Sebenarnya tadinya saya tidak mau ikut-ikutan membahas kasus aneh "Satpam vs Suster Ngesot". Namun kemarin dan hari ini beberapa teman di fb mengundang saya untuk ikut grup "Gerakan Sejuta Facebookers Mendukung Satpam Penendang Suster Ngesot ".Sesuai namanya, grup tersebut yang entah dibuat oleh siapa, digunakan untuk menggiring opini publik-bukan menyuarakan kebenaran.
Malah, saya berpendapat bahwa grup itu dibuat untuk "seru-seruan" dan berekspresi semata.Anda bisa menengok grup tersebut, search saja di google dengan keyword " Satpam Penendang Suster Ngesot " ada di halaman pertama.Isinya sumpah serapah dan caci maki tak karuan.
Ya begitulah, di artikel-artikel berbagai media online yang membahas tema ini, komentar-komentar yang muncul pun demikian, "caci maki". Memang sih ada beberapa komentar yang objektif. Namun sedikit. Langsung tenggelam oleh komentar-komentar caci maki yang menyudutkan si Mega-sang korban.
Ah, budaya caci maki atas nama menyuarakan kebenaran rupanya memang semakin menjadi di negeri ini semenjak era reformasi. Semenjak era kebebasan berpendapat.
Tapi saya tidak akan membahas hal ini lebih jauh. Saya akan membahas mengenai, "kenapa keluarga Mega menuntut si Satpam?"
Inilah alasannya menurut saya :
1. Fakta: Mega teraniaya, pelipis kirinya lebam dan giginya tanggal.
Urgh, pasti ini hasil dari tendangan yang tak main-main. Pasti sakit sekali rasanya.
2. Kejadian menurut sudut pandang Mega dan keluarga :
"Tetapi, Mega meyakini bahwa Sunarya melakukan tendangan dengan sadar dan bukan spontan. Pasalnya, sebelum menendang—berdasarkan kesaksian kawan Mega di dalam lift, Sunarya sempat mengatakan, "Sini saya saja, ini sudah kejadian yang kedua kali."
"Satpam tersebut tau bahwa yang menjadi sosok suster ngesot tersebut ialah manusia," tegas Mega.
(Kompas.com)
"Dia tidak tahu persis kenapa seorang satpam itu bisa masuk dalam lift bersama seorang target yang berniat ditakuti dan tiga teman Mega lainnya. Keluarga menduga satpam itu sepertinya sudah melihat aksi Mega yang berada di depan pintu lift lantai 17 dari layar Closed Circuit Television (CCTV)"
(Detiknews.com)
Sebenarnya menurut saya, dengan memposisikan diri seolah saya adalah Mega ataupun keluarga Mega, tindakan menuntut si satpam adalah langkah logis, beradab, berpendidikan, dan menunjukkan tingkat intelektualitas.
Coba kalau saya beneran berada pada posisi keluarga Mega, Gak terima anggota keluarga saya mendapat perlakuan demikian, saya akan menyewa preman untuk nyulik si satpam, masukkin karung, ceburin ke kali. Beres. Tidak heboh. :-D
Kalau anda, apa yang anda lakukan?
Yang menjadi missing link di sini sebenarnya adalah pengakuan si satpam sendiri mengenai kronologi peristiwa. Apa sih yang sebenarnya terjadi?
Yang disesalkan, Jumat lalu selepas dari kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan, si satpam bukannya meladeni para wartawan malah kabur menghilang entah kemana.
Saya rasa media dan kenaifan masyarakatlah yang menjadi biang kerok hebohnya kasus ini. Perhatikan kalimat berikut, "Satpam secara refleks menendang.. ", "Satpam secara spontan.."
“Sunarya yang terlihat sangat spontan dalam hitungan detik menghunjamkan tendangan kaki kanan ke arah sosok yang mengagetkan itu.” (Kompas.com)
Itu bukan fakta, itu adalah opini yang "sengaja/tak sengaja" dibentuk media berdasarkan analisa dangkal dari video berdurasi sekitar 2 menit yang kemudian dikuatkan oleh kehebohan massa yang suka ikut-ikutan.
Ada percakapan apa atau latar belakangnya apa dibalik peristiwa itu kita tak tahu pasti.Apakah refleks, ataukah terencana.
Ataukah sebenarnya si satpam adalah mantan pacar korban, namun kemudian korban selingkuh, kemudian momen ini dimanfaatkanuntuk membalas sakit hati? Hahahah, efek sinetron.
Yang perlu digaris bawahidi sini adalah ada perbedaan persepsi.
1. Persepsi kebanyakan publik bahwa satpam melakukan tindakan secara refleks dan spontan karena melihat sosok suster ngesot
2. Persepsi Mega dan keluarga bahwa sebenarnya Satpam melakukan tindakan penganiayaan terencana-bukan spontan.Kalau Mega sekeluarga berpersepsi bahwa yang terjadi adalah tindakan spontan satpam, Saya yakin Mega sekeluarga tidak akan menuntut. Dengan besar hati mereka akan, dan menganggap kejadian yang terjadi adalah musibah akibat kecerobohan sendiri.
Yang bijak adalah, kita jangan mudah ikut arus, mudah terprovokasi, mengeluarkan statement dangkal, bahkan mencaci maki.
Ah, kasihan sekali si Mega, sudah mukanya bengkak, giginya rompal, sekarang menjadi objek caci maki.
Ah, kasihan sekali si Satpam, harus mengalami hari-hari yang merepotkan. Bagaimana kalau nanti dipecat gara-gara kasus ini, bagaimana dia menafkahi keluarganya?
-------
Tambahan : mengenai aksi "suster ngesot" Mega, saya bisa sedikit memahami. -saya juga memahami kenapa mereka tidak ijin dulu. Ribet ah, kaya mo ngapain aja pake ijin dulu. Lah wong acaranya juga cuma gituan seadanya, gak pake make up, gak pake baju khusus-. Ibaratnya seperti yang dulu atau bahkan sekarang sering kita lakukan, "mengagetkan" teman. Itu saja. Iseng saja. Sebagai bentuk respek kita terhadap teman. Saya sering melakukannya, kalau main kerumah teman, teman saya lagi tidur, saya sering iseng membangunkan dia sambil teriak, "kebakaran..! kebakaran..!". Perlukah saya minta ijin dulu ke Ayah teman saya, yang punya rumah - sebelum melancarkan aksi? konyol sekali jika iya.
Tapi kalau teman saya bangun terus dia langsung loncat keluar jendela, kakinya patah, saya gak ikut-ikutan... hehehe..
Itulah masa muda. Itulah persahabatan.
Banyak cara untuk mengekspresikan kasih sayang kepada sahabat. Apalagi bagi anak-anak muda seumuran demikian. Ada yang ketika ultah dicemplungin ke empang--terus mati tenggelam, ada yang ketika ultah disiram dengan telur dan tepung -- terus di strap oleh guru BP, ada yang ketika ultah mukanya ditimpuk roti tart besar--kemudian mati kehabisan napas, dll. hahahah
Mungkin terlihat "lebay", tapi sekali lagi, itulah masa muda, itulah persahabatan. Dulu saya juga begitu. Anda tidak pernah mengalaminya? Kasihan.. Saya turut berduka cita.
Ah, saya rindu dengan masa-masa itu. Sekarang ketika semakin dewasa, sahabat-sahabat sudah sibuk dengan rutinitas dan kehidupan masing-masing, hari ulang tahun saya hanya berisi ucapan selamat via fb dan sms, paling banter telpon.
Liburan akhir tahun ini pun sepertinya tidak bakal seru. Sudah tidak ada lagi acara rame-rame gila-gilaan seperti dulu.
Miss U Sobs..
-melash.com-
Ah, yang pasti, tahu gak pemirsa? Saya terlalu sering menggunakan kata “Ah” dan “Yang” pada awal paragraf. Ini tak disengaja dan tak ada maksud apa-apa loh.. ;-P
Selamat Siang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H