Golput atau Golongan Putih muncul di Indonesia sejak tahun 1970-an, ketika Orde Baru mulai mencengkeramkan kekuasaannya melalui penegasan legitimasi dalam setiap pileg dan pilpres lima tahun sekali. Latar belakangnya boleh jadi bermacam-macam, namun secara umum golput menyuarakan semangat penolakan terhadap partai atau figur penguasa tertentu, dengan berbagai alasan yang juga bisa berbeda bagi setiap pihak yang melakoninya, dengan tidak memberikan suara pada saat pemilu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengabarkan kepada kita bahwa partisipasi rakyat dalam pileg 2014 cukup normal, yakni di kisaran 75 persen dari jumlah rakyat yang sudah punyak hak pilih. Menurut KPU bila angka keikutsertaan dalam pileg mencapai 90 persen, justru mengkhawatirkan. Karena kesediaan mengikuti pemilu yang tinggi, nyaris 100 persen, seperti itu hanya terjadi di negara-negara totaliter.
Dari besaran golongan yang tidak memberikan suara ini, yang lebih populer dengan golput, mencapai 25 persen, dan jadi pemenang sesungguhnya dari pileg kali ini, boleh jadi yang paling mungkin terjadi adalah rakyat memang enggan memberikan suaranya. Dan keengganan tersebut, salah satu sumber yang bisa diajukan adalah enggan terhadap parpol maupun capres/cawapres yang mulai disodor-sodorkan.
Dan keengganan terhadap parpol atau capres/cawapres yang dimunculkan, bisa diteruskan, boleh jadi karena pola sosialisasi yang dialami tidak tepat atau bahkan salah atau berlebihan. Paling tidak ini bisa dilihat pada kasus Partai Demokrat (PD), sebagai parpol yang mengalami penurunan pemilih lebih dari 50 persen dari pileg 2009, dan kasus capres/cawapres dialami langsung oleh capres sebuah partai oposisi. Keduanya sama-sama menuai hasil dari agresifnya pemberitaan tentang keduanya.
Oleh pemberitaan yang gencar hampir di semua media, dengan pola senada menghukum para eksponen PD yang terganjal kasus korupsi di tangan KPK, PD mengalami degradasi pengaruh dari aneka pemberitaan negatif yang ditembakkan ke arahnya. Akibatnya banyak prestasi kerja pemerintah Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, yang notabene didominasi PD dengan programnya yang membawa kemenangan pada pileg dan pipres 2004 dan 2009 lalu, nyaris tak tersaji proporsional dalam pemberitaan.
Berbagai media bahkan terkesan tidak adil dengan menyampaikan informasi tak langkap, atau malah kurang tepat, tentang berbagai hal yang semestinya dicatat sebagai hasil kerja keras pemerintah dan selayaknya mendapatkan apresiasi dari rakyat melalui media netral. Tapi karena banyak media sejak awal menempatkan diri pada posisi memihak pada partai oposisi, bergantung pemaknaan oposisi seperti apa yang diberikan atau diperjuangkan, hasil pemberitaan pun tidak menguntungkan PD untuk mengikuti pileg selanjutnya dengan nama baik.
Dan nasib yang tak jauh beda sebenarnya didapatkan capres partai oposisi. Perjalanan politik yang belum begitu panjang, sejak dari pejabat kota, lalu pejabat provinsi, dan kemudian dijagokan sebagai capres partai oposisi yang didukung mitraliur pemberitaan setiap detik dan menit (via media online) dan setiap jam serta hari lewat televisi dan koran, semestinyalah membuahkan hasil selaras bila hal itu ditampilkan sebangun dengan hasil kerja atau program kerja sesungguhnya.
Tapi karena ramainya pemberitaan lebih dimaksudkan untuk memacu penggelembungan citra, yang terjadi kemudian adalah hasil yang jauh dari perkiraan para penggagas pencitraan sang capres. Perhitungan akan mendapatkan suara di atas 25 (bahkan 30) persen bila pencapresan diumumkan, tiba-tiba raib entah ke mana, karena yang muncul adalah angka lebih kecil dari bayangan: 19 persen. Memang lebih tinggi 5 persen dari pileg 2009. Tapi masih di luar proyeksi, karena publik ternyata tak sepenuhnya terkooptasi iklan. Ini bisa saja akibat tidak sinkronnya pemberitaan gencar dengan kapabilitas produk yang diiklankan.
Bila dalam kasus PD, yang terjadi adalah tergerogotinya pengaruh atas publik melalui negasi pemberitaan kasus korupsi yang ramai terhadap para kader, sementara dalam hal partai oposisi yang berlangsung adalah media mencitrakan fiksi kompetensi yang sesungguhnya tak dikehendaki publik yang lebih merindukan fakta.
Bagi publik kini, terutama bagi 25 persen si pemenang pileg 2014, sang golput, dan juga publik luas lain yang masih bisa menggeser arah suaranya dalam pilpres nanti, tetap terbuka peluang bagi munculnya figur lain yang jauh dari fiksi pemberitaan prestasi gaya capres oposisi, atau terbebas dari negasi penggerusan terhadap prestasi dan kerja yang dialami PD.
Inilah figur faktual yang boleh jadi akan menyosok sebagai tokoh publik lima tahun mendatang, dengan rekaman kerja jelas, bermutu, teruji, dan dapat ditimbang oleh siapa pun warga Indonesia. Hingga mereka yang beberapa waktu lalu sudah memberikan suaranya kepada partai tertentu, kali ini boleh jadi malah akan mengarahkannya kepada figur nyata yang sangat ditunggu tersebut.