Keadaan dimana harga memiliki kestabilan dalam artian dapat memberikan kegiatan ekonomi yang masif, sangat diperlukan. Stabilitas harga menjadi fokus pada beberapa negara, karena dengan demikian harapan akan adanya welfare bagi semua pihak dapat tercipta. Baik pihak yang terlibat disisi rantai demand atau juga supply. Seperti yang kita ketahui, ketimpangan keuntungan pada konsumen saja, atau produsen saja tidak akan membawa welfare economy tercipta baik. Begitupun dengan adanya gejolak perubahan harga yang berfluktuasi tidak dapat menciptakan stabilitas harga dan welfare yang baik (Massel, 1969). Mengapa demikian, harga yang berfluktuasi tentu saja akan rawan membawa adanya inflasi tak tentu pada suatu waktu, yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan konsumsi atau produksi masyarakat.
Lain hal dengan dampak-dampak lanjutan yang melibatkan ekonomi global, stabilitas harga juga ikut menjadi penentunya. Secara berurutan, harga yang berfluktuasi kencang akan membawa shock pada sisi demand, termasuk juga sisi supply uang. Keadaan shock yang demikian juga mampu menjalar pada keadaan nilai tukar yang tervolatilitas cepat. Jika demikian, pasar global akan membaca volatilitas nilai tukar ini sebagai ketidakpastian yang rawan dihindari dalam keputusan berinvestasi atau memberikan kontribusi capital pada negara yang bersangkutan. Tak heran capital flight bisa menjadi fenomena nyata jika sudah demikian. Seperti inilah urgensi untuk tidak mengecualikan upaya stabilitas harga dari aspek welfare individu sampai juga negara. Hal ini membawa beberapa hal terkait berkontribusi, baik dari kebijakan fiskal sampai juga moneter.
Kebijakan moneter memiliki peran dalam hal menjaga stabilitas harga agar tidak merambat pada sisi-sisi lainnya seperti pemaparan di atas. Di dalam kebijakan moneter terdapat model kontribusi pada sisi riil, melalui price rigidity atau harga yang dikakukan (Woodford, 2002). Akan tetapi pada kenyataannya pasar tidak akan mudah mematuhi kepatenan harga, walau dengan demikian harga akan stabil bahkan konstan. Setiap hal memungkinkan terjadi dan mengakibatkan sesuatu tidak lagi pada konsep dasarnya, yang awalnya ditujukan mengimplementasikan rigidity harga, dengan beberapa pihak yang tidak mungkin mudah mengikuti, rigidity bisa tidak diterapkan atau juga memunculkan moral hazard baru yang bisa memberi dampak buruk (Adam Smith, The Theory of Moral Sentiment). Stabilitas harga tidak akan dapat terjadi secara optimal pada harga yang kaku (Aoki et Al, 1999).
Kekakuan harga yang diterapkan dengan beragamnya indikasi penyelewengan, memunculkan konsep lain untuk tetap menstabilkan harga. Bank sentral, dari sisi moneter dapat memberi kontribusi pada sektor riil dengan melakukan stabilisasi tingkat suku bunga dan penargetan inflasi. Ketetapan tingkat suku bunga yang normal dan sesuai, dilakukan demi harga yang ada dapat membentuk stabilitas output. Hingga yang pada akhirnya berimbas pada tingkatan terjadinya inflasi (Woodford, 2001). Maka dengan kata lain, controll stabilitas tingkat suku bunga dianggap mampu menjadi langkah moneter dalam dua pijakan, stabilitas output dan juga inflasi. Controll tingkat suku bunga ini pada akhirnya menjadi behavior negara-negara dalam mengendalikan inflasi. Hingga ketika kondisi inflasi benar-benar dianggap mengkhawatirkan ekonomi negaranya secara domestik atau global, langkah menurunkan tingkat suku bunga sampai pada titik nol akan ditempuh. Hal ini sah saja untuk menyelamatkan ekonomi negara, namun catatannya negara cenderung mengedepankan target inflasi daripada deflasi. Padahal ketika ada indikasi inflasi reda karena tingkat suku bunga rendah tadi, deflasi bisa saja rentan menjadi penyakit ekonomi (Friedman).
Konsep controll tingkat suku bunga ini dipertentangkan dengan asumsi bahwa antara tingkat suku bunga dan stabilitas harga sendiri memiliki space trade-off. Karena tingkat suku bunga yang terkontrol dan membawa stabilitas harga hanya akan terjadi pada keadaan ekonomi yang biasa, atau secara general. Ketika keadaan ekonomi dihadapkan oleh gejolak atau shock, hal ini akan lain lagi ceritanya. Dengan menerapkan controll tingkat suku  bunga yang disesuaikan kondisi shock, akan membawa stabilitas harga tertinggalkan (Woodfornd, 2001). Maka negara akan dihadapkan dengan kondisi pemilihan diantara dua hal yang pada dasarnya sama-sama penting. Controll tingkat suku bunga yang memiliki tujuan tambahan yakni kekuatan menghadapi shock, dan pengaturan stabilitas harga yang perlu agar shock semakin tidak menjadi-jadi.
Keadaan dilema ini, membutuhkan satu langkah tepat dari pengampu kebijakan moneter untuk menunjang stabilitas harga. Yakni memberi fokus utama untuk stabilitasi harga melalui fleksibilitas harga (Erceg et Al, 2000). Namun, stabilitas harga yang dilimpahkan pada otoritas moneter, khususnya bank sentral akan membawa indikasi kuat pada pelebaran inflasi. Maka dari hal ini, perlunya pembagian kerja pada otoritas moneter terkait. Dan juga bank sentral ditetapkan kembali sebagai pemantau inflation targetting framework (ITF) yang terinclude kerja controll tingkat suku bunga, beberapa negara pada akhirnya menerapkannya dengan fokus utama pengendalian inflasi, termasuk Indonesia. Karena dengan demikian juga memberi kontribusi secara tidak langsung pada terjadinya harga yang stabil dan terpantau (Warjiyo, 2016).
Kontradiksi dengan ITF dan sorotannya pada inflasi, pengendalian ITF yang memberi peluang pengaturan tingkat suku bunga ini dianggap hanya mampu menghadapi jenis shock yang rendah saja atau shock biasa, bukan yang mengarah pada resesi atau krisis. Kebijkan pengendalian moneter pada demand dan supply money juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Penetapan uang edar yang optimal lebih prosiklikal daripada tingkat suku bunga yang tetap. Tingkat suku bunga yang menurun memang dibutuhkan pada masa shock, namun instrumen untuk mengoptimalkan uang beredar juga diperlukan. Hal ini agar risiko tidak terlalu besar jika hanya mengandalkan pengendalian tingkat suku  bunga dari otoritas moneter dikala economic shock.
Pada masa pandemi ini contohnya, Indonesia menghadapi pandemi yang menjadi shock, dengan tidak hanya memperkuat pertahanan ekonomi dari tingkat suku bunga yang dipotong saja, melainkan juga dengan adanya buffer capital berupa ekspansi kredit, pembelian aset, dan penyediaan likuiditas aset yang mampu menstimulus sisi edar uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H