Pada tanggal 4 Juni yang lalu, para calon presiden mulai menggelar kampanye. Kita akan mendapat tontonan para juru kampanye beraksi hingga 5 Juli. Masa kampanye terbuka biasanya menjadi periode yang menarik dan enak diikuti.
Sebagai pemilih, kita semua sebaiknya mengikuti kampanye terbuka, di ruang terbuka maupun di media messa, agar kita tidak keliru memilih calon presiden. Sudah pasti kampanye akan dihiasi dengan "jualan kecap" para calon presiden dan juru kampanyenya. Semua pastilah akan mengklaim sebagai nomor satu.
Di tengah situasi kampanye yang serba nomor satu itu, kita perlu mengambil jarak emosional dengan para calon dan juru kampanye. Kita harus menjadi pemilih yang kritis menilai kualitas jualan kecap itu. Di tengah klaim nomor satu, tentu terdapat celah bagi kita untuk menilai secara lebih objektif. Dan kita memang menjadi pemegang penuh objektivitas itu.
Bagi kita, orang yang tidak terlibat sebagai bagian dari organ politik pemilihan presiden itu, sebaiknya memang hadir di tengah kancah pemilihan presiden secara "kosong". Kepala dan hati, kita bersihkan dulu dari kecondongan pilihan kepada calon tertentu.
Jika kita hadir di tengah masa kampanye secara kosong, maka kita akan memiliki kemampuan untuk menilai kedua pasang calon presiden yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, secara lebih fair. Tidak seperti, misalnya, orang yang sudah dijejali kepentingan untuk memenangkan si A atau si B.
Kita hadir di tengah kampanye tidak dengan membawa nilai tersendiri atas para calon presiden/wakilnya. Kita mengambil posisi seperti hendak membeli sesuatu tetapi "bingung" ketika hendak menentukan apa/siapa yang cocok dengan kebutuhan kita. Jadi, akan ada proses menimbang baik buruk, plus minus, dan kemudian memutuskan.
Menurut survei, orang yang belum menentukan pilihan seperti itu, yang memungkinkan mau mendengar penawaran dari para calon presiden, jumlahnya cukup banyak, bahkan lebih banyak dibanding yang sudah menentukan pilihan ke Prabowo-Hatta atau Joko-JK.
Hasil riset terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan jumlah massa mengambang atau orang belum menentukan pilihan terhadap pasangan capres tertentu mencapai 41,80 persen. Sudah pasti, jumlah yang sangat banyak itu akan menjadi rebutan para calon presiden.
Belum menentukan pilihan bisa menjadi baik jika pada akhirnya kita memilih dengan pertimbangan yang matang. Sementara gejala itu akan menjadi buruk secara politik kalau pada akhirnya kita tidak memilih alias penganut golongan putih. Juga menjadi sama buruknya jika pada akhirnya kita memilih semuanya.
Masih terdapat satu bulan untuk mencermati apa yang akan ditawarkan para calon presiden. Kita mencermati mereka tidak saja melalui kampanye terbuka yang cenderung jual kecap itu. Kita justru akan mendapat penilaian yang lebih otentik jika kita memerhatikan hal-hal yang "kecil" seperti ketika para calon presiden/wakil presiden berpidato, cara mereka memberi salam, cara menghormati orang lain, dan hal-hal lain yang terkait dengan gestur seorang salon pemimpin.
Dengan tidak menjadi "pemilih buta", maka kita akan memberi saham bagi berkembanganya demokrasi yang sehat di negeri ini. Sadar atau tidak sadar, kita juga akan memberi bobot pada presiden yang terpilih nanti. Kita memilih mereka dengan pikiran yang jernih.