Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kota Bharu, Kelantan, Malaysia, akhirnya membebaskan Wilfrida Soik dari hukuman mati. Tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur ini didakwa membunuh bekas majikannya.
Keputusan itu diambil pada saat sidang di Pengadilan Tinggi Kota Bharu, Malaysia,pada hari Senin (7/4). Adapun keputusan dari Majelis Hakim Pengadilan Malaysia itu diambil karena berlandaskan sejumlah pertimbangan. Antara lain, pada waktu Wilfrida membunuh majikannya pada 2013, gadis belia asal Desa Faturika, Kecamatan Raimanuk, itu masih belum dewasa karena berusia di bawah 18 tahun. Dari bukti usia dan 40 tusukan itu, menurut hakim tidak wajar dilakukan orang normal.
Wilfrida juga dinilai mengalami gangguan kejiwaan ringan, sehingga mempengaruhinya untuk melakukan tindakan pembunuhan. Dengan demikian, Wilfrida dinyatakan bebas dari ancaman hukuman mati, namun masih harus menunggu pengampunan dari Sultan Malaysia. Pada saat ini, Wilfrida telah dititipkan di Rumah Sakit Jiwa Tampoy Johor Bharu, atas permintaan hakim untuk direhabilitas.
Keputusan itu sangat menyenangkan banyak pihak. Ancaman hukuman mati menjadi momok TKI. Selain Wilfrida, kasus Satinah juga sedang menghadapi kasus yang sama. Migrant Care, mengatakan saat ini 265 TKI di luar negeri terancam hukuman mati.
Mereka tersebar di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Malaysia. Mereka yang terancam hukuman mati biasanya terlibat kasus pembunuhan atau narkoba. Dari jumlah itu, yang paling banyak terjadi di Malaysia.
Bagaimanapun keberhasilan membebaskan Wilfrida merupakan keberhasilan bersama dari seluruh bangsa Indonesia. Pemerintah Indonesia juga berusaha keras agar kasus TKI yang terancam hukuman mati bisa diatasi dengan baik. Apapun akan dilakukan oleh pemerintah agar TKI yang terancam hukuman bisa mendapatkan keringanan. Dalam kasus Satinah, misalnya, pemerintah sudah mengirim utusan ke Arab Saudi untuk bertemu dengan keluarga, pengacara dan pejabat Kerajaan.
Tujuan mulia dari semua itu adalah menyelamatkan nyawa TKI yang terancam hukuman. Bahkan tim khusus yang berangkat ke Arab sudah membawa uang diyat hingga Rp21 miliar. Pemberian uang diyat memang menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya, ada kecenderungan permintaan diyat dari kasus ke kasus terus meningkat. Ada kemungkinan oknum di luar negeri sana "mengkomersialkan" diyat.
Tapi apapun yang terjadi, komitmen untuk menyelamatkan nyawa TKI adalah tujuan mulia yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Ini adalah tugas kemanusiaan, tak ada hubungannya dengan politik.
Jakarta, 08 April 2014
sumber: jurnas, koran sindo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H