Menjadi guru saat ini bak berjalan di atas tali tipis, sambil menyeimbangkan buku, kapur, dan... ya, surat gugatan. Di satu sisi, masyarakat mendambakan guru yang mampu membentuk karakter generasi muda dengan sepenuh hati. Namun, di sisi lain, tindakan sederhana seperti menegur atau memberi peringatan bisa berujung di pengadilan. Tak heran banyak guru menjalani profesi dengan rasa was-was, alih-alih penuh semangat.
Mendidik anak bangsa? Bisa jadi mimpi buruk. Setiap langkah dan metode pembelajaran kini dipandang kritis, bukan hanya oleh siswa, tetapi juga oleh orang tua. Sedikit salah saja, guru bisa dihadapkan pada aparat atau menerima surat panggilan. Ternyata, "mendidik" kini punya arti baru: siap digugat.
Di era ini, orang tua semakin proaktif mengawasi perkembangan anak-anaknya di sekolah, bahkan kadang lebih waspada daripada guru itu sendiri. Apakah ini buruk? Tidak selalu.
Namun, permasalahannya, sering kali guru dan orang tua memiliki pemahaman berbeda soal metode pendisiplinan. Niat baik guru kerap dipersepsikan negatif, dan upaya membangun karakter siswa dipandang sebagai ancaman. Akhirnya, guru berada di persimpangan: jika dibiarkan, mereka dianggap tak mendidik; jika ditegur, mereka bisa dituduh melanggar hak siswa. Apa pun yang dilakukan, salah.
Ironisnya, guru juga semakin dibebani tugas administratif. Sejak diberlakukannya Kurikulum Merdeka, guru semakin tenggelam dalam dokumen, laporan, dan birokrasi yang menggerogoti waktu mereka untuk mendidik siswa.
Ditambah dengan ketakutan terhadap kritik publik mengenai pendisiplinan siswa, banyak guru dihadapkan pada pilihan dilematis antara dedikasi pada pendidikan dan ancaman hukum. Alih-alih mengembangkan metode kreatif, guru justru lebih sering waspada agar tidak "salah langkah."
Seiring maraknya kasus gugatan terhadap guru, posisi mereka dalam hukum Indonesia menjadi makin genting. Misalnya, Undang-Undang Perlindungan Anak yang bertujuan melindungi anak dari tindakan berlebihan sering disalahgunakan untuk melawan tindakan disiplin yang seharusnya menjadi hak guru dalam mendidik. Dalam kondisi ini, tindakan mendidik yang dianggap melanggar hak anak bisa berbalik menjadi bumerang yang memukul semangat para guru.
Sebagai contoh, kasus Guru Supriyani di Sulawesi Selatan baru-baru ini menjadi viral. Supriyani harus masuk tahanan karena diduga menganiaya siswa yang orang tuanya seorang polisi. Untuk berdamai, keluarga korban bahkan meminta uang sebesar 50 juta rupiah---angka yang tentu saja sangat besar bagi seorang guru honorer biasa. Setelah ramai menjadi perhatian nasional, akhirnya penahanan Guru Supriyani ditangguhkan.
Contoh lain yang lebih tragis terjadi di Lamongan pada akhir 2023. Seorang guru harus dilarikan ke rumah sakit karena dibacok muridnya sendiri, yang masih duduk di bangku SMP. Persoalannya ternyata sepele: sang guru hanya menegur siswa tersebut karena tidak memakai sepatu! Hanya karena teguran ini, si murid tega melakukan pembacokan.Â
Dari dua kasus ini, terlihat jelas bahwa guru kini tak hanya harus siap menjadi pendidik, tetapi juga siap menghadapi risiko masuk penjara bahkan ancaman percobaan pembunuhan. Tak heran jika hari ini muncul tren guru yang enggan menegur murid, khawatir berurusan dengan hukum.
Di tengah ketidakpastian ini, guru membutuhkan payung hukum yang jelas. Bayangkan saja, siapa yang rela menjadi guru jika setiap hari berjalan di atas ladang ranjau? Organisasi pendidikan dan sekolah perlu membuat pedoman tegas yang mengatur interaksi antara guru, siswa, dan orang tua.