rumus-rumus integral dan teori-teori lain yang seakan jauh dari kehidupannya? Saya pernah membaca kisah seorang anak Papua yang didampingi oleh NGO World Vision Indonesia untuk mengembangkan daerahnya. Ia berumur 15 tahun, tidak meneruskan sekolah formalnya, namun belajar untuk mengembangkan perkebunan kopi yang menjadi potensi pengembangan daerahnya. Akhirnya ia bisa menjadi anak muda yang sangat membantu perkembangan ekonomi daerahnya. Bagaimana dengan kita yang berada di kota besar. Apakah pembelajaran kita di sekolah saat ini membuat kita mampu memahami dan berkontribusi bagi sekitar kita? Penyeragaman pendidikan yang tidak memerhatikan kondisi masyarakat, contohnya lewat UN, mungkin perlu kita refleksikan lagi. Bukan hanya untuk memprotes kebijakan yang ada, tapi juga untuk menyadarkan kita sendiri agar tidak terjebak dalam proses belajar yang sekedar ritual semata.
Maka dengan berlalunya UN tahun ini, mari kita kembali merenungkan apa arti belajar. Apa tujuan belajar. Saya rasa Indonesia tidak butuh pelajar yang jago menghafal atau mengerjakan soal. Indonesia butuh pelajar yang mengerti arti belajar dan mampu menggunakan ilmunya untuk kehidupan dan Tanah Airnya. Mari belajar untuk belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H