Saya akui, marketing film Negeri 5 Menara memang luar biasa. Berita yang heboh di berbagai media termasuk di Kompasiana ini membuat saya yang jarang mandi kemarin sore terpaksa harus mandi dan berdandan rapi untuk main ke bioskop memuaskan rasa penasaran.
Saya memang bukan pakar film dan bukan pula pecinta sastra. Bahkan saya belum pernah membaca novel N5M. Jadi ini hanyalah sekedar komentar orang awam saja setelah pulang dari bioskop. Kalau ada yang kurang pas, harap maklum.
Film dibuka dengan adegan Alif dan Sakurta Ginting yang mengobrol sehabis lulusan SMP kemudian keduanya menceburkan diri berenang di danau. Kenapa saya menyebut "Sakurta Ginting" bukan nama dalam film? Jujur saja, saya tak bisa mengingat nama-nama tokoh dalam film tersebut kecuali Alif dan Baso. Bagi yang sudah menonton, apakah anda mengalami masalah yang sama dengan saya?
Setelah adegan berenang, kemudian disuguhi akting kaku dari ibunya Sakurta Ginting. Ceritanya Alif dan Sakurta sedang mengobrol di samping rumah, kemudian ibu Sakurta memanggil Sakurta. Perhatikan adegan tersebut, ibu Sakurta memanggil Sakurta dengan intonasi yang terlalu keras dan kaku dengan pandangan mata fokus ke tempat yang agak jauh, padahal Sakurta dan Alif sedang berdiri hanya sekitar beberapa meter di depan si ibu. Ini terjadi mungkin karena pengambilan scene yang terpisah antara ibu yang memanggil dan Sakurta vs Alif mengobrol.
Dan ini lagi-lagi, saya tak bisa mengingat dengan jelas untuk apa si ibu memanggil Sakurta. Mungkin menyuruhnya makan.
Coba bandingkan dengan film India 3 Idiots yang saya tonton tahun lalu. Saya masih bias mengingat sebagian nama-nama tokoh dalam film tersebut. Misal, Ranchordas Chancad / Phunksukh Wangdu/ Chote, Farhan Qureshi, Raju Rastogi, Viru Shastrabudhi, Catur, Piya, Lobo, dan Milimeter.
Aneh bukan? Padahal nama-nama tersebut tak familiar dan susah untuk diucapkan.
Kesimpulan saya adalah, penggambaran tokoh-tokoh dalam film N5M tak mampu membuat saya terkesan sebagaimana film 3 Idiots sehingga otak saya melewatkannya begitu saja dari data base penyimpanan memori.
Penggarapan karakter dalam film ini skurang kuat dan tak mendalam. Tak dibahas latar belakang para Sohibul Manara yang lain kecuali tokoh Alif dan Baso. Bahkan tak dibahas bagaimana kehidupan Sakurta Ginting semasa SMA di Bandung padahal saya berharap tokoh ini berperan banyak karena muncul di awal cerita sebagai sahabat Alif.
Ini menjadi masalah? Ya masalah. Penggambaran karakter yang kurang mendalam akan mengurangi sisi emosionalitas dan kesan kita terhadap konflik yang terjadi dalam film.
Lebih dari itu, banyak adegan-adegan yang hanya sekedar "lewat" saja, padahal seharusnya bisa menjadi sesuatu yang istimewa.
Contoh :
- Adegan Alif Cs liburan ke Bandung. Kejadian berkesan dan membuat tertawa hanya saat Baso terjatuh dari sepeda di depan sekolah putri. Itu saja. Padahal saya berharap disorot juga kehidupan teman Alif yang asal Bandung, pertemuannya dengan Sakurta Ginting yang mengharukan, dan semangat yang luar biasa ketika menyaksikan pidato pak Habibie di ITB. Tapi semua momen tersebut berlalu cepat begitu saja.
- Adegan ustadz yang mengundurkan diri seharusnya juga bisa menjadi sesuatu yang berkesan sebagaimana meninggalnya pak kepala sekolah dalam film Laskar Pelangi, namun lagi-lagi hanya datar saja.
- Adegan menonton pertandingan badminton bersama. Koq tak ditampilkan adegan pertandingannya walau beberapa detik saja? Sinematografi pengambilan gambar dengan kamera yang menyorot adegan dari satu sisi saja dari belakang televisi itu kurang sip dan kurang nggreget, sebagaimana adegan ketika Alif menonton seminar di ITB yang di shoot sambil lalu saja.
- Adegan seorang TNI yang meminta kebijaksanaan agar anak atasannya bisa masuk pesantren padahal tak lolos seleksi, sementara itu Alif menguping dari luar. Padahal lagi-lagi ini saya berharap akan ada kejadian "seru" setelah itu. Tapi ah, lagi-lagi ternyata hanya menjadi adegan sambil lalu saja.
- Konflik final dalam film ini ternyata "hanya" sebatas perjuangan membuat pentas seni. Mana 5 menaranya? Bahkan lucunya saya tak bisa mengingat 5 menara itu menara apa saja. Alur setelah pentas seni kemudian tiba-tiba adegan para sohibul manara sukses menjadi wartawan VoA, guru, dll menurut saya itu pemotongan alur yang sangat tergesa-gesa.
Para cerpenis bilangnya, "ending yang prematur".
Sekali lagi mohon maaf, berkomentar dan mencari-cari kekurangan memang paling gampang, padahal saya belum tentu bisa membuat karya yang seperti itu. Ini ibaratnya saya mengomentari sebuah buku, "isi buku ini membingungkan dan susah dimengerti, banyak istilah-istilah yang kurang familiar, tidak membumi, datar, membosankan, dan tidak ada lucu-lucunya".
Apanya yang salah? Yang salah adalah buku yang saya komentari itu diktat kuliah kedokteran sementara saya adalah orang teknik.
Walau kata reviewer-reviewer yang lain film ini syarat edukasi, motivasi, dan inspirasi, tetapi bagi saya film ini biasa saja, kurang nggreget.
Segudang pesan moral dalam film ini seperti yang sudah dibahas oleh reviewer-reviewer lain memang sangat penting, tapi bukan itu saja yang membuat suatu film bisa dikatakan bagus. Banyak parameter lain yang perlu ditinjau.
Semoga saja hanya saya yang beranggapan bahwa film ini biasa hanya karena soal saya yang “gak ngerti” soal film. Mungkin begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H