Mohon tunggu...
Devina Nurhapipah
Devina Nurhapipah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Universitas Insan Cendekia Mandiri (UICM)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso - Apakah Jessica, Pelakunya? Atau Korban dari Ketidakadilan?

10 Desember 2023   09:00 Diperbarui: 10 Desember 2023   09:01 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munculnya film documenter "Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso" yang ditayangkan oleh Netflix pada tanggal 28 September 2023 menjadi pembahasan hangat yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Kemunculan film ini mengangkat kembali kasus yang selama ini sudah ditutup. Banyak fakta baru yang diangkat dalam film tersebut sehingga menimbulkan keraguan di mata masyarakat. Apakah hukum yang ditegakan sudah benar atau justru menyimpan banyak kejanggalan? Akibatnya, kepercayaan Masyarakat terhadap para penegak hukum dan proses hukum yang dijalankan di Indonesia menjadi berkurang.

Pada tahun 2016 silam, kematian Wayan Mirna Salihin menarik perhatian publik. Di Restoran Olivier di Grand Indonesia Shopping Town di Jakarta, wanita berusia 27 tahun itu mengalami keracunan akibat senyawa sianida yang terkandung dalam segelas es kopi Vietnam yang ia minum bersama rekannya, Jessica Kumala Wongso dan Hani. Hani merekomendasikan Mirna dan Jessica Kumala Wongso untuk bertemu di Cafe tersebut. Hani mengaku mengenal Mirna sejak 2007 saat dia kuliah di Australia. Keduanya satu jurusan di kelas Visual Communication, hanya saja berbeda kelas, Sementara Jessica dikenal Hani sejak 2005. Mereka berbeda jurusan, tetapi mereka sering bertemu di acara mahasiswa Indonesia di Sydney. Mereka bertiga melanjutkan pendidikan mereka di Billy Blue College of Design Australia dan Swinburne University of Technology di Melbourne, tetapi Hani mengambil jurusan yang berbeda (Yosevita, 2023).
Pertemuan antara tiga sahabat lama itu berlangsung singkat, kira-kira sepuluh hingga lima belas menit. Ketiganya sempat ngobrol-ngobrol sebelum akhirnya insiden mengerikan terjadi. Setelah meminum es kopi Vietnam itu, Mirna merasakan sesuatu yang berbeda dalam minumannya. Dia sempat mengatakan bahwa minumannya terasa tidak enak, dan dia memberi temannya kopi untuk dihirup. Tidak lama setelah merasakan minumannya aneh, Mirna mengalami kejang-kejang. Busa keluar dari mulutnya. Karena Mirna semakin kejang-kejang, Jessica sempat meminta air putih kepada waiters, tetapi mereka tidak sempat. Mirna kemudian dibawa ke klinik Grand Indonesia. Setelah itu, klinik merujuknya ke RS Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, dan Mirna dikonfirmasi meninggal (Yosevita, 2023).


Adapun beberapa alat bukti yang dipertanyakan dalam kasus ini dikutip dari Kompas diantaranya (BM, 2023):
1. Sianida
Jumlah sianida yang ditemukan dalam kopi Mirna. Ini adalah bukti utama yang digunakan untuk menunjukkan bahwa Jessica bersalah. Namun, sianida tidak ditemukan dalam jumlah yang signifikan.
2. Motif
Motivasi Jessica untuk membunuh Mirna adalah komponen penting dari tindak pidana pembunuhan berencana. Namun, motif Jessica untuk membunuh Mirna tidak jelas dan terus diperdebatkan.
3. Keterangan saksi dan ahli
Keterangan saksi dan ahli merupakan sumber bukti penting dalam proses peradilan. Namun, keterangan saksi dan ahli masih dipertanyakan dalam kasus Jessica.


Selain itu, ada beberapa kejanggalan terkait fakta baru yang muncul pada film Ice Cold tersebut diantaranya:
1. Jenazah Wayan Mirna tidak dilakukan otopsi. Hal ini menjadi tanda tanya besar bagi Masyarakat karena pada dasarnya apabila terjadi kematian yang tidak wajar maka perlu dilakukan otopsi untuk mengetahui penyebab kematiannya. Hal tersebut kontradiktif dengan apa yang terjadi pada kasus ini, dimana polisi tidak melakukan otopsi dan hanya dilakukan pengambilan sample saja. Yang artinya apabila tidak dilakukan Tindakan otopsi maka tidak dapat ditemukan sebab mati maka tidak ada tindakan kriminal  dan tersangka. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Djaja Surya Atmadja ahli patologi forensic RSCM, untuk menemukan penyebab kwmatian pasti seseorang itu harus diperiksa semua organ vitalnya, karena organ vital yang sangat berpotensi menyebabkan kematian. Diperiksa secara menyeluruh dari kepala, rongga dada, dan rongga perut.
2. Ada tidaknya kandungan sianida pada tubuh Mirna. Pengacara Jeaaica Wongso, Bapak Otto Hasibuan mengatakan bahwa barang bukti cairan lambung Mirna yang telah diperiksa dokter forensik pada 70 menit setelah kematian menyatakan bahwa tidak ada kandungan sianida pada tubuh Mirna. Sedangkan pada pengambilan sample yang dilakukan setelah 3 hari kematian ditemukan adanya sianida dengan dosis 0.2 mg pada cairan lambung Mirna, sementara pada urin empedu hati tidak ditemukan kandungan sianida. Faktanya kadar sianida yang dapat menyebabkan kematian adalah 50-176 mg. . Sedangkan dalam apel saja pada dasarnya mengandung 0,6 mg sianida. Sehingga jika ditelaah dari aspek tersebut seharusnya kadar tersebut tidak menyebabkan kematian.
3. Kesaksian para ahli dari pihak penasihat hukum Jessica pada kasus tersebut tidak dipertimbangkan. Padahal jika dilihat, banyak fakta yang masuk akal.
Salah satunya adalah kesaksian ahli patalogi forensic RSCM Dr. DJaja Surya Atmadja yang mana beliau adalah orang pertama yang melihat jenazah Wayan Mirna. Beliau menyebutkan bahwa tidak tercium bau sianida dari mulut korban. Selain itu, wajah dan tubuh korban berwarna biru padahal seharusnya orang yang meninggal karena sianida tubuhnya berwarna merah ceri. Namun kesaksiannya tersebut tidak dipertimbangkan.
4. Barang bukti yang menjadi kunci pada kasus ini yakni gelas kopi yang disita oleh pihak polisi berubah. Dimana awalnya barang bukti yang disita adalah satu gelas dan botol yang berisi kopi Mirna serta satu gelas sebagai pembanding berubah menjadi dua botol dan satu gelas. Hal tersebut membuat keaslian dari barang bukti yang disita dipertanyakan.
5. Tindakan pengambilan data rekaman CCTV di lokasi kejadian yang belum sesuai aturan. Hal ini berdasarkan ucapan dari Abimanyu Wahyu Widayat salah satu ahli telematika dalam podcast Bersama dr. Richard Lee bahwa polisi mengambil rekaman tersebut melalui flashdisk secara langsung sehingga kredibilitasnya dipertanyakan. Saat proses pengambilan data rekaman CCTV dari DVR ke harddisk ke flashdisk tidak dilakukan berita acaranya. Hal ini dikarenakan kapasitas flashdisk yang tidak sebesar harddisk sehingga video yang ada pada flashdisk tersebut sudah dipotong. Tindakan pemotongan video tersebut merupakan Tindakan yang tidak benar dalam pengambilan data.
6. Jessica yang tidak diperbolehkan diwawancara dari penjara oleh pihak netflix. Ketika awal diwawancara jessica menjelaskan awal mula ia sampai ke Indonesia dan hanya ingin bertemu dengan teman-temannya lalu dalam sekejap semua menjadi heboh saat ia dituduh menjadi pembunuh mirna. Tiba-tiba wawancara tersebut dihentikan oleh penjaga lapas, dengan alasan wawancaranya sudah terlalu dalam. Padahal bisa dilihat bahwa wawancara tersebut masih biasa saja. Sedangkan pelaku kasus besar seperti teroris saja bisa diwawancara. Hal tersebut menimbulkan banyak tanda tanya bagi public karena notabennya Jessica bukanlah public figure ataupun orang penting yang sampai tidak boleh diwawancarai. Hal tersebut menimbulkan berbagai spekulasi salah satunya adalah pihak kepolisian seakan menyembunyikan sesuatu atau ada hal yang tidak boleh diketahui oleh public.
7. Adanya uang tutup mulut. Dalam film dokumenter ini juga menayangkan wawancara dengan ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amril. Beliau mengatakan ada pihak-pihak tertentu yang memasukan uang ke dalam tasnya. Supaya ia tidak banyak bicara mengenai sejumlah kejanggalan pada kasus ini. Padahal Pak Reza ini tidak ada sangkaut pautnya dengan kasus ini atau bukan salah satu ahli yang dihadirkan pada persidangan. Hal ini sudah dikonfirmasi dan benar adanya. Ayah Mirna atau Edi Salihin sendiri mengaku bahwa beliau adalah yang dimaksud oleh Pak Reza. Sehingga hal ini membuat public memunculkan perspektif bahwa ada kemungkinan Ayahnya ini melakukan suap terhadap pihak-pihak lain.
Beberapa kejanggalan tersebut menimbulkan keraguan di mata Masyarakat terkait penegakan hukum di Indonesia.
 
Dilihat dari sudut pandang teori Pancasila, kasus ini dapat dikaji dari salah satu sila pada Pancasila yaitu sila ke-5 yang berbunyi "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Sila ini berisi tentang nilai keadilan. Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihak kan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal (Sianturi & Dewi, 2021). Oleh karena itu, pada penerapannya nilai keadilan ini harus menjadi dasar hukum bagi penegakan hukum di Indonesia.
Adapun butir-butir pengamalan sila Pancasila menurut Tap MPR Nomor I/MPR/2003 diantaranya (Tap MPR Nomor I tentang Butir-butir Pengamalan Sila Pancasila, 2003):
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. (Tap MPR no 1/MPR/2003)


Pada kasus kopi sianida, penegak hukum tidak bertindak secara adil dimana keputusan yang diambil belum sesuai yang mana tidak ditemukannya bukti konkret dan hanya mengandalkan insting saja. Disisi lain, para saksi ahli dari pihak penasihat hukum tidak dipertimbangkan sehingga dapat dikatakan belum memenuhi salah satu butir pengamalan Pancasila yakni menghormati hak orang lain. Selain itu, proses hukum yang dilakukan pada kasus ini banyak dipengaruhi oleh media massa sehingga terdapat campur tangan penggiringan opini yang menyebabkan pihak penegak hukum harus menetapkan tersangka demi mempertahankan kredibilitas para penegak hukum tersebut. Adanya Tindakan suap yang dilakukan oleh Ayah Mirna kepada salah satu pihak dalam rangka agar pihak tersebut menutup mulut bertentangan dengan sila ke-5 yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang mana seharusnya siapa saja dapat mengeluarkan pendapat dan memiliki hak untuk bersuara. Hal itu menyebabkan proses penegakan hukum tidak berjalan secara adil sebagaimana sila ke-5 Pancasila.

Munculnya film documenter "Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso" yang dikeluarkan Netflix menjadi pembahasan hangat yang banyak diperbincangkan dikarenakan munculnya fakta-fakta yang belum diketahui publik dalam kasus ini. Penyebab dari kasus ini diantaranya para penegak hukum yang belum sepenuhnya mengimplementasikan sila ke-5, adanya campur tangan media massa pada proses penegakan hukum, adanya Tindakan suap yang dilakukan oleh Ayah Mirna. Implikasi dari adanya kasus ini adalah hilangnya kepercayaan dari Masyarakat kepada para penegak hukum dan proses hukum yang dilakukan di Indonesia.
Berdasarkan sudut pandang penulis, naiknya kasus ini ke public menandakan bahwa tingkat kesadaran hukum dari Masyarakat Indonesia cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan banyaknya Masyarakat yang tertarik dan mengeluarkan pendapatnya. Kasus ini memiliki hubungan dengan sila ke-5 pada Pancasila yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Masyarakat Indonesia. Dimana setiap Masyarakat memiliki hak yang sama baik dalam mendapatkan keadilan maupun dalam mengeluarkan pendapat.
Menurut prinsip Aristoteles, keadilan dimengerti terutama dalam hal persamaan numerik dan proporsional. Menurut John Rawl, sebuah program yang menerapkan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip kerakyatan harus mempertimbangkan dua prinsip kunci keadilan: pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari latar belakang miskin atau kaya.
Untuk mengatasi masalah sistem hukum yang tidak konsisten di Indonesia, pihak berwenang harus tegas menerapkan hukum sebagaimana adanya dan menahan diri dari membuat keputusan yang tergesa-gesa. Selain itu, hukum harus diterapkan dengan cara yang tepat dan bukan dipahami sebagai terbatas pada satu teks atau teori.
Kasus ini merupakan kasus besar yang perlu digali dan dibuka lagi guna mencari kebenaran dan mengembalikan kepercayaan Masyarakat. Apabila pengajuan PK yang kedua oleh Pengacara Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan diterima oleh Mahkamah Agung. Mohon dilakukan secara transparansi tanpa memihak manapun. Dan Mari kita tegakkan keadilan untuk seluruh Rakyat Indonesia, Nusa, Bangsa, dan Bernegara.

Adapun referensi yang termuat dalam artikel ini, sebagai berikut: 

BM, J. (2023). Misteri Kasus Jessica, Praktek Hukum Kita Dipertanyakan.
Tap MPR Nomor I tentang Butir-butir Pengamalan Sila Pancasila, (2003).
Sianturi, Yohana. R. U., & Dewi, A. D. (2021). PENERAPAN NILAI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI HARI DAN SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER. Jurnal Kewarganegaraan, 5(1).
Yosevita, G. L. Y. (2023). Logika dan Penalaran Hukum Kasus kopi sianida Mirna Salihin.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun