Telah lama sejak sistem pendidikan di Indonesia sudah mengelompokkan program studi di SMA menjadi tiga klasifikasi : Kelas IPA, Kelas IPS dan Kelas Bahasa. Pada awalnya hal ini dilakukan untuk mengembangkan minat siswa yang berbeda-beda, namun karena mitos tolol yang berkembang akhirnya terjadilah fitnah yang menyakitkan, semua digiring untuk masuk penjurusan IPA tanpa kesadaran penuh dari siswanya.
Akibat dari pada itu terjadilah opini publik yang menekan anak-anak SMA yang sedang berada pada usia kelabilan menjadi bingung, masuk IPS akan dicap “TIDAK PINTAR” dan “BUANGAN”, seolah-olah terjadi persaingan ketat untuk masuk ke kelas bergengsi yaitu “IPA” sebagai “jurusan sejuta umat”.
Kenapa sampai muncul stigma anak IPA = pintar ?
1. Mata pelajaran utama kelas IPA adalah matematika, biologi, fisika dan kimia.
Kecenderungan umum yang berkembang adalah jika seorang anak tidak bisa atau terlambat menyerap pelajaran matematika di sekolah, maka anak itu dikategorikan bodoh, padahal kecerdasan matematis hanyalah salah satu 8 kecerdasan yang mungkin dimiliki oleh manusia. Artinya, jika seorang anak lemot dalam mengerjakan soal matematika, bisa jadi dia punya potensi besar dalam bidang lain, dalam hal ini katakanlah musik, olahraga, pidato, menyanyi atau mungkin sekedar menjalin hubungan dengan banyak teman.
Anggapan tidak bisa matematika = tidak pintar diperparah dengan mengidentikkan jenius = einstein = ahli fisika. Jenius itu bisa di berbagai bidang, tidak harus fisika! Bahkan Sule dan Tukul pun bisa dikatakan jenius dalam membuat orang tertawa.
2. IPA itu sulit dan menaklukkan hal sulit adalah hal yang membanggakan dan menaikkan gengsi.
Astaga, siapa yang menyelentingkan isu picik semacam itu?
IPA yang telah menjadi primadona bagi orang tua merupakan satu cara tersendiri untuk menaikkan gengsi orang tua terhadap rekan-rekannya. “Hey, anakku masuk IPA lho.” seorang ayah bisa dengan enteng jika ditanya tentang anaknya. Atau ibu-ibu yang akan berkata,”Lho, iya jeng, anaknya masuk IPA ya, pinter bener. Anak saya satu-satunya, cuma bisa maen gitar melulu, matematikanya 6, masuk IPS deh, aduh pusing entar mau jadi apa anak saya itu.”
Maka banyak orang tua yang mencari les-lesan IPA bagi anak-anaknya yang dirasa bodoh dalam IPA. Berbondong-bondonglah siswa yang tertekan secara halus untuk bersaing masuk ke kelas IPA. Sementara yang tidak punya dana atau tidak punya lobi yang kuat terhadap guru, kadang dengan tulus ikhlas harus meratapi nasib masuk ke kelas IPS atau bahasa.
Padahal, justru pelajaran IPA itu bisa jadi lebih mudah daripada pelajaran IPS bahkan bahasa sekalipun. Objek pelajaran IPA adalah pasti (maka dari itu dinamakan ilmu pasti) dan ilmu yang sudah pasti harusnya tidak sulit dipahami karena variabelnya tetap. Katakanlah secara mudah dalam pelajaran fisika dinyatakan bahwa gaya gravitasi selalu menyebabkan benda jatuh ke arah inti bumi (ke arah bawah) dan sampai kapanpun mungkin ( kecuali Tuhan berkehendak lain) hukum gravitasi akan selalu begitu. Tapi beda dengan IPS, yang dipelajari adalah manusia, terutama kaitannya sebagai makhluk sosial, Dan siapa bisa menebak perasaan manusia? Satu manusia saja sifatnya bisa berubah-ubah apalagi ini yang dipelajari adalah sifat sosial populasi manusia.
Jadi sulit tidak sulit adalah bergantung pada guru dan terutama murid juga. Jika kecerdasanmurid adalah logis matematis, tentu mudah baginya mempelajari matematika, namun bagaimana jika kecerdasannya justru berada pada sisi seni suara?
3. Ada yang menganggap masuk IPA adalah rumus pasti untuk SUKSES, KAYA, BAHAGIA di masa depan.
Siapa sih yang tidak tergiur menjadi ilmuwan, insinyur, dokter? Profesi-profesi itu menggambarkan dengan baik kemudahan mencari uang dengan tidak meniadakan gambaran tentang kecemerlangan otak. Ilmuwan itu pasti pintar, insinyur itu pasti jago matematika dan dokter pasti jago biologi. Lalu bagaimana dengan politisi yang berasal dari FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK? Apakah mereka tidak pintar? Mereka pintar, jauh lebih pintar daripada ilmuwan yang merekayasa benda mati, maka politisi dan ahli ilmu sosial lainnya bukankah telah merekayasa perasaan banyak rakyat yang satu perasaan manusia saja sulit ditebak?
—
Faktanya?
Kesuksesan ternyata bukan merupakan takaran mutlak dari kebahagiaan., Nyatanya, banyak orang besar, sukses, dan kaya sekalipun, tapi tidak merasa bisa bahagia dengan semua gelimang hartadan kekuasaan yang ada dalam genggamannya. Justru di sisi lain, banyak orang berbahagia yang bangga dengan profesi yang boleh dibilang tidak cukup menjanjikan, bahkan tidak menghasilkan keuntungan yang berlebih. Misalnya lagi, banyak orang berbahagia dan puas dengan hanya bisa makan tiga kali sehari. Mereka bahkan telah puas dengan apa yang mereka kerjakan karena merasa hal itu merupakan buah dari yang mereka upayakan dan impikan. Bicara mengenai impian, dedikasi dan ambisi butuh untuk dipadukan dalam hal ini. Kedua hal itu--dedikasi dan ambisi—merupakan sinergi dari pikiran dan kenyataan yang kita alami sebagai makhluk yang dianugerahi akal luar biasa yang tidak pernah akan merasa puas. Impian merupakan sekelumit hasil dari apa yang didekasikan seseorang, sedangkan ambisi merupakan naluri setiap orang untuk mengembangkan potensinya. Dengan dua hal itu—ambisi dan dedikasi—tak melunturkan niat dan usaha seseorang terhadap pilihannya, bukan semata-mata sekedar mencapai takaran sukses dan bahagia, namun bahagia dalam arti secara batiniah juga.
Sebagai makhluk yang berakal dan berbudi, baiklah kita melihat potensi dan impian setiapindividu baik adanya, karena setiap saat kita pun juga turut andil dalam mengidentifikasikan diri kita sebagai makhluk sosial, dan bukan individual sebagai anggota masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H