Pepatah berbahasa Jawa mengatakan: crah agawe bubrah, rukun agawe santoso. Pertikaian menciptakan kehancuran, kerukunan menciptakan kesejahteraan. Tentu kita semua sepakat dengan pepatah ini, tak ada yang meragukannya lagi. Faktor penting dalam membina kerukunan adalah kesediaan untuk saling menghargai dan adanya komunikasi yang baik.
Sebuah masalah kecil jika segera dikomunikasikan maka bisa cepat selesai dan rukun lagi, jika tak dikomunikasikan maka bisa jadi melebar dan bertambah runyam. Di era teknologi seperti sekarang, konon katanya jarak bisa terlipat hingga yang jauh terasa dekat karena mudahnya berkomunikasi. Tapi benarkah perkembangan teknologi yang mempermudah komunikasi juga berdampak positif pada kerukunan?
Informasi yang terdistorsi
Saat ini, kemajuan teknologi yang mempermudah komunikasi sangat banyak jenisnya, misalnya yang paling marak adalah menjamurnya media sosial. Selain sms dan telepon, ternyata pertukaran pesan di media sosial juga sangat intens terjadi. Bahkan akses ke media sosial menduduki peringkat pertama dalam penggunaan internet di Indonesia. Pengguna internet berjumlah 88,1 juta pengguna dan 79 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif [sumber].
Media sosial yang paling banyak digunakan saat ini adalah facebook, baik itu untuk keperluan chatting, mengupload foto, membagikan berita, atau menuliskan status. Saya dan ribuan pengguna lainnya pastinya sangat diuntungkan dengan adanya media sosial, bisa mengetahui kabar teman lama, bertukar informasi, bahkan berjualanpun pasti laris. Salah satu hal yang sering dilakukan pengguna media sosial adalah membagikan berita dari media online/ blog/ status dari pengguna lain.
Ribuan konten positif dibagikan seperti tutorial membuat produk handmade, tawaran beasiswa, parenting, keagamaan, pola makan sehat, resep makanan, olahraga, info travelling, dan lainnya. Tapi ada juga konten negatif yang ditiupkan oleh sekelompok orang yang kemudian menjadi viral setelah disebarluaskan oleh jutaan pengguna sosial media. Konten negatif yang sering ditemui adalah isu negatif seorang tokoh, black campaign menjelang pemilu, mitos seputar masalah kesehatan dan pengobatan, dan hujatan berbau agama. Dalam belantara media sosial, semua orang ingin eksis dan berpendapat tapi tak semua memiliki kapasitas untuk menyaring pendapat agar tak meyesatkan orang lain.
Ditambah lagi, medis sosial menyajikan bentuk interaksi baru yang memungkinkan seseorang menyembunyikan identitas aslinya atau anonim sehingga pengguna merasa aman meluapkan emosi dan pendapat negatif tanpa takut mendapatkan sanksi hukum-sosial.
Adanya fasilitas ‘share’ dalam media sosial seringkali memberikan ruang bagi pengguna untuk memberikan tambahan informasi atau pendapat pribadi. Bayangkan saja jika awalnya suatu info ditulis oleh seseorang sebagai ‘x’ lalu dishare dengan tambahan info ‘y’, dishare lagi dengan tambahan pendapat ‘a’ dan seterusnya maka informasi yang sampai di penghujung sana adalah informasi carut marut yang tak jelas lagi asal usulnya.
Dalam komunikasi antara 2 orangpun sering kali terjadi salah paham, apalagi komunikasi yang dilakukan jutaan pengguna media sosial yang tak saling kenal, tentu mungkin sekali terjadi penyimpangan. Penyimpangan atau distorsi informasi ini bisa berakibat fatal jika menyinggung masalah sensitif, dalam hal ini adalah agama, contohnya seperti yang belum lama ini terjadi di Tanjung Balai [sumber]. Tempat ibadah, rumah penduduk, dan fasilitas lainnya hancur karena hasutan yang tak jelas ujung pangkalnya.
Masih ada beberapa sebab lain mengapa kerusuhan terjadi ‘hanya’ karena hasutan dari media sosial yang tak jelas siapa pelaku awalnya. Selain adanya penyimpangan informasi, seseorang memaknai suatu informasi juga akan sangat dipengaruhi oleh kepribadian, latar belakang sosial, nilai-nilai kepercayaan, dan pengalaman personal. Sebuah informasi bisa dimaknai berbeda oleh dua kelompok karena kedua kelompok ini memiliki nilai kepercayaan dan latar belakang berlainan. Dengan demikian, pemaknaan informasi ini seringkali mengandung prasangka karena sangat lekat dengan pengalaman dan pengetahuan si penerima informasi.
Prasangka bisa dengan mudah memicu konflik jika menghinggapi sekelompok orang yang merasa frustasi, merasa diperlakukan tidak adil, atau merasa ada kelompok lain yang mengancam nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Konflik terbuka sangat mungkin terjadi jika orang-orang yang memiliki kesamaan prasangka bergabung membentuk kerumunan [crowd] dan ada yang memulai melakukan penyerangan untuk menumpas sesuatu yang dianggap salah oleh kelompok tersebut. Dalam media sosial, kerumunan yang terbentuk bersifat “rapuh” karena seringkali hanya berdasarkan kesamaan identitas yang sangat mudah dipalsukan. Interaksi anonim juga membuat orang kehilangan kemampuan untuk menghargai orang yang berbeda, baik berbeda agama, berbeda pendapat, atau berbeda kepentingan.