Mohon tunggu...
Devia Nalini Sheera
Devia Nalini Sheera Mohon Tunggu... lainnya -

Banyak hal yang perlu diluruskan, jadi temani aku untuk memahaminya..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar pada Sejarah untuk Mencapai Keseimbangan

14 Juli 2013   00:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:35 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13737371331087005089

Hari ini para intelektual akan tertawa terbahak-bahak jika ada sebuah pemikiran yangmembahas tentang sejarah berdasarkan mitos.Pasalnya, bicara sejarah berarti bicara fakta, maka jika sebuah kerangka pemikiran yang dipakai untuk mengungkap sejarah dilandasi dari mitos atau mitologi maka respon yang didapat adalah tawa yang menggelegar. Ada sebuah teori yang mengatakan bahwa waktu adalah siklus yang berjalan maju dan tidak pernah mundur. Karena itu, manusia kekinian yang hidup pada masa dengan bilangan angka yang berjalan maju akan mengasumsikan diri mereka tengah hidup di zaman yang juga bersifat maju. Benarkah seperti itu?

Jelas saya sangat berkecil hati ketika saya harus memproklamirkan diri saya termasuk sebagai manusia yang sedang hidup di zaman yang juga bersifat maju. Alasan saya adalah karena siklus sejarah akan berputar seperti putaran jam yakni akan mengulang kembali ke awal setelah melalui pada titik bilangan tertentu. Hal itu pun berlaku pada putaran siklus alam seperti pergantian hari: pagi-siang-sore-malam—lalu kembali lagi pada pagi-siang-sore-malam. Karena itu saya pun berasumsi siklus zaman pun akan serupa bahwa manusia hari ini tidak mutlak sedang hidup pada zaman yang juga bersifat maju sekalipun bilangan angka kurun waktu yang diketahui terus maju mengikuti bilangan-bilangan angka berikutnya hingga ketak-berhinggaan tersebut.

Pagi ini, saya berdiri di kaki sebuah gunung tertinggi di Sumatera Selatan bernama Dempo. Saya memandangi barisan pegunungan bukit barisan yang memagari wilayah Pagaralam. Seperti yang digambarkan pada peta Pulau Sumatera, Bukit Barisan berderet menyambung dari Sumatera bagian ujung selatan hingga ujung utara Sumatera. Gunung Dempo memang terlepas dari Pegunungan Bukit Barisan, tetapi keberadaannya seakan dikelilingi Pegunungan Bukit Barisan. Saya mengamati bentuk-bentuk Pegunungan Bukit Barisan dari kaki Gunung Dempo tepatnya dari ketinggian sekitar 1200 dpl. Bentuknya beraneka ragam dan membuat saya kagum bukan main ketika melihat banyak yang memiliki bentuk aneh. Sekilas hal itu biasa karena tidak ada yang tidak mungkin dilukiskan alam semesta ini. Alam mampu membuat segala hal yang jauh lebih aneh dari bentuk gunung. Seperti halnya unsur alami yang dibentuk alam terhadap kehidupan ekosistem sekitarnya. Tapi bukan hal keanehan itu yang membuat saya berdecak kagum pagi ini hingga saya merasa menjadi manusia kerdil dengan kebodohan jauh di bawah standar manusia berakal. Melainkan kebrilianan manusia terdahulu yang hidup jauh sebelum adanya jejaring sosial FACEBOOK atau teknologi telepon genggam berlabelkan Smart Phone.

Hari ini kita masih bisa melihat BOROBUDUR sebagai bukti kebrilianan manusia terdahulu. Usia bangunan Borobudur tidak hanya setahun atau puluhan tahun juga tidak sekali atau dua kali dihantam bencana alam. Namun kita masih melihat bangunan itu berdiri kokoh di tengah hutan Pulau Jawa (red: kondisi alam pertama ditemukan). Maka coba bandingkan dengan jembatan yang dibangun di Tenggarong, Kalimantan Timur. Pernahkah kita terpikir bagaimana manusia terdahulu membangun bangunan sekokoh Borobudur di tengah hutan belantara tanpa kendaraan alat berat dan mungkin juga tanpa ada helikopter untuk medan alam pegunungan. Akal saya benar-benar tidak sampai ke sana sehingga saya hanya mampu berkata “SALUT”.

Mungkin alasan tidak sampainya kita kepada pola pikir manusia terdahulu, maka manusia hari ini akan mengatakan dengan pasti bahwa pembangunan Borobudur dilakukan secara irasional alias menggunakan ilmu gaib dan atau menggunakan bantuan tenaga jin, makhluk gaib yang dikenal manusia hari ini dapat melakukan semua hal yang irasional. Maka dari sini kita bisa melihat keterbatasan pola pikir manusia hari ini selalu dibelokan dengan ilmu mitos atau mitologi sebagai jawaban singkat untuk mengakhiri peringatan eksistensi manusia hari ini yang disebutkan sebagai manusia yang hidup di zaman yang juga bersifat maju berdasarkan bilangan angka yang terus mengikuti angka berikutnya.

Manusia memang makhluk yang sombong. Hari ini kita bisa melihat dengan jelas kesombongan itu. Sekalipun manusia diciptakan sempurna karena memiliki akal, namun hal itu tidak membenarkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang selalu benar. Kesombongan terlahir dari kealpaan manusia untuk bersyukur. Karenanya proses pembelajaran tidak lagi menjadi realisasi bagi manusia hari ini. Mengapa demikian? Karena sudah merupakan formula mutlak dalam proses pembelajaran akan menyertakan labelitas salah dan benar sehingga diperoleh evaluasi untuk sebuah solusi yang harus direalisasikan.

Maka jelaslah bahwa dalam proses pembelajaran membutuhkan dua fase unsur yakni salah dan benar untuk mendapatkan out put yang validitasnya dapat teruji. Hanya saja eksistensi sebagai manusia yang diciptakan sempurna karena dianugerahi akal, kerap kali menjadikan manusia mutlak tidak akan terlepas dari kesombongan. Namun hal itu juga akan menjadi sebuah ancaman yang tak terelakan. Iya. Itu merupakan sebuah ancaman bagi keseimbangan alam semesta. Karena itu manusia diciptakan dengan kodratnya sebagai khalifah di muka bumi yakni sebagai makhluk Allah yang menjaga alam dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Dan secara perumpamaan bahwa telah jelaslah musuh terbesar manusia itu adalah dirinya sendiri yang bernama eksistensi.

Kembali bicara tentang pola pikir manusia terdahulu, perlu dipastikan terlebih dahulu kita telah mampu membunuh eksistensi kita masing-masing sebagai manusia. Pun itu berlaku ketika kita belajar pada sejarah. Masa lampau bukan berarti telah lalu dan kita tak mampu kembali mengalami hal yang sama seperti yang pernah terjadi di masa lampau. Sebaliknya, jika alam semesta dan kehidupan manusia merupakan rangkaian mozaik maka akan ada kemungkinan mutlak untuk kita kembali mengulang kejadian yang sama seperti yang pernah terjadi di masa lampau. Seperti yang kita tahu bahwa siklus alam akan selalu berulang, maka siklus sejarah pun akan berulang. Dan manusia tidak akan pernah bisa melawan alam sehingga tidak akan bisa mencegah segala bencana alam yang akan terjadi. Karena itu guncangan alam atau bencana alam akan terjadi sesuai dengan siklusnya.

Belajar pada sejarah bukan berarti manusia mutlak mampu mencegah bencana alam. Akan tetapi hal itu tetap diperlukan karena dengan begitu manusia bisa menjalani kodratnya sebagai khalifah di muka bumi yakni menjaga alam dari kerusakan. Sekalipun siklus sejarah berlaku berulang namun tidak mutlak melulu bahwa catatan yang dituliskan selalu berlabelkan salah. Jika benar adalah sebuah keharusan untuk mendapatan kebaikan maka mengapa tidak kita tuliskan benar dalam catatan sejarah hari esok. Sekali lagi dengan tegas saya katakan sebuah hal yang berlabelkan benar yang mutlak akan mengisi catatan sejarah hari esok, bukan berlabelkan pembenaran. Karena dengan begitu sejarah tertulis bukan untuk sebuah rekayasa juga bukan untuk sebuah kepentingan.

Jika kita semua telah sepakat dengan reaksi formula yang saya tawarkan, maka kita perlu menilik sejarah tentang dua zaman keemasan yakni Atlantis (berdasarkan pemikiran Plato) dan Sriwijaya (berdasarkan catatan Sejarah Nusantara) sebagai pembelajaran manusia hari ini. Kedua zaman tersebut tercatat runtuh atau bahkan hilang karena faktor alam. Hilangnya kedua zaman keemasan itu merupakan peringatan bagi manusia hari ini. Maka pahamilah mengapa alam harus menghilangkan kedua zaman keemasan itu? Lalu haruskan kesalahan yang sama menjadi catatan sejarah manusia hari ini?

Manusia tidak akan pernah bisa mencegah kehendak alam. Maka kelak pada masanya nanti ketika siklus alam harus menempati atau mengulang keadaan yang sama, manusia hanya bisa mengubah esensi catatan sejarah sebagai evaluasi sejarah kedua zaman keemasan Atlantis dan Sriwijaya. Sehingga tidak lagi ada istilah rekayasa sejarah untuk sebuah kepentingan dan tidak akan terjadi catatan sejarah yang dihilangkan. Maka pada periode zaman setelah tercatat sebagai sejarah manusia hari ini, manusia akan mampu secara mutlak menyandang kodratnya sebagai khalifah di muka bumi. Lalu keseimbangan pun akan tercipta sebagaiman Allah menciptakannya pada awal penciptaan.

***

Pagaralam, 14 July 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun