Mohon tunggu...
devi ana
devi ana Mohon Tunggu... ibu & pembelajar -

Ibu & pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[RoseRTC] Pulang Bersama Hujan

17 September 2016   06:40 Diperbarui: 19 September 2016   10:06 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua tahun lalu. Aroma hujan mengambang di udara, meniti jejak-jejak gerimis pertama bulan September. Pagi itu sangat istimewa karena di aula akan ada pertemuan rutin bulanan yang dihadiri semua penghuni panti. Sebenarnya tidak akan terlalu istimewa kalau saja tak ada bumbu-bumbu gosip yang membuat penasaran. Kami memiliki banyak waktu untuk mengobrolkan kenaikan harga sembako, kabar pernikahan artis, hingga kedatangan penghuni baru. Nah, saat itu santer gosip kedatangan penghuni baru yang konon katanya setampan Marlon Brando. Jangankan bertemu, melihatnya dari kejauhan saja aku belum pernah karena penghuni laki-laki dan perempuan memang terpisah cukup jauh, tapi cerita dari sana-sini cukup membuatku penasaran. Tentu saja aku tak berniat macam-macam, hanya ingin melihat seperti apa sih Marlon Brando dari Semarang itu. Beberapa temanku sudah sibuk memilih kebaya terbaik dan memoleskan bedak sejak subuh tadi, tak ingin melewatkan kesempatan berharga bertemu si Marlon.

Jam 7 kami beriringan menyusuri lorong kamar menuju aula. Deretan bougenvil di sepanjang lorong menari-nari menikmati ajakan dansa udara pagi. Gerimis menciptakan tirai tipis yang membuat lorong ini seolah-olah berada di dunia khayal. Tiba-tiba dari balik tirai tipis gerimis muncul seraut senyum. Sayangnya aku tak bisa menikmati senyum itu lama-lama karena gerombolan teman di belakangku sudah ribut berbisik-bisik membuat si pemilik senyum berlalu sambil kebingungan. Itu dia si Marlon, iya yang itu, yang tadi tersenyum, yang pakai kemeja putih, aduh baguse*. Dan seharian itu tak ada topik lain yang dibahas selain si Marlon. Bahkan penjelasan petugas kesehatan tentang asam urat dan kaki bengkak pasti tak ada yang menyimak.

Bulan berikutnya, aku dan Marlon terpilih menjadi tim di unit bantuan darurat. Tim ini bertugas membantu pengurus panti jika ada kondisi darurat, jadi kami diberikan beberapa pelatihan intensif. Hanya sedikit yang tergabung dalam tim, dipilih yang paling gesit dan cekatan. Teman-teman masih kasak-kusuk, setiap kali pulang pelatihan selalu saja ada sesi wawancara khusus mengenai Marlon. Berbulan-bulan setelah itu, aku makin mengenal Marlon. Dia memang menawan: tutur katanya, kesigapannya, dan selera humornya. Kami makin dekat dan kurasakan lagi sesuatu yang berbunga-bunga setelah bertahun-tahun sunyi.

Aku dan Marlon sama-sama tahu pasti tidak mudah jika kami ingin melangkah lebih jauh. Pengurus panti sangat ketat menjaga hubungan antara penghuni laki-laki dan perempuan, bahkan ada larangan informal untuk menjalin hubungan emosional karena akan rentan masalah. Karena itulah kami mencoba menjaga jarak, tapi rupanya panah cupid menancap terlalu dalam. Akhirnya Marlon menemui pengurus panti dan menghubungi keluarganya: meminta ijin untuk meminangku. Setahun lebih kami meyakinkan semua orang bahwa kami cukup layak untuk sebuah pernikahan. Begitulah, seminggu lalu kami menikah. Akhir September kami pindah ke sebuah rumah mungil yang sudah disiapkan keluarga, dipilih yang dekat dengan panti agar jika kami kesepian bisa berkunjung ke panti dengan mudah.

Hari ini hari terakhir bulan September sekaligus hari pertama kami menghuni rumah mungil. Senja sudah merapat sempurna, menancapkan jangkar kemerahan di kubah langit barat. Di luar hujan deras. Marlon, nama sebenarnya adalah Ageng, berbaring damai bergelung memeluk kakiku.

“Tak terbayangkan bisa menikmati kehidupan seperti ini di ujung usia yang kukira akan sunyi. Mungkin waktu kita tak lama lagi. Tapi sesingkat apapun itu, waktu yang kulewatkan bersamamu adalah abadi. Abadi disini dan disini.” Katanya lagi sambil menaruh tanganku di kepala dan dadanya. Tanganku yang tersentuh dahinya terasa seperti tersulut bara, demamnya semakin tinggi. Seingatku, sejak kami kenal di panti, dua hari inilah kondisi kesehatannya yang paling buruk.

“Kupanggilkan dokter panti ya” Aku hampir beranjak, tapi dia menahanku.

“Jangan kemana-mana, Wi, disini saja. Kita ini pengantin baru, ora ilok** kalau berjauhan. Lagipula kita sudah berjanji akan bersama sampai maut tiba ‘kan?” wajah itu tersenyum, sama persis dengan senyuman 2 tahun lalu saat tirai gerimis tersibak di lorong bougenvil. Hatiku berdesir, berdentang, berkelontangan menyampaikan pesan yang ingin kusangkal: waktunya sudah dekat. Kuiyakan permintaannya, kugenggam lagi tangannya yang panas. Senyumnya masih mengembang tak hilang, tapi aku tahu sesuatu telah pulang. Kutata hatiku rapat-rapat agar tak sampai banjir keluar menerobos ribuan kelenjar di sudut mata.

“Kita berjanji untuk bahagia bersama, maka inilah kita sekarang bahagia bersama. Sugeng tindak***, Mas, sampai jumpa lagi nanti” Bisikku, mencium keningnya, pipinya, bibirnya yang masih tersenyum. Kuraih telepon genggam dan mulai mengabari satu persatu: anak-anak Mas Ageng, anak-anakku, dan pengurus panti werdha. Mereka berseru kaget, menangis, lalu memanjatkan do’a-do’a tulus dan berjanji datang secepatnya. Kututup sambungan telepon lalu kubuka semua kunci pintu agar anak-anak dan teman-teman dari panti gampang masuk rumah nanti. Aku kembali kekamar dan berlutut disampingnya. Diluar hujan turun menciptakan tirai tebal yang seolah membuat kamar ini berada di dunia khayal, lalu dari balik tirai dia melambai memintaku mendekat. Kuulurkan tanganku padanya dan kamipun tertawa melambai pada dunia yang diisi orang-orang muda. Ucapkan selamat tinggal, katanya.

Kami tak sempat melihat orang-orang yang datang dengan derai air mata sekaligus takjub melihat dua mantan penghuni panti werdha yang berstatus pengantin baru, dipanggil Tuhan dalam waktu bersamaan. Semua sibuk menerka-nerka, apakah itu yang dinamakan cinta sejati sehidup semati?

* aduh, tampan sekali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun