korupsi memiliki berbagai bentuk dan wujud, dan salah satu arena yang sering menjadi sasaran adalah dana desa. Dalam upaya menyelamatkan dana desa dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, penting bagi kita untuk memahami berbagai bentuk tindak pidana yang menjadi modus operandi para pelaku.
Tindak pidanaPertama-tama, perlu ditekankan bahwa korupsi dana desa tidak selalu bersifat terang-terangan. Lebih sering, para pelaku menggunakan beragam modus untuk menyusup dan merampok dana tersebut tanpa meninggalkan jejak yang mencolok. Salah satu bentuk umum adalah "mark-up" proyek, di mana nilai proyek sengaja ditingkatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Tindakan ini merugikan tidak hanya negara, tetapi juga menghambat kemajuan pembangunan di tingkat desa.
Selain itu, penyimpangan dalam proses lelang proyek juga menjadi modus yang kerap digunakan. Pihak yang terlibat dalam penentuan pemenang lelang bisa jadi sudah 'bersekutu' sebelumnya, menyebabkan persaingan tidak sehat dan merugikan pihak yang seharusnya mendapatkan kontrak dengan nilai terbaik.
Namun, modus korupsi tidak hanya terbatas pada manipulasi anggaran dan proyek. Penyalahgunaan wewenang, pemalsuan dokumen, hingga pengemplangan data keuangan desa juga merupakan bentuk-bentuk lain yang harus diwaspadai.
Dalam konteks ini, artikel ini akan membahas secara lebih mendalam berbagai bentuk tindak pidana yang menjadi modus korupsi dana desa, serta dampaknya yang merugikan bagi pembangunan lokal. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang modus ini, diharapkan masyarakat dan pihak berwenang dapat bekerja sama untuk melindungi dan mengoptimalkan penggunaan dana desa demi kesejahteraan bersama.
Secara umum terdapat 5 (lima) bentuk tindak pidana korupsi yang sering dijadikan sebagai modus korupsi dana desa oleh Pemerintah Desa, yakni sebagai berikut:Â
1) Penggelembungan Anggaran
Salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang dijadikan sebagai modus korupsi adalah penggelembungan anggaran (mark up), khususnya pada pengadaan barang dan jasa. Sepanjang 2015-2017 ditemukan ada 14 kasus korupsi dana desa dengan modus mark up. Salah satu kasus korupsi dana desa yang berkekuatan hukum tetap tersebut dilakukan oleh Kepala Desa Negeri Administratif Sumbawa, Kecamatan Klimury, Kabupaten Seram Bagian Timur, Abdul Rasid Takamokan tahun 2019. Dalam persidangan ia terbukti melakukan mark up program dan kegiatan dari dana desa sejak 2015-2017 mencapai Rp. 433.870.304. Salah satu cara yang dilakukan pelaku yakni dengan menaikkan harga pembelian 15 Motor Desa dari senilai Rp.23.500.000, namun dilaporkan dalam Laporan Pertanggung Jawaban Dana Desa Tahun 2016 yang dibuat Terdakwa masing-masing sebesar Rp.29.000.000, dan menaikkan harga (Mark Up) pembelanjaan pembelanjaan Body Fiber sebesar Rp.3.750.000, dari pembelian sebesar Rp.20.250.000, namun dilaporkan dalam Laporan Pertanggung Jawaban Dana Desa Tahun 2016 yang dibuat Terdakwa masing-masing sebesar sebesar Rp.24.000.000
2) Kegiatan/Proyek Fiktif
Bentuk tindak pidana korupsi yang dijadikan sebagai modus korupsi dana desa selanjutnya adalah kegiatan/proyek fiktif. Dalam modus ini, Pemerintah Desa seringkali membuat proyek/kegiatan fiktif dalam pelaksanaannya, yang sebenarnya tidak ada (fiktif). Namun seolah-olah benar adanya kegiatan/proyek tersebut supaya memperoleh pencairan dari dana desa untuk keuntungan pribadi. Sepanjang 2015-2017, ditemukan ada 15 kasus kegiatan/proyek fiktif yang dilakukan oleh Pemerintah Desa. Salah satu kasus yang berkekuatan hukum tetap tersebut dilakukan oleh Kepala Desa Kaluku, Kecamatan Batang, Kabupaten Jeneponto, Syamsu Japarang tahun 2016. Berdasarkan bukti-bukti di persidangan modus yang ia lakukan yakni membuat nota/kuitansi fiktif dari pembelian barang untuk Pemerintah Desa yang sebenarnya tidak ada, seperti pembelian inventaris (kursi) senilai Rp. 16.075.000, pembelian bahan material pengerjaan jalan setapak yang berlebihan Rp. 2.972.000, perjalanan dinas Rp. 1.500.000, belanja atk rp. 4.270.000, pembelian seragam BPD yang terindikasi fiktif Rp. 2.500.000, dan kegiatan/proyek lainnya. Atas perbuatannya kerugian negara dari royek/kegiatan fiktif tersebut mencapai Rp. 48.987.000.
3) Laporan Fiktif
Berbeda dengan kegiatan/proyek fiktif, dalam bentuk laporan fiktif yang dijadikan sebagai modus, maka laporan yang dibuat tidak sebagaimana kondisi pelaksanaan kegiatan/proyek dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang sebenarnya. Selama tahun 2015-2017 terdapat 17 kasus laporan fiktif sebagai modus korupsi dana desa (Indonesian Corruption Watch, 2018). Salah satu kasus laporan fiktif tersebut terjadi di Desa Larpak, Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan, pada tahun anggaran 2016. Hal itu dilakukan oleh Musdari yang menjabat sebagai Penjabat (Pj) Desa Larpak, dan Moh Kholil sebagai laksana proyek. Kedua pihak saling bersekongkol untuk membuat laporan dana desa 2016 seakan-akan proyek sudah selesai dilaksanakan, padahal kenyataannya belum. Sehingga saat diaduit ditemukan kerugian negara mencapai Rp. 316.000.000.
4) Penggelapan
Kemudian bentuk korupsi dana desa yang dijadikan sebagai modus tindak pidana korupsi dana desa adalah penggelapan. Pada modus ini, serupa dengan konsep penggelapan dalam KUHP, intinya adalah perolehan barang itu bukan karena kejahatan melainkan secara sah. Namun, kemudian menjadi tindak pidana/tidak sah, karena pemanfaatannya yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Salah satu kasus korupsi dana desa dengan modus penggelapan dilakukan oleh Kepala Desa Matang Ulim, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara tahun 2017. Ia menggelapkan dana desa sebesar Rp 325.275.000 dengan modus memalsukan tandatangan bendahara desa dalam proses pencairannya. Uang tersebut kemudian justru digunakan untuk membayar utang dan liburan ke Malaysia oleh Kepala Desa. Perlu diketahui selama 2015-2017 terdapat 32 kasus korupsi dana desa dengan modus penggelapan.
5) Penyalahgunaan Anggaran
Penyalahgunaan anggaran merupakan modus terakhir dalam korupsi dana desa. Bentuk dari penyalahgunaan anggaran adalah dana yang telah diperuntukan dalam perencanaan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Selama periode 2015-2017 terdapat 51 kasus penyalahgunaan anggaran. Salah satu kasus korupsi dana desa bentuk penyalahgunaan anggaran terjadi di Desa Desa Taraweang Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep tahun 2018. Dimana Kepala Desa yang mencairkan dana dari Bendahara Desa untuk untuk pengadaan lampu jalan sebesar Rp. 140.929.000, uang bantuan masjid sebesar Rp. 20.000.000, dan uang pengadaan papan monografi desa serta papan desa sebesar Rp. 1.450.000, tidak mempergunakannya sebagaimana mestinya. Dana yang diminta tersebut justru digunakan oleh Kepala Desa untuk membayarkan utang pribadi Kepala Desa senilai Rp. 161. 329.000. Sehingga merugikan keuangan negara, khususnya masyarakat desa.