Mohon tunggu...
Devi Meicylia
Devi Meicylia Mohon Tunggu... Guru - Peduli, seperti itulah kita bersikap

Jadilah manusia yang peduli, agar kau akan menemukan kesuksesan meskipun ditempat yang tak kau kenali (Devi Meicylia)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Keadilan

15 Juli 2020   13:15 Diperbarui: 15 Juli 2020   13:16 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadilan

Kepada semesta,
Maukah kudongengkan sebuah kisah?
Iya, sebuah kisah pilu para pembuat nista
Sungguh menyedihkan.
Dulu, disebuah kastil yang buruk hiduplah sosok yang menakutkan namun ia begitu anggun
Terkadang berjalanpun, dia sangat anggun
Namun sayang, ia adalah pembuat nista
Akupun mulai bertanya, mengapa ia mendapat julukan seperti itu?
Lalu mereka menjelaskan kepadaku kisah sebenarnya
Haruskah aku percaya?

Kisah itu dimulai ketika kastil itu mulai menghitam
Dia merebut segalanya
Apapun yang dilihatnya
Ingin ia miliki
Kebahagiaan orang lainpun akan ia hancurkan

Dia mulai seperti itu bertahun-tahun lamanya
Namun sayang tak ada satupun yang tahu

Kini tiba saatnya
Kisah buruk yang ia bangun bertahun-tahun lamanya
Kemunafikan yang begitu ia tutup rapat-rapat
Akhirnya semesta mendengarnya
Namun sayang kisahnya belum berakhir
Akupun penasaran, ada apa dibalik semua ini?

Mulai kulangkahkan kaki,
Kucari arah yang berlawanan dari setiap kisah si pembuat nista
Aku mulai menyadari
Ternyata benar, dia sangat asyik bercanda dengan dunianya.
Tahukah kalian, ada apa?
Mereka yang mengatakan hebat telah memastikan
Si pembuat nista akan baik-baik saja
Lalu, dimanakah keadilan itu?

Akupun tersenyum sambil berbisik dalam hati
Berharap dapat berkata seperti ini
"Pembuat nista, tidak apa-apa. Kisahmu telah kau bagikan kepada semesta. Kau mengajarkan kami bahwa begitu banyak keburukan pada dirimu. Jika nanti kau menatap dunia dengan senyum pemenang, ingatlah harga dirimu telah hancur berkeping-keping, mengapa?
Mereka telah berdiri di atas keping-keping itu
Sebab, pada kenyataannya kepingan harga dirimu telah menjadi debu"

Jika senja nanti engkau melihat anak-anak bermain di atas debu-debu sambil tersenyum bahagia
Ingatlah, itulah debu dari harga dirimu
Semesta hanya akan tersenyum
Karena anak-anakpun tahu
Bahwa debu itu adalah dirimu
Cukup ingatlah itu

Gorontalo, 15 Juli 2020
Devi Meicylia UKarim~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun