Aku menanti senja dalam rintik hujan. Memandang sekitarku dengan penuh ancaman mencengkam, akankah kau hadir saat ini, bersamaku, dan menenangkanku? Itulah pertanyaan –pertanyaan kolot yang selalu aku idam-idamkan menjadi sebuah pertemuan. Membuatku kacau tak berdimensi, bagai berdiri tanpa menginjak bumi. Kau tahu rasanya?
Jarak memang selalu menghasilkan rindu. Dan jarak juga selalu mengingatkan dengan memori untuk tetap bertahan dalam keheningan. Rindu memang semau-maunya, selalu menikam kapanpun dia mau.tertahan hingga membiru, lebam yang ku biarkan terpendam. Kau tahu sekarang arti menahan? Menahan itu tidak mudah, selalu sulit.
Dan ketika senja mulai memudar aku mulai mengerti betapa beratnya seorang ayah melepas anak perempuannya pergi jauh. Dan lagi-lagi tentang jarak, aku mulai menghargai betapa berharganya tiap detik waktu saat aku berkumpul dengan keluargaku, dengan ibu, ayah, dan adikku.
Tahukah Bu? Aku selalu merindukan kebersamaan yang dulu hanya aku acuhkan dan diamkan.
Dalam keheningan yang mengancam, selalu hidup memori disaat ibuku membangunkanku, menyiapkan sarapan untukku. Namun, aku hanya menganggap itu hal sewajarnya yang seorang ibu lakukan untuk anak perempuannya. Lihatlah sekarang, sebagai seorang yang jauh dari pandangan orang tua kau cukup paham dengan apa yang aku rasakan!
Aku melihat rembulan di balik matamu. Aku ingat, waktu itu kau berumur empatbelas hari. Merengek-rengek minta Ibumu segera datang dan bergegas menyusuimu, perlahan Ibumu mendengar rengekanmu. Cepat-cepat dia meninggalkan kegiatan apapun demi menemui gadis mungilnya. Kau segala-galanya untuknya, kau berlian. Kau masih berani membentaknya? Tak tahu diri!
Suatu saat nanti wanita yang kau sebut Ibu itu akan usang termakan waktu, tua dan semakin menua. Hal apa yang bisa kau lakukan untuk wanita yang rela mengorbankan segalanya demi gadis mungilnya yang telah beranjak dewasa. Apa kau bisa mengembalikan apa yang dia berikan untukmu? Jangan melulu memaksa Ibumu menuruti keinginanmu! Masih tak mengertikah? Wanita itu berjuang mati-matian untuk membuat gadis mungilnya tersenyum.
Apa yang kau dengar dari suara malam?
Hujan kali ini terlalu menyirat perhatian
Meminta-minta kembali ke masa itu
Bagai pengemis meronta untuk beli mobil
Kau busuk!
Bilang satu-satunya kepadaku, kepada jalang itu
Duhh, pecundang!
Lalu petir bersaut-sautan
Sembari mengingatkan fatamorgana yang kau nampakkan
Sudah jelas sekarang lemarimu penuh kumpulan wajah palsu, berganti-ganti setiap saat.
Semaumu saja, aku mengerti selera orang rendahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H