Tanggal 1 Mei lalu merupakan Hari Buruh Internasional (May Day) pertama di tahun politik. Hari pertama 1 Mei dijadikan hari libur nasional di tengah hiruk pikuk "kampanye" calon presiden. Jadilah pemandangan unik, para buruh "ditatrik-tarik" dalam kepentingan politik.
Calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto termasuk sangat aktif melobi para buruh. Sementara Aburizal Bakrie dari Golkar tidak kedengaran mendekati kekuataan buruh. Pada May Day 1 Mei lalu, Joko Widodo menerima massa buruh di rumah dinasnya. Sementara Prabowo dengan gagah menemui massa buruh di Gelora Bung Karno. Prabowo menerima tantangan untuk menanda tangani kontrak dengan buruh yang termaktub dalam "10 tuntutan".
Seperti kebiasaan Prabowo yang "gagah", ia layani permintaan buruh dengan lantang. Padahal kalau kita cermati, 10 tuntutan itu bukan main beratnya untuk diluluskan. Banyak permintaan yang sudah disampaian bertahun-tahun lalu dan sampai sekarang belum menjadi kenyataan karena berbagai faktor. Faktor utama adalah karena kebelum mampuan ekonomi secara nasional. Artinya, untuk memenuhi tuntutan buruh itu, secara teori kita harus meningkatkan dulu kemampuan ekonomi sebagai landasan utama pemenuhan permintaan buruh. Sebuah permintaan yang prasayartnya panjang. Permintaan itu tidak berdiri sendiri untuk dipenuhi.
Pada poin pertama, misalnya, buruh meminta kenaikan upah 30 persen. Permintaan yang harus dipenuhi tahun depan itu, mengandung prasyarat harus disetujui kalangan usaha tahun sebelumnya. Artinya, pada tahun ini buruh-pengusaha-pemerintah harus bersepakat untuk meningkatkan upah 30 persen. Kalau dipenuhi, inilah kenaikan paling tinggi dalam sejarah upah buruh di Indonesia.
Pemerintah sekarang di bawah Prsiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu tidak serta merta mengamini permintaan itu. Meski pemerintah Yudhoyono termasuk berhasil mengakhiri era buruh murah, namun pemerintah tidak akan serta merta memutuskan kesekapatan kenaikan pada tahun ini juga.
Perlu diketahui bahwa kenaikan upah minimum yang akan diterima para buruh tahun ini itu disepekati tahun lalu. Maka kenaikan tahun depan pun semestinya harus dibahas dan disepakati tahun ini. Jadi, kontrak politik yang ditanda tangani Prabowo Subianto dengan para buruh untuk menaikkan upah 30 persen pada tahun 2015 adalah sebuah kegabahan.
Bisa jadi apa yang dilakukan itu memang khas Prabowo yang dalam hal memang "hebat" dalam ihwal menerabas. Namun, masalahnya apa yang dilakukan Prabowo hari ini itu terkait juga dengan pemerintahan sekarang yang dikenal tertib, hati-hati, dan jauh dari mental menerabas.
Permintaan lainnya dalam 10 tuntutan itu tentu juga hebat-hebat yang rasa-rasanya sangat berat untuk dipenuhi, apalagi dalam tahun pertama seorang menjabat sebagai presiden. Tuntutan itu, misalnya, mengangkat pegawai dan guru honorer menjadi pegawai negeri sipil dan serta subsidi Rp 1 Juta per orang/per bulan dari APBN untuk guru honorer serta sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh.
Para buruh tidak salah salah dengan permintaan itu. Mereka tentu ingin dihargai tinggi. Namun para calon presiden juga harus hati-hati. Jumlah buruh formal yang diperkirakan mencapai 44 juta orang, guru honorer dan tenaga honorer mencapai 1,6 juta dan guru resmi yang lebih dari 3,7 juta, memang merupakan massa yang seksi.
memang merupakan massa yang seksi. Namun keseksian itu mesti dilihat dari berbagai sisi. Asal memutuskan hanya untuk kepentingan sesaat, tidaklah bijak.
Jakarta, 5 Mei 2014