Mohon tunggu...
Devi JanuaristRahmadhani
Devi JanuaristRahmadhani Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Semester 5

Sukses Dunia dan Akhirat !

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Strategi Penuntasan Wajib Belajar di Tengah Krisis (1998)

26 November 2019   19:37 Diperbarui: 26 November 2019   19:43 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajib Belajar dalam Pendidikan itu tidak semata mata hanya untuk memperluas kesempatan Pendidikan, peningkatan mutu, dan relevansi melainkan, untuk menumbuhkan kesadaran, kepedulian dan komitmen tinggi pengelola untuk menggerakan secara terkoordinasi keseluruhan kegiataan dalam Pendidikan dasar. Mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah sebagai Gerakan nasional yang menyentuh seluruh lapisan masyrakat.

Menddikbud Wiranto Arismunandar memandang bahwa fondasi Pendidikan nasional adalah Pendidikan dasar. Dan fondasi harus di perkuat karena jika di ibaratkan fondasi dalam bangunan, jika fondasinya lemah maka bangunan appaun yang di letakan di atasnya akan goyang atau bersifat semu. Maka dari itu mendikbud pada Rakernas Depdikbud 1998 mengangkat tema sentral yaitu " penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar" yang di mamksudkan untuk mencari strategi di tengah krisis ekonomi dan menuntaskan wajib belajar Pendidikan dasar.

Krisis Ekonomi dan Moneter yang berlangsung sejak 1997 diperkirakan akan berdampak sangat buruk terhadap upaya penuntasan wajib belajar Pendidikan dasar Sembilan tahun. Berbagai dampak langsung dan tidak langsung dari krisis tersebut dalam pengelola Pendidikan dasar ,umumnya siswa SLTP swasta tidak dapat membayar SPP tepat pada waktunya, cenderung memnunda pembayaran selama tiga bulan. Akibatnya pembayaran bulanan gaji guru cenderung tertunda hingga satu sampai tiga bulan.

Di Jawa Timur misalnya terdapat 346 SLTP swasta terpaksa tutup dan diperkirakan 72.000 siswa mengalami putus sekolah ( Jayakarta dan Sinar Pagi, 14 April 1998 ) dalam keadakaan seperti itu, strategi pengelolaan Pendidikan dasar Sembilan Tahun tampaknya perlu segera di arahkan untuk : mempertahankan tingkat enrolment SD dan SMP, mencegah terjadikanya angka putus sekolah yang besar mempertahankan tingkat angka transisi dari SD ke SLTP yang telah dicapai tahun lalu.

Maka dari itu strategi yang dapat di lakukan seperti meniadakan penyelenggaraan EBTANAS, menghilangkan dikotomi antara SD dan SMP yang tampaknya sangat menguntungkan dalam rangka meningkatkan angka transisi dari SD ke SLTP, Paket B yang telah dirancang sebagai program kesetaraan SMP di jalur Pendidikan luar sekolah perlu ditingkatkan mutu penyelenggaraannya untuk menanmpung lulusab SD yang tidak tertampung di SMP regular karena alas an ekonomi ataupun geografis.

Namun yang menjadi focus dalam bahasan saya kali ini adalah meniadakan penyelenggaraan Ebtanas. Fungsi Ebtanas meniadakan dapat digantu dengan evaluasi hasil belajar biasa yang dilakukan di sekolah. Ebtanas selama ini tampaknya tidak terpengaruh kepada tingkat kelulusan, bahkan hasil Ebtanas yang mendapat nilai rendah tetap lulus. Hal ini tercermin dar tingkat kelulusan secara nasional mencapai atau mendekati 100 persen

Tak hanya itu biaya Ebtanas SD yang bervariasi antara Rp. 5000 -- Rp. 15.000 persiswa dapat di ganti denngan kepentingan lain seperti memberikan beasiswa kepada anak anak yang benar benar tidak mampu sehingga dapat di pertahankan tingkat enrolment yang ada, dan penghemanatan tersebut mencapai Rp 20,5 miliar hingga Rp. 61.5 miliar pertahun.

Namun menurut saya setelah saya membaca buku ini maka saya berpendapat bahwa saya setuju dengan ajanya pengahapusan Ebtanas karena tingkat kelulusan siswa tidak dapat dilihat dari hasil Ebtanas karena menurut saya itu tidak subjekif dan hanya membuang buang uang seperti biasa kertas dan biaya operasional lainnya yang menunjang kegiatan Ebtanas tersebut. Dan saya juga setuju dengan hanya melakukan Evaluasi hasil belajar biasa yang di lakukan sekolah namun pasa saat ini Ebtanas yang di ganti dengan UTBK juga menurut saya tidak Subjektif, walaupun tidak membuang buang kertas melaikan memakai teknologi seperti computer dan tidak menjamin akan lancer lancer saja.

Karena kebanyakan yang sudah di alami dalam UTBK mereka servernya kadang error, tiba tiba computer yang sedangdi pakai mati walaupun computer bisa digunakaan hingga beberapa tahun sesuai pemeliharaan. Namun saya juga tidak terlalu setuju dengan adanya UTBK karena menurut saya siswa siswa yang setelah lulus dari sekolah tidak tergantung pada hasil akademik di sekolah melainkan dengan keterampilan mereka, maka jika saya punya kebijakan saya akan menanamkan Pendidikan keterampilan di setiap sekolah dari mulai Pendidikan dasar, menengah dan atas untuk menerapkan Pendidikan keterampilan agar anak anak yang suda lulus mempunyai keterampilan yang menonjol jika mereka tidak mempunyai biaya untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan mereka bisa mengikuti kursus .

Dengan begitu fondasi kita mulai menguat dan Pendidikan nasional tidak terlalu menjadi masalah anak yang banyak putus sekolah namun mereka memiliki keterampilan yang sudah ditanamkan dari Pendidikan Dasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun