Mohon tunggu...
Devia Ramadhani
Devia Ramadhani Mohon Tunggu... lainnya -

A humble college student who think positively and act honestly with integrity, and has a million ways to reach her goal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Iklan Juga Punya Etika

6 Juni 2014   14:23 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:03 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402014039390073328

[caption id="attachment_340736" align="aligncenter" width="448" caption="Sumber : Adsoftheworld.com"][/caption]

Sebagai konsumen, seringkali kita merasa bahwa setiap hari, jam, menit, bahkan detik, kita dihujani oleh banyaknya promosi berbagai brand-brand di sekitar kita. Kita berpikir bahwa promosi itu dibuat untuk memikat hati agar kita mau membeli atau mengonsumsi produk yang ditawarkan. Iklan, salah satu bagian terpenting dalam promosi, bisa dibilang yang paling sering kita temukan. Saat bersantai menikmati acara maupun informasi di TV, radio, koran, majalah, jalanan ibukota, main game, browsing, bahkan update status di social media, selalu ada saja iklan dari berbagai macam brand, baik dari dalam maupun luar negeri.

Dulu saya sering menduga-duga, sebenarnya bagaimana proses pembuatan iklan tersebut sampai akhirnya dapat menjadi seperti itu, siapa sih yang membuat iklan, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Setelah saya menjalani perkuliahan selama 6 semester di salah satu universitas negeri di Indonesia dan mengambil jurusan periklanan, saya menjadi tahu mulai dari definisi iklan itu sendiri hingga bagaimana proses pembuatan, bahkan sampai pada penempatan di media-media.

Mengetahui hal tersebut, saya menjadi sadar bahwa sebenarnya iklan itu tidak sekadar dibuat hanya demi promosi untuk menaikkan penjualan saja, tetapi lebih dari itu. It’s not just about selling products, but it’s also about creating image. Dan lebih jauh lagi, proses pembuatan iklan itu sendiri bukanlah perkara yang mudah loh, tetapi something yang menurut saya kompleks sekaligus challenging karena mengasah kita untuk benar-benar mengerti segala hal tentang produk yang akan diiklankan, konsumen yang disasar, bahkan media yang akan digunakan untuk penempatan si iklan. Nah, hal lain yang harus pula diperhatikan, yaitu moral dari iklan itu sendiri. Ternyata dalam dunia periklanan Indonesia juga memiliki kode etik. Walaupun sifatnya tidak memberikan sanksi, namun kode etik yang terkandung di dalam kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) itu harus menjadi pedoman para pengiklan saat mereka membuat iklan. Yang merumuskan EPI adalah Dewan Periklanan Indonesia (DPI).

Dalam EPI tersebut, disebutkan berbagai hal yang berhubungan dengan dunia periklanan. Mulai dari apa itu periklanan, sampai pada bagaimana seharusnya iklan dengan topik-topik tertentu dibuat. Semuanya secara mendetail dijelaskan didalamnya. Yang paling utama dan yang menjadi prinsip dalam industri periklanan dunia termasuk Indonesia ialah swakrama, atau yang lebih umum dikenal sebagai self regulation. Hal itulah yang menjadi salah satu dasar dibuatnya kitab EPI. Dengan EPI, pelaku periklanan menjadi memiliki pedoman bagaimana membuat iklan yang sesuai dengan tata krama serta moral Indonesia. Lalu dengan prinsip self regulation tersebut, pelaku periklanan pun menjadi dapat mengatur diri sendiri dengan berpegangan teguh pada kitab EPI.

Sebagai contoh yaa, produk yang mengklaim bahwa “satu-satunya produk yang mampu bla bla bla.” Nah produk yang iklannya seperti itu sudah jarang kita lihat kan. Hal itu dicantumkan di dalam EPI pada butir 1.4 tentang penggunaan kata ”satu-satunya.”Disitu dijelaskan kalau iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satu-satunya” atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

Lagi-lagi, walaupun memang EPI tidak memberikan sanksi hukum bagi yang melanggar, tetapi EPI tetap dipatuhi oleh entitas dunia periklanan. Kenapa? Karena mereka berusaha untuk menjalankan self regulation bagi mereka sendiri. Dan self regulation itu pun merupakan tujuan utama mengapa DPI membuat EPI. Jadi bagi para pelaku periklanan yang sudah mematuhi EPI, maka mereka telah mampu mengatur dirinya sendiri.

Bagi saya sendiri, sebagai calon pelaku periklanan yang sebentar lagi akan terjun ke dunia kerja, benar-benar terinspirasi oleh kitab EPI ini. Timbul rasa bangga dalam diri saya, ooh jadi tidak sembarangan yaa iklan itu dibuat. Bahkan, bisa dibilang dunia periklanan adalah sesuatu yang harus dijalani dengan serius karena membawa nama produk sebagai klien, serta tetap harus melindungi hak-hak konsumen, but it's still fun. Pada dasarnya, dengan adanya kitab EPI itu konsumen akan terlindungi hak-haknya, namun tetap tidak membatasi kreativitas dari para pembuat iklan. Nah, kalau mau lihat kitab EPI itu seperti apa, bisa klik disiniyaa. Thanks for reading, feel free to give comments :)

Referensi :

Dewan Periklanan Indonesia. (2007). Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia). Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun