Sehingga kita bisa dengan seenaknya melayangkan hujatan sana-sini hanya berbekal apa yang kita lihat dan kita dengar dari media massa?
Saya, yang orang awam dibidang statistik dan survey, mencoba membikin analisis berdasarkan ingatan saya. Seingat saya, setiap mendekati pemilu, minimal 2 – 3 tahun sebelumnya, selalu ada kader partai atau bahkan partai, yang dilanda permasalahan hukum. Celakanya, hukum dominan yang berlaku adalah hukum main hakim sendiri, tanpa menunggu putusan pengadilan. Biasanya hanya berdasar informasi media massa yang hanya sepotong, satu sisi dan disampaikan dengan bahasa yang terpilih. Dan berakhir dengan keberhakan semua pihak untuk melakukan tindakan pengeroyokan opini, minimal melalui hujatan di media sosial.
Menurut ingatan dangkal saya, hampir semua partai pernah mengalaminya. Masih ingat slogan “Katakan Tidak pada Korupsi” milik Partai Demokrat? Dan yess, mereka dihajar dengan isu-isu korupsi. Isu-isu yang mungkin bisa “dibuat” sedemikian rupa oleh sang invisible hand. Golkar, dengan “Suara Golkar Suara Rakyat” sempat pula dijadikan bulan-bulanan dengan isu-isu ketidakpedulian pemimpinnya terhadap nasib korban Lumpur Lapindo yang merasa dirugikan akibat ulah perusahaannya. Dan sampai sekarang pun saya rasa Bang Ical masih sangat “dibenci” oleh orang-orang Jawa Timur, karena luapan lumpur yang efeknya merata dirasakan oleh semua orang Jawa Timur. Begitu juga dengan PBB dengan sasaran tembak Yusril Ihza Mahendra, PKB yang sempat digoyang dengan isu ulah asisten pribadinya, dan PAN yang memanfaatkan momen tabrakan anak Hatta Rajasa.
Dan sekarang adalah giliran PKS. Partai berbasis Islam dan yang mencitrakan dirinya bersih. Citra yang menurut sangat gampang untuk diputarbalikkan. Pengharapan masyarakat adalah, ketika muncul partai yang mengusung nama Agama, kader-kadernya adalah “Malaikat” yang tingkah lakunya 100% pasti benar. Ketika citra bersih yang diusung, maka harapan publik bayangan publik adalah kain super putih polos yang bersih. Sungguh dua kondisi yang rentan untuk di “nodai”. Ketika ada 1% kesalahan (karena ternyata kadernya juga manusia biasa) maka yang muncul adalah generalisasi dosa, 99% sisa kebaikan tidak lagi membekas. Ketika ada noda kecil di kain super putih, maka muncul adalah kain itu harus dimusnahkan karena sudah ternoda. Tindakan itu, apa untungnya buat kita selain kita kehilangan manusia baik (bukan malaikat ya!) dan kehilangan kain putih? Apa untungnya kita menghujat tanpa dasar yang jelas dan audiens yang jelas pula?
Menurut saya, kita bangsa Indonesia sudah diajari oleh Agama, Orang Tua, Guru dan Pemimpin-Pemimpin kita untuk selalu menghargai kebenaran dan kebaikan. Mereka juga mengajari kita untuk menghargai kejujuran, mengingat kebaikan dan jasa serta memaklumi kekhilafan. Tulisan ini bukan untuk membela siapa-siapa, hanya sekedar mengajak pembaca untuk bersikap lebih arif dan bijaksana menyikapi pemberitaan media, dan menyalurkan energi yang ada untuk hal-hal yang lebih positif dari pada menghujat dan memperkerkeruh masalah. CMIIW (Correct Me If Im Wrong) adalah kata yang tepat untuk menutup tulisan ini, karena Malaikat juga tau saya hanya manusia biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H