Mohon tunggu...
Devi Lestari
Devi Lestari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I may look simple on the outside, but I am simply awesome on the inside👼

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kampung Naga "Where's the dragon?"

28 Oktober 2013   17:56 Diperbarui: 16 November 2015   22:38 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya kami tidak merencanakan untuk pergi kesana sebelumnya, hanya saja pada hari jum’at itu ayah dan ibu saya sedang berada dirumah (sedang tidak masuk kerja). Dan waktu luang itu membuat saya ingin pergi menuju tempat yang belum saya kunjungi sebelumnya. Kenapa saya memilih Kampung Naga untuk menjadi tempat yang ingin saya kunjungi? Entahlah, mungkin karena saya sering menemukan tempat ini dibahas dalam buku-buku daerah jaman SMP maupun SMA. Rasanya tidak asyik jika saya hanya mengetahui tempat itu dalam buku saja tanpa berkunjung langsung ke tempatnya. Akhirnya ayah dan ibu saya pun setuju untuk mengabulkan permintaan saya mengunjungi tempat bersejarah itu.

 

Tidak Begitu Jauh, Jika Tidak Tersesat Dulu

Kampung Naga yang berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, perbatasan kota Garut-Tasikmalaya ini membuat kami memperkiraan akan perjalanan yang tidak dekat. Yang mungkin akan memakan waktu minimal sekitar 2 jam dari kediaman kami di Tasik. Tidak ada hal-hal yang menarik ketika di perjalanan. Hanya ada lereng-lereng rawan longsor dan jalan yang berliku-liku. Mungkin karena kami ingin cepat melewati kawasan tersebut, tanpa tersadar kami telah melewati daerah yang di alamatkan tadi. Sulit sekali menemukan orang agar kami tanyakan arah menuju Kampung Naga itu. Setelah sampai 3 kali berputar-putar dikawasan tersebut, kami menemukan sebuah warung  yang menjual berbagai macam hasil tani. Akhirnya kami sampai ditempat tujuan setelah diberi petunjuk oleh pedagang warung tadi. Dan ternyata tempat ini tidak begitu jauh dari kota Tasik, kediaman kami.

 

(foto: Tugu kujang sebagai tanda selamat datang)

 

Mana Naganya?

Ketika turun dari kendaraan yang kami tumpangi, sesuatu yang terhirup tidak seperti biasanya. Partikel-partikel ini terasa begitu segar dan sejuk. Kami memilih untuk istirahat di jajaran warung-warung yang menjual menu-menu khas daerah. Tak jarang yang saya lihat orang-orang yang berkunjung ke tempat ini adalah orang asing, atau yang sering kita sebut bule itu, terlihat begitu bersemangat ketika gaid yang berasal dari Kampung Naga atas ini menunjukan dan menjelaskan apa yang mereka lihat. Jadi Kampung Naga terdapat dua bagian, yakni kampung Naga atas dan Kampung Naga bawah. Kampung Naga atas memang masyarakatnya telah mengikuti kehidupan jaman sekarang, terlihat dari telepon genggam yang mereka miliki sampai mengetahui social media seperti facebook. Nah, Kampung Naga bawahlah yang selama ini terkenal dalam buku-buku daerah yang disebutkan mempunyai sejarah dan keunikan sendiri. Jadi jika kita ingin mengunjungi Kampung Naga yang mempunyai keunikan itu, kita harus melewati “beberapa” ratus anak tangga curam yang jumlahnya cukup membuat jantung kita berdebar dan menarik nafas panjang. Hal itu membuat ibu saya mengurungkan niat untuk menerjuni kampung itu, beliau hanya tidak sanggup ketika harus kembali ke kampung atas dan menaiki anak tangga. Dan itu cukup membuat saya dan ayah saya pun rifuh melewatinya. Oh iya, ngomong-ngomong soal anak tangga, konon katanya apabila dihitung jumlahnya selalu berubah.. Eits, tapi jangan takut ada imbalan untuk jumlah anak tangga yang mengerikan itu, yaitu pemandangan yang sangat menyejukan mata.

13829562041107042436
13829562041107042436

(foto: Pengunjung asing yang terlihat kecapean menusuri anak tangga Kampung Naga)

Begitu memasuki "gerbang" Kampung Naga, saya melihat rumah-rumah yang tertata rapi dengan bentuk dan ukuran yang sama, juga warna yang sama, putih, dan bersih. Dengan atap yang seragam, yaitu terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Dan ada lagi beberapa yang saya ketahui tentang Kampong Naga yaitu selain rumah harus panggung, bahan rumah harus dari bambu dan kayu. Lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau diwarnai dengan kapur (entah bagaimana caranya). Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung, gedong bahasa daerahnya.

 

Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.

13829560391687295293
13829560391687295293

(foto: sedikit berpose, rumah unik kampung naga)

Oh iya, satu lagi, dari pertama sampai akhir tidak ada satupun naga yang saya lihat, karena memang Kampung Naga bukanlah tempat bersarangnya naga-naga seperti pada film “How to drive your dragon” yang menceritakan zaman viking dulu kala. Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih terjaga kelestariannya.

 

1382956134837588180
1382956134837588180

 

(foto: perkakas tradisional, itu adalah alat untuk menumbuk padi agar menjadi beras)

Seharusnya Keyakinan Itu Dimiliki oleh Seluruh Umat Manusia

Bukan desa yang ramai melainkan sebuah desa dengan jumlah masyarakat yang terbatas, bahkan dengan rata-rata pendidikan sampai sebatas SD. Tapi, saya sangat takjub bahwasannya masyakarat di Kampung Naga sangat menjunjung tinggi adat istiadat, budaya, dan kepercayaan mereka. Sama sekali tidak tersirat dalam pikiran mereka untuk merusak alam, mereka yakin apabila mereka baik terhadap alam, maka alam akan baik terhadap mereka.Meskipun masyarakat di sana masih memasak dengan menggunakan kayu bakar, tetapi mereka tidak merusak hutan untuk mengambil kayu bakar, leluhur mereka bilang, "Pamali merusak hutan!" dan mereka meyakini itu hingga sekarang.

Tapi melihat sisi positif dari keyakinan itu, saya menjadi berpikir mengapa tidak seluruh umat manusia memiliki keyakinan seperti itu. Setuju gak?

1382956945388916072
1382956945388916072

(foto:  Ayah saya, dan Masjid Agung Kampung Naga)

berakhir dengan bahagia dan takjub. Apa yang membuat saya takjub adalah dengan dunia luar yang keras mereka bisa tetap memertahankan budaya (culture) dan kepercayaan. Walaupun hanya sedikit “menerjuni”, namun saya serasa mendapatkan pengalaman baru yang berbeda. Terima kasih Kampung Naga atas keindahan dan pelajaran yang bisa saya dapatkan di sana.

13829565701983285961
13829565701983285961

(foto: bersama pengunjung asing asal Australia)

 

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun