Sebuah Kajian Teori Ilmiah Sejarah dan Budaya Nusantara
Prolog: Kepunahan manusia memasuki peradaban baru
Akibat letusan Gunung Toba dan Zaman Es berakhir merupakan siklus alam dimana bumi melakukan pembersihan sehingga populasi manusia mengalami kepunahan. Persebaran manusia kembali memasuki zaman baru setelah ditandai dengan bencana alam meletusnya Gunung Toba pada sekitar 75.000 tahun lalu. Pada masa itu terjadilah proses pendinginan aerosol dan dikenal dengan sebutan memasuki Zaman Es (pleistocene) yang kemudian melahirkan dugaan para pakar tentang kondisi alam masa itu: daratan Asia Tenggara dengan Nusantara bagian barat merupakan satu daratan—Kepulauan Papua pun menyatu dengan Australia. Karena itu, pada masa yg sama itulah persebaran manusia lebih mudah dimungkinkan hanya dengan perahu cadik mengingat Laut China Selatan kering bahkan lautan itu menjadi perairan yang dangkal. Maka akibat zaman es, manusia di dunia mulai bergeser dari daerah dingin ke daerah panas untuk menunjang keberlangsungan mereka. Insting. Dan berakhirnya Zaman Es diduga sekitar 20.000-10.000 tahun lalu dengan masa pelelehan yang juga cukup memakan waktu lama, yakni sekitar 6.000 tahun lalu.
Pada masa akhir zaman es dan pasca letusan Gunung Toba serta letusan seluruh gunung api di Sunda Land (Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi) mengakibatkan kondisi alam di tanah ini subur dan memiliki kandungan sumber daya alam yang berlimpah seperti berbagai bahan tambang mineral yang bernilai seperti emas. Maka karena kondisi ini pun manusia mulai menetap di dataran Sunda Land yang tidak lagi menjadi satu daratan yang utuh karena es yang mulai mencair menenggelamkan beberapa pulau. Juga akibat letusan gunung api pun menjadi penyebab tidak lagi utuhnya daratan Sunda Land.
Mulailah dari Kalimantan Dimulai dengan catatan kecil berjudul: Belajar pada Dayak untuk Memahami Alam-Manusia-Tuhan. Sebuah catatan tentang kearifan lokal Bangsa Indonesia yang hampir saja terlupakan karena sebuah kejadian berdarah bernama Tragedi Sampit beberapa tahun lalu. Kejadian yang menggemparkan dunia itu menjadi luka yang tak terobati bagi sekelompok komunal Kalimantan yang dikenal dengan sebutan Dayak oleh Bangsa Kolonial Belanda. Terlepas dari sebuah sebutan komunal Kalimantan, pernahkah terlintas mengapa Bangsa Kolonial Belanda memberikan sebutan Dayak pada mereka? Belanda memang pandai sekali dalam bidang agitasi dan propaganda. Sudah semestinya kita mengakui itu. Mengapa tidak? Sebutan Dayak diberikan karena pengaburan bangsa kolonial Belanda akan kehebatan dan kebesaran komunal Kalimantan. Sama halnya pemberian nama sebutanInlander yang bermakna Budak kepada Pribumi. Pun pemberian sebutan Dayak pada Komunal Kalimantan pun bertujuan sama. Bangsa kolonial Belanda menginjakan kakinya di Tanah Nusantara berbekal akal yang brilian. Bukan hanya sekadar mengeksploitasi sumber daya alam Nusantara, bahkan menjarah ilmu pengetahuan yang diwarisi para leluhur Bangsa Indonesia serta menelanjangi mental penerus Bangsa Indonesia dengan berbagai rangkaian cerita sejarah yang mereka tuliskan tentang para Leluhur Nusantara. Iya, yang lebih telak lagi adalah adanya pembelokan Sejarah Nusantara oleh para Bangsa kolonial Belanda. Mulailah dari sebutan Dayak. Mengapa diberikan nama itu? Terngiang di telinga kita tentang lagu di masa Taman Kanak-Kanak (TK) dulu: "Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung laut Samudera. Tiada takut, tiada gentar. Ombak menerjang, sudah biasa." Hei, itu bukan sekadar lagu isapan jempol! Itu tentang sejarah bibiografi para Leluhur Bangsa Indonesia. Dahulu, pada zaman para Leluhur Bangsa Indonesia, khususnya di Kalimantan, daratan yang banyak memiliki air telah menjadi sebuah kebiasaan bagi anak-anak membuat sebuah kapal layar. Jika dibayangkan pada masa sekarang di Jepang, anak-anak sudah pandai membuat robot, tapi dahulu di Kalimantan anak-anaknya telah pandai membuat kapal layar sendiri. Maka tidak heran, jika anak-anak di Kalimantan yang mulai beranjak besar (ABG) telah mampu mengarungi laut lepas seorang diri dengan kapal layar buatan tangan mereka sendiri. Jangankan laut lepas, pegunungan dan hutan belantara sudah mereka jelajahi dengan berjalan kaki berhari-hari. Mungkin jika kondisi kita terlahir pada kondisi yang sama, maka kita pun akan melakukan hal yang sama. Ini bisa dikatan dengan sebutan tuntutan kebutuhan karena kita hidup tergantung pada alam. Ilmu alam mereka cukup tinggi alias sangat mumpuni karena mereka terkondisikan oleh keadaan alam yang mereka diami. Karena itu mereka mengamati dan mempelajari kondisi dan gejala alam. Desakan karena keadaan alam yang banyak memiliki air memaksa mereka untuk pandai membuat kapal layar sendiri sebagai satu-satunya akses transportasi mereka. Keadaan alam yang banyak memiliki air pun mengondisikan mereka untuk memahami air yang juga merupakan bagian dari alam. Alhasil, tidak salah jika mereka menyebutkan bahwa air merupakan salah satu sumber kehidupan manusia. Pemahaman ini berlaku hingga sekarang. Semisal, para pecinta alam atau surviver akan mendirikan kemah mereka tidak jauh dari air. Bukan hanya menggunakan insting, tapi juga menggunakan akal. Itu adalah cara untuk mereka yang hidup bersingungan langsung dengan alam. Pun begitu upaya mereka harus bertahan hidup menyusuri hutan ke hutan. Lalu upaya berpindah-pindah tempat atau lebih tepatnya adalah proses mengenali dan memahami kondisi dan gejala alam itu kita sebut sekarang catatan sejarah persebaran manusia di Nusantara. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain oleh mereka saat itu bukan tidak ada alasan. Jelas itu wajar sekali jika kita mengingat daratan yang luas semata memandang itu hanyalah hutan belantara sedang jumlah manusia hanya sedikit karena mengalami fase hampir punah disebabkan bencana alam besar: meletusnya seluruh gunung api di daratan Sunda Land yang berada di zonaRing of Fire—penurunan suhu bumi (aerosol) hingga bumi memasuki Zaman Es—melelehnya es karena suhu bumi kembali mulai menghangat. Jadi bisa dibayangkan bagaimana mereka berjuang untuk bertahan hidup masaitu. Puluhan ribu populasi makhluk bumi mengalami kematian ketika bencana alam besar meletusnya gunung api di daratan Sunda Land atau daerah yang termasuk kedalam zona Ring of Fire. Dahsyatnya bencana itu terbukti dengan ditemukannya debu vulkanik di daerah kutub. Begitu besar bencana itu sehingga wajar adanya jika saat itu keberlangsungan manusia terancam hampir punah. Karena itu, yang selamat mulai bergeser ke utara untuk bisa selamat. Tapi selang usai fase bencana alam besar meletusnya gunung api, bumi mengalami penurunan suhu. Kembali makhluk bumi terancam dengan adanya bencana Zaman Es tersebut. Pun mereka kembali bergeser atau berpindah tempat untuk mencari daerah yang hangat. Karena itu mereka kembali ke daerah titik terjadinya bencana alam gunung api. Perpindahan tempat manusia saat itu terus bergulir hingga suhu bumi kembali menghangat atau masa melelehnya es. Pelajaran yang tidak memakan waktu setahun atau dua tahun itu menjadikan manusia saat itu belajar untuk memahami kondisi dan gejala alam. Sekalipun air bisa sangat berbahaya, manusia sebagai makhluk hidup tak bisa memungkiri bahwa mereka tergantung pada air sebagai sumber kehidupan mereka. Karena itu, manusia saat itu akan mulai menetap atau bermukim di suatu daerah yang dekat dengan air. Tepatnya di hulu sungai. Hal itu karena di hulu sungai sudah pasti terdapat mata air yang akan menghindari mereka dari masalah kekeringan air pada masa musim panas tiba. Selain harus di hulu sungai, manusia masa itu akan memilih tempat dataran tinggi. Mengapa demikian? Selain karena daerah itu aman terhindar dari banjir yang disebabkan lelehan es pada masa itu, mereka juga memahami jika air akan mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah. Karena itu, hulu sungai sudah jelas akan berada di daerah dataran lebih tinggi. Maka tidak heran jika mereka akan bermukim di daerah lereng-lereng gunung dan perbukitan. Pola pemilihan tempat bermukim seperti itu juga merupakan cara mutlak yang dipakai manusia di daratan Kalimantan sejak dulu hingga sekarang: menempati hulu sungai dan lereng-lereng gunung serta perbukitan. Lahirnya Budaya Ketergantungan para Leluhur Bangsa Indonesia akan alam mengkondisikan mereka untuk lebih memahami alam dengan benar. Karena itu kita mengenal daftar aturan yang kemudian dilegalkan melalui kesepakatan musyawarah komunal dengan sebutan Adat. Aturan itu hukumnya saklek atau mutlak. Hal itu dibuat karena para Leluhur Bangsa Indonesia telah mempelajari dan memahami alam dengan benar. Bukankah hukum mutlak akan berlaku jika ada faktor ketergantungan? Manusia dan alam tidak dapat terpisahkan. Keduanya saling berhubungan.Tetapi faktor ketergantungan hanya berlaku pada manusia. Artinya, keberadaan alam tidak tergantung pada manusia. Hal itu dikarenakan keberlangsungan alam tidak memberikan dampak yang menguntungkan bagi alam itu sendiri. Sebaliknya, keberlangsungan alam akan menjadi dampak yang berarti bagi manusia. Dan dengan alasan itu alam diciptakan oleh Allah untuk manusia. Allah Maha Mengetahui, sehingga Dia ciptakan alam beserta isinya lebih dulu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Berdasarkan pemahaman itu, para Leluhur Bangsa Indonesia mempelajari alam semesta agar diketahui cara bagaimana menjaga alam demi keberlangsungan manusia. Para Leluhur Bangsa Indonesia telah memikirkan keberlangsungan manusia karena mengingat alam tetap pada bilangan konstan memenuhi angka sempurna. Sedangkan bilangan manusia tidak dapat dikatakan konstan karena terus bertambah, maka kebutuhan manusia akan alam pun akan bertambah. Karena itu akan ada kondisi dimana ketidak-seimbangan alam semesta akan terjadi. Pun keharusan menjaga keseimbangan alam agar tetap pada angka sempurna wajib diberlakukan dalam aturan adat oleh para Leluhur Bangsa Indonesia. Menjaga keseimbangan alam, maka sudah mutlak diperlukan upaya menjaga keseimbangan manusia dengan manusia. Maka para Leluhur pun memberlakukan aturan keluarga. Aturan keluarga dimulai dari sebuah rasa kebersamaan dalam suatu kondisi yang sama yakni sama-sama membutuhkan alam. Maka keseimbangan kebutuhan sesama manusia dengan alam diatur secara kebersamaan bernama keluarga. Di Kalimantan mengenal sebuah tempat bernaung dengan sebutan Rumah Betang. Filosofi Rumah Betang yang bermakna pesan moral ’kebersamaan’ itu melahirkan keluarga. Hal itu pula digambarkan oleh bangunan Rumah Betang yang tidak memiliki ruang bilik atau kamar-kamar. Dan biasanya Rumah Betang ini dihuni oleh 5 sampai 7 kepala keluarga. Bisa terbayang kebersamaan seperti apa yang tercipta dalam satu atap Rumah Betang itu?! Kebersaman dan persatuan telah menjadi sifat dan implementasi kehidupan para Leluhur Bangsa Indonesia. Melihat bentuk bangunan Rumah Betang di Kalimantan yang dahulu bernama Tanjung Nagara. Dan memiliki arti daratan yang banyak memiliki air sudah barang tentu bangunan rumah akan dibuat panggung atau berkaki untuk menghindari luapan air. Selain untuk menghindari luapan air, alasan mengapa bangunan Rumah Betang dibuat pangung atau berkaki tinggi hingga mencapai 5 meter lebih itu adalah untuk menghindari ancaman binatang buas seperti babi hutan, dan binatang buas lainnya. Juga menghindarikemungkinan ancaman dari perompak atau kelompok orang yang bisa saja merenggutjiwa penghuni atau anggota keluarga. Selain itu, tangga Rumah Betang yang bisa dilepas dan dipasang pun merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya ancaman dari luar. Dan bicara ancaman dari luar terhadap anggota keluarga pun berkaitan dengan alasan mengapa Rumah Betang tidak memiliki bilik-bilik kamar. Rupanya hal iniuntuk memudahkan Kepala Keluarga menjaga atau memantau jumlah penghuni Rumah Betang yang bisa mencapai tujuh kepala keluarga itu. Aturan yang berlaku itu diwariskan secara turun temurun yang manusia kekinian mengenalnya dengan nama Budaya. Maka kita bisa melihat bagaimana para Leluhur Bangsa Indonesia berpikir keras untuk menjaga keseimbangan alam semesta dengan menetapkannya berbagai aturan yang bersifat sakral atau tidak boleh dilanggar. Karena sudah jelas jika ada yang melanggar maka hal itu akan merusak keseimbangan alam semesta dan akan berdampak pada keberlangsungan manusia. Namun dengan adanya persebaran manusia di Nusantara, aturan sakral bernama budaya tadi mengalami perubahan. Mengapa demikian? Jika kita sudah memahami alasan mengapa para Leluhur Bangsa Indonesia membuat aturan sebagai upaya menjaga keseimbangan alam semesta maka kita akanmengerti mengapa Budaya awal yang dibawa para Leluhur Bangsa Indonesia dari daratan Kalimantan harus mengalami perubahan. Kondisi alam. Iya. Alasannya karena adanya perbedaan pada kondisi alam. Ketika para Leluhur Bangsa Indonesia menginjakan kakinya di daratan Sunda dan Sumatera atau Melayu, maka jelas pola pikir manusia yang harus dirubah—bukan kondisi alam setempat yang harus mengalami perubahan—atau diubah paksa. Kembali cara yang sama pun dilakukan: memahami kondisi dan gejala alam setempat. Setelah itu akan dilakukan kolaborasi budaya yang dibawa semula atau membuang beberapa aturan yang tidak sesuai karena faktor ketidak-cocokan dengan kondisi dan gejala alam setempat. Dari cara itu, maka lahirlah aturan baru untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Karena itu kita melihat Nusantara kini terkenal memiliki banyak budaya. Sekali lagi, kita harus sangat berterimakasih pada para Leluhur Bangsa Indonesia yang membangun Nusantara dengan cara mereka yang arif dan bijaksana lagi sangat brilian: sejatinya manusia. Budaya lalu Agama Jika dengan pemikiran awam atau terlepas pemahaman kita akan Al-Quran sebagai pedoman atau aturan kehidupan karena mengingat para Leluhur Bangsa Indonesia terlahir jauh sebelum Al-Quran diturunkan (sebelum Nabi Muhammad SAW lahir: abad ke 7 Masehi), dapat kita tarik benang merah tentang dari mana sebuah aturan kelembagaan manusia bahkan aturan kehidupan berasal. Sungguh beruntung kita yang disebut sebagai manusia kekinian karena terlahir setelah Allah menurunkan Al-Quran. Pasalnya kita tak perlu lagi berpikir keras mempelajari alam semesta guna melahirkan sebuah aturan untuk menjaga keseimbangan alam semesta agar tetap terciptanya keberlangsungan manusia. Karena hal itu telah dituliskan Allah dalam QS. Ibrahim, 14:1—Alif Lam Ra. (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji. Begitu juga Allah tuliskan tujuan Kitab Allah diturunkan dalam QS. AlMu’min 40:54—untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir. Karena itu berarti tidak serta-merta manusia kekinian tak lagi harus berpikir tentang bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia itu sendiri. Itu pula alasan mengapa Allah memberikan akal kepada manusia sebagai makhluknya yang sempurna dari makhluk ciptaan Allah yang lain. Pun itu alasan mengapa Allah menyematkan kodrat manusia sebagai Khalifah di muka bumi yakni menjaga bumi dari kerusakan yang sekali pun juga ada kerusakan disebabkan dari golongan manusia itu sendiri. Sebagian orang berpikir: Allah sudah menciptakan alam semesta dalam keseimbangan. Tapi semua itu tetap akan binasa pada waktunya. Jadi kenapa harus takut ketika alam semesta tidak lagi seimbang dan mendapati kehancuran itu sendiri. Dan itu kebanyakan manusia kekinian berpikir seperti itu. Maka tidak heran jika kasus korupsi dimana-mana, pembalakan hutan habis-habisan, ekosistem hutan hancur dan mengalami kepunahan, sumber daya alam dieksploitasi gila-gilaan hingga meyisakan bukti nyata semburan lumpur Sidoarjo, Jawa Timur yang tidak berhenti hingga saat ini. Kita harus sadar, ketidak-seimbangan alam semesta itu sudah terjadi. Dari kondisi dan gejala alam yang kita rasa hingga kondisi sosial masyarakat yang terjadi saat ini. Para Leluhur Bangsa Indonesia telah mengupayakan cara bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta sebagaimana kodrat manusia itu sendiri sebagai penjaga bumi dari kerusakan sejak dulu dan telah menjadi ilmu tinggi yang diwarisi dan dikemas dengan nama Budaya. Jika kita berpikir bahwa Kitab Allah diciptakan dan diturunkan sebagai peringatan maka sudah jelas bahwa Budaya lahir lebih dulu. Karena itu Kitab Allah diciptakan dan diturunkan dengan tujuan sebagai peringatan manusia yang berpikir. Dan itu sangat jelas dituliskan Allah pada QS: Ar Rahman. Lantas mengapa kita memperdebatkan sebuah paham atau konsep ini salah dan itu benar? Seperti halnya Komunal Kalimantan yang dikenal hingga kini merupakan penganut Animisme menjadikan pemahaman masyarakat umum bahwa mereka tidak mempercayai adanya Tuhan. Karena itu sebuah paradigma Komunal Kalimantan menjadi lebih ke arah mistis atau dengan kata lain menyeramkan karena lebih mempercayai roh-roh yang sudah mati atau yang biasa digeneralkan dengan sebutan hantu atau setan. Kecenderungan perubahan paradigma ini lahir karena lahirnya labelitas aturan dengan sebutan Agama. Karena dituliskan dalam Kitab Suci Agama bahwa Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Lantas mari kita berpikir sebagai manusia sebelum labelitas aturan dengan sebutan Agama lahir atau sebelum Allah menurunkan Al Quran, 14 abad lalu. Kemudian mari kita pikirkan mengapa para Leluhur Bangsa Indonesia yang menginjakan kakinya di Kalimantan menggunakan paham atau aturan mempercayai bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa. Ini bukan tentang pemahaman menuhankan roh atau benda-benda, melainkan sebuah bentuk implementasi penghargaan manusia terhadap alam. Ini juga salah satu bentuk upaya menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia. Manusia yang diciptakan dengan akal memiliki hati yang welas asih atau penyayang yang terlahir dari rasa kebersamaan atau tepatnya lahir dari kehidupan yang berdasarkan pada azas kekeluargaan. Menjaga adalah bentuk menghargai. Maka menjadikan pemahaman bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa tidak melulu tidak mempercayai adanya Tuhan yang menciptakan. Lantas bagaimana pandangan manusia kekinian akan kepercayaan Komunal Kalimantan dengan adanya Ranying Hattalalangit (Tuhan Yang Maha Tunggal) yang memiliki sifat di antaranya Maha Pencipta dan Maha Penyayang. Kepercayaan itu sangat jelas dipegang teguh oleh Komunal Kalimantan dalam suatu aturan adat bernama Kaharingan (Kehidupan). Maka telah jelas, para Leluhur Bangsa Indonesia, khususnya Komunal Kalimantan jauh sebelum datangnya Bangsa Kolonial Belanda telah memahami Ilmu Tauhid dan Makrifat. Maka dari kepingan pemahaman yang didapat dari tanah Kalimantan yang semula bernamaTajung Nagara (daratan yang memiliki aliran air) itu, aku dihadapkan dengan berbagai pola-pola tentang bagaimana Nusantara terbentuk, bagaimana persebaran manusia dan aturan hidup menjadi sebuah budaya yang luhur hingga menghantarkan Nusantara mencapai masa kegemilangannya menjadi Mercusuar Dunia pada masa Abad ke 7 Masehi. Dari berbagai pola yang ditemukan: tidak ada satu pun cerita yang mengarah pada penjelasan perpecahan karena masalah perebutan kekuasan antar keluarga. Sekali lagi, Bangsa Kolonial Belanda sangat pandai dalam agitasi dan propaganda memecah-belah persatuan Nusantara dalam politiknya yang bernama Devide et Empire. Jangan Terprovokasi karena Kesukuan dan Konsep Aturan Hidup Realita mencatatkan rangkaian Sejarah Nusantara pasca hadirnya Bangsa Kolonial Belanda: perang saudara karena Kesukuan dan Konsep Aturan Hidup yang kini dilabelitaskan dengan sebutan Agama. Tragedi Sampit merupakan pelajaran hidup Bangsa Indonesia yang cukup membekas sebagai peringatan bagi manusia yang berpikir. Sudah semestinya kita berpikir mengapa harus ada kesukuan bagi manusia Nusantara yang mendiami daratan atau pulau tertentu. Padahal budaya luhur yang diwarisi para Leluhur Bangsa Indonesia jelas berasal dari akar pohon yang sama. Hakikat perbedaan bukan pada budaya melainkan kondisi alam yang kita diami atau tempati. Faktor itu yang kemudian melahirkan perubahan pada budaya yang dibawa dalam persebaran manusia di Nusantara. Catatan lain adalah Tragedi Poso. Perang saudara karena perbedaan konsep aturan hidup yang melatar-belakangi peristiwa ini. Jika para Leluhur Bangsa Indonesia mengajarkan bahwa Tuhan Maha Tunggal maka konsep apa pun itu tidak akan menjadi perdebatan yang meruncing pada pecahnya perang saudara. Karena konsep apa pun itu: Tuhan Yang Maha Tunggal hanya akan mengajak manusia untuk menerapkan prilaku benar. Yakni menjaga bumi dari kerusakan sebagaimana Tuhan telah menetapkan kodrat makhluk golongan manusia sebagai Khalifah di muka bumi. Istilah menjaga bumi dari kerusakan maka sudah mutlak tidak akan mengajak manusia untuk berperang dengan keluarganya sendiri karena itu akan menyebabkan ketidak-seimbangan alam semesta yang berdampak pada keberlangsungan manusia. Maka jika budaya Nusantara berasal dari akar pohon yang sama dan konsep aturan hidup semuanya tentang bagaimana Tuhan Yang Maha Tungal mengajarkan manusia untuk hidup yang benar, mengapa kita masih mudah terprovokasi untuk memilah melepaskan mandau, keris, parang, pedang, golok, atau senapan dari sarungnya untuk membasahi Tanah Nusantara dengan darah keluarga kita sendiri? Jadi berhentilah memperpanjang perdebatan bahwa suku A lebih benar atau lebih tua dari Suku B atau Suku Z. Dan atau perdebatan soal konsep aturan hidup 1 lebih benar dari konsep aturan hidup 2. Nusantara Satu menaungi banyak alam yang berbeda dengan budaya yang berasal dari akar pohon yang sama yakni aturan adat tentang bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia. Sedangkan aturan adat yang dibuat oleh para Leluhur Bangsa Indonesia tidak terlepas dari pemahaman mereka akan alam semesta dan Penciptanya Yang Maha Tunggal. Terkhususkan soal pemahaman para Leluhur Bangsa Indonesia yang mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal perlu dipahami dengan benar. Penyebutan paham ini acap kali berbeda di setiap daratan karena adanya perubahan budaya yang disebabkan kondisi dan gejala alam yang berbeda. Namun perbedaan ini menjadi suatu pemahaman yang general oleh kolonial bangsa Belanda. Kekurangan informasi karena kondisi dan gejala alam yang berbeda di Belanda dengan di Nusantara yang menyebabkan pola pikir pemahaman Bangsa Kolonial Belanda seperti ini. Alhasil penyebutan dan cara yang berbeda digeneralkan oleh Bangsa Kolonial Belanda dengan sebutan Agama. Mengapa demikian? Karena Bangsa Kolonial Belanda tidak melewati fase awal lahirnya budaya. Mereka terlahir saat pemahaman Agama sudah lahir dan jauh sesudah Budaya mengalami banyak perubahan. Karena itu juga mengapa masyarakat Indonesia harus berbangga hati sebagai bangsa yang memiliki budaya. Jelas sekali bukan? Karena bangsa lain tidak memiliki budaya. Pemahaman mereka tentang alam semesta lahir setelah labelitas Agama lahir. Karena itu, mereka tidak mampu memahami benar bagaimana formula menjaga keseimbangan alam semesta yang dikemas dalam aturan adat bernama budaya. Kecuali jika mereka adalah manusia berpikir. Pemahaman Bangsa Kolonial Belanda yang minim itu yang kemudian menjadikan ambigu di kalangan masyarakat Indonesia. Pemahaman Bangsa Kolonial Belanda tentang ketatanegaraan atau pemerintahan Nusantara dari catatan Sejarah Nusantara diperoleh bahwa sistem pemerintahan Nusantara dipengaruhi oleh keyakinan yang dipegang saat itu yang notabene dimaksudkan oleh mereka sebagai agama ini maka lahirlah penyebutan-penyebutan untuk setiap keyakinan yang ada: Hindu Syiwa, Budha Mahayana, dan lainnya. Sekali lagi masih berdasarkan pemahaman Bangsa Kolonial Belanda tentang itu semua, mereka menjadikan pemahaman itu sebagai dasar memilah politik perang mereka untuk melakukan ekspansi ke Nusantara. Rangkaian itu masih melekat kuat pada pola pikir masyarakat Indonesia hingga saat ini. Sekali lagi, kecuali jika mereka adalah manusia berpikir. Luruskan Sejarah Nusantara "Luruskan sejarah!" pekik kebanyakan orang hari ini. Mengapa pernyataan itu harus dibuat? Haruskan ada upaya untuk meluruskan sejarah? Khususnya catatan perjalanan panjang Sejarah Nusantara. Bagaimana meluruskannya? Kita hanya bisa saling berpandangan dalam sebuah ruang bernama kolom opini. Lantas perdebatan panjang dari semua institusi akan mengusik eksistensi masing-masing dalam ruang itu. Kemudian akan ada sebuah pertanyaan di antara banyaknya pertanyaan: untuk apa kita memperdebatkan itu semua? Beberapa media jelas telah membuat kondisi perdebatan itu menjadi ramai. Provokasi kewenangan antar daerah semakin meruncing. Wayah-wayah, isu kesukuan kembali terangkat. Bukankah sudah cukup Bangsa Asing dengan terang-terangan menjajah bangsa ini? Kenapa kita masih terbuai dalam cengkrama itu? Dan bukankah negeri ini sudah jelas-jelas merdeka sebelum kolonial Bangsa Asing datang menjajah dan mengeksploitasi tanah ini? Kenapa dan Mengapa lantas apa yang selalu membuat kita berkutat pada eksistensi masing-masing? Bukankah kita semua satu keluarga? Satu atap bernama Nusantara? Untuk apa Soekarno kembali mengangkat Sumpah Palapa Gajahmada? Iya. Dari pembelajaran itu kita bisa melihat, musuh bangsa ini adalah eksistensi kita masing-masing. Karena itu juga kita harus membuka mata dan memahami kembali hakikat keluarga dan persatuan. Kenapa masyarakat Nusantara harus bersatu dalam bendera Merah-Putih bernama Indonesia? Kenapa Soekarno banyak meninggalkan pesan singkat yang sangat tersirat? Emas batangan yang disebut-sebut sebagai harta karun Soekarno dengan cap segel Garuda-Bank Swiss menjadi salah satu clue yang dititipkannya. Tapi eksistensi privatisasi telah menjadi bagian dari sisi manusia hari ini bahkan di masa lalu. Ini permasalahan klasik! Kenapa kita masih berkutat dalam ranah itu semua. Terkadang, sesekali kita harus berlari keluar lingkaran untuk menganalisa sebuah permasalahan yang konteksnya sudah melebar. Sejarah adalah wacana tentang masa lalu yang siapa pun tidak bisa membenarkannya secara pasti. Karena itu kita hanya bisa menduga-duga. Tapi dari dugaan yang dikeluarkan, jelas tidak harus menjadi perdebatan panjang. Atau bahkan keluar dari konteks wacana. Siapa pun berhak atas pemikirannya. Namun, kita semua tahu bahwa praduga yang dikeluarkan harus bertujuan menghasilkan solusi bukan menjadi pemicu lahirnya permasalahan baru yakni perpecahan. Kita belajar pada sejarah bertujuan untuk menanggulangi kesalahan sejarah manusia di masa lalu. Ingat: Menanggulangi kesalahan sejarah manusia di masa lalu bukan Mengulangi kesalahan sejarah manusia di masa lalu. Mengapa Harus Sriwijaya? Maka jawabannya adalah karena Kejayaan Sriwijaya, Kegemilangan Nusantara. Sejarah mencatat Sriwijaya merupakan kerajaan maritim terbesar pada abad ke 7 M. Pada masa itu juga Sriwijaya tengah mencapai kejayaannya di bawah pimpinan raja yang dikenal dengan sebutan Balaputera Dewa. Masih berdasar bunyi catatan sejarah yang tertulis di buku pelajaran sejarah di sekolah, Balaputera Dewa merupakan raja yang berasal dari tanah Jawa atau tepatnya dari Kerajaan Bhumi Sambhara. Ia merupakan anak kedua dari pernikahan Samaratungga yang adalah keturunan Kerajaan Bhumi Sambhara, Kalingga bagian selatan dengan Dewi Tara yang merupakan Putri Mahkota Kerajaan Sriwijaya. Kakak Balaputera Dewa bernama Pramodhawardhani yang kemudian menikah dengan Rakai Pikatan atau anak dari Raja Sanjaya dari Kerajaan Bhumi Mataram, Kalingga bagian utara. Kemudian catatan sejarah kembali menuliskan bahwa kakak beradik tersebut berperang karena saling memperebutkan area kekuasaan yang notabene adalah tahta kerajaan. Sehingga sejarah menyebutkan Balaputera Dewa kalah melawan kakaknya dan terpaksa mengungsi ke tanah Sumatera. Seperti itu sejarah mencatat hingga kita meyakini kebenaran itu sampai sekarang. Karena dari catatan itu yang kemudian menjadi alasan mengapa Kerajaan Majapahit yang merupakan turunan dari Kerajaan Bhumi Mataram melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Sriwijaya. Pun kita meyakini bahwa keruntuhan Sriwijaya disebabkan kalah berperang dengan Kerajaan Majapahit. Benarkah demikian? Mari kita luruskan catatan sejarah ini dengan berbagai fakta rangkaian kurun waktu dan kepingan catatan yang ada maupun yang sengaja dihilangkan. Apakah mungkin kakak beradik berperang hanya karena sebatas tahta kerajaan dan area kekuasaan? Padahal mereka hanya berdua dan keduanya merupakan dari orangtua yang sama-sama memiliki peran penting atau memiliki tampu kerajaan. Iya. Pernikahan para raja dan putri pada masa itu berarti jelas merupakan pernikahan antar dua kerajaan. Maka jika keduanya sama-sama memiliki kekuasaan lantas untuk apa mereka berdua harus berebut tahta kerajaan dan area kekuasaan? Selain itu pernikahan antar dua kerajaan juga memiliki tujuan untuk menyatukan kekuatan supaya menjadi lebih kuat bukan untuk melemahkan kekuatan dengan adanya perpecahan. Mari kita pikirkan bagaimana kondisi saat itu. Maka kita akan berpikir dan jelas akan berasumsi: itu sangat tidak mungkin. Kemudian tentang catatan sejarah masa kejayaan dan kegemilangan. Kurun waktu masa kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya tertulis pada abad ke 7 M. Sedangkan catatan lain pun menuliskan pada masa pemerintahan Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan merupakan masa kejayaan dan kegemilangan karena bersatunya dua wangsa yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Jika misinya penyatuan, lantas mengapa pula Pramodhawrdhani dan Rakai Pikatan melakukan peperangan dengan adik kandungnya sendiri? Jika penggabungan tiga kerajaan bisa lebih kuat mengapa mereka berjuang hanya untuk menggabungkan dua kerajaan? Maka jika kita kembali berpikir dengan sederahan, akan jelas lahir asumsi adanya perperangan saudara antara Pramodhawardhani dengan Balaputera Dewa sangat jelas tidak mungkin terjadi. Namun yang ada adalah pembagian kerjasama area kekuasaan. Jika asumsi kita adalah adanya pembagian kerjasama area kekuasaan maka jelas akan menemukan titik temu yang sinkron dengan catatan sejarah Nusantara yang sempat mengalami masa kejayaan dimana saat itu Sriwijaya berhasil menjadi pusat perdagangan dunia. Dan artinya, kejayaan yang diraih oleh Sriwijaya bukan karena upaya mutlak karena kekuatan satu kerajaan. Pasalnya jika Sriwijaya menjadi sebuah pusat perdagangan dunia masa itu, lantas apa yang menjadi magnet daya tarik dunia berpusat ke Sriwijaya? Jika kita beranalogi sistem pasar saat ini: orang akan berduyung-duyung mendatangi sebuah toko karena toko tersebut menjual segala kebutuhan yang kita perlukan. Itu berarti toko tersebut memiliki barang siap jual dan barang tersebut merupakan barang yang dibutuhkan banyak orang. Maka sudah pasti pada masa itu pula Sriwijaya berhasil menjadi pusat perdagangan dunia karena memiliki barang yang siap jual yakni barang yang bersifat dapat memenuhi kebutuhan manusia masa itu. Dan bicara barang yang bersifat dapat memenuhi kebutuhan manusia, berati barang tersebut tidak akan jauh dari makna sumber ketahanan pangan. Maka bila kita berasumsi bahwa barang itu berhubungan dengan fungsinya sebagai ketahanan pangan, sudahjelas pula barang itu merupakan yang dihasilkan dari daerah agraris. Pada masa Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dunia, Pramodhawardhani, kakak kandung Balaputera Dewa dalam catatan sejarah Nusantara tertulis mengalami masa kejayaan dan kegemilangan karena penyatuan dua wangsa. Tapi benarkah hanya karena penyatuan dua wangsa lantas dapat dikatakan jaya dan gemilang? Pemahaman penyebutan mengalami masa kejayaan dan kegemilangan jelas harus memiliki parameter. Maka parameter tersebut harus berhubungan dengan suatu kondisi atau keadaan masyarakat masa itu. Karena kejayaan dan kegemilangan sebuah pemerintahan atau suatu masa jelas akan berhubungan dengan gambaran kondisi dan keadaan rakyatnya. Itu berarti penilaian jaya dan gemilang yang disandang pada masa pemerintahan Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan diperoleh dari gambaran kondisi dan keadaan rakyatnya yang sejahtera. Lagi-lagi jika bicara kesejahteraan rakyat maka jelas akan berhubungan dengan bagaimana mampu menyelesaikan permasalah ketahanan pangan. Dan jika melihat geografis daratan Jawa yang hingga sekarang dikenal sebagai pulau agraris maka kita akan menarik benang merah untuk sebuah asumsi bahwa pada masa pemerintahan mereka, permasalahan krisis pangan dapat terselesaikan. Dan untuk mencapai sebutan gemilang pada masa itu pun bukan berarti hanya mampu mencukupi dan memenuhi kebutuhan pangan untuk rakyatnya sendiri melainkan juga mampu menjadi pemasok pangan untuk rakyat di luar area kekuasaan mereka. Itu juga berarti, pada masa itu Pramodhawardhani, kakak Balaputera Dewa merupakan salah satu bagian penting yang menjadikan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dunia masa itu yakni menyiapkan barang siap jual yang dibutuhkan manusia masa itu. Keberhasilan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dunia masa itu bukan hanya karena menjual segala macam kebutuhan yang berhubungan dengan ketahanan pangan, tetapi kebutuhan lainnya yang juga bersifat vital seperti barang yang memenuhi kebutuhan di bidang pengobatan dan kimia farmasi. Pun seperti yang tercatatat, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dunia karena pada masa itu Sriwijayamerupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, budaya dan teknologi termasuk juga di dalamnya tentang ilmu pelayaran dan ilmu ketatanegaraan atau pemerintahan. Hal itu juga didukung oleh faktor alam atau kondisi geografis Sriwijaya yang dituliskan sebagai tanah yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah di bidang tambang seperti emas. Karena hal itu pula Sriwijaya yang lokasinya berada di daratan Sumatera dikenal juga dengan sebutan Pulau Emas atau Swarnadwipa. Maka dari pandangan tersebut, kita akan berasumsi sama bahwa Sriwijaya bukan hanya sebuah catatan tentang sejarah kerajaan maritim terbesar yang sempat berjaya hingga mencapai masa kegemilangan melainkan Sriwijaya bisa diartikan lebih luas lagi yakni sebagai sebuah masa atau zaman dimana Nusantara mengalami masa kejayaannya hinga mencapai kegemilangan karena telah mampu menjadi magnet bumi atau Mercusuar Dunia. Dan dari asumsi itu, maka kita akan mendapati alasan mengapa harus Sriwijaya. Sehingga hal itu pula yang mengharuskan kita kembali berupaya untuk mengungkap sejarah Sriwijaya yang hingga kini sejarahnya pun masih tercatat simpang-siur. Karena telah kita ketahui setelah masuknya masa penjajahan khususnya oleh Bangsa Kolonial Belanda, banyak sekali catatan sejarah Nusantara yang dibelokan bahkan sengaja dihilangkan demi kepentingan tertentu sebagai upaya strategi politik perang penjajah maupun sebagai upaya untuk kepentingan politik pribadi juga kedaerahan tertentu. Sekalipun rangkaian panjang upaya pembelokan sejarah bahkan juga ada catatan sejarah Nusantara yang sengaja dihilangkan masih dilakukan hingga sekarang, namun hal itu jelas tidak terlepas dari upaya penanaman pemahaman pada masa penjajahan yang tepatnya dilakukan oleh Bangsa Kolonial Belanda bernama politik Devide et Empire. Upaya mengungkap sejarah Sriwijaya yang berarti tentang sebuah masa atau zaman kejayaan Nusantara hingga mencapai kegemilangan juga bertujuan sebagai wacana pembelajaran Bangsa Indonesia guna memperoleh sebuah solusi konkret bagi Bangsa Indonesia dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi sekarang ini. Karena itu pula diperlukan adanya Kilas Balik Budaya dan Sejarah Sriwijaya untuk Satu Nusantara dalam mewujudkan kembali masa kejayaan hingga mencapai kegemilangan seperti yang pernah sejarah tuliskan. Dan jika kita memahami rangkaian penjelasan di atas, maka sudah jelas bahwa fase siklus alam bersifat berulang seperti halnya sifat putaran jam yang akan kembali berulang menempati angka-angka yang sama. Maka dengan pemahaman akan fase siklus alam yang bersifat berulang itu, Indonesia memiliki kemungkinan untuk kembali menuliskan sejarah yang sama yakni menjadi negeri yang berjaya dan mencapai kegemilangan karena mampu menjadi magnet bumi atauMercusuar Dunia. Namun kemungkinan itu hanya akan dapat terwujud jika Bangsa Indonesia mampu menciptakan kondisi dan keadaan serupa yang diciptakan pada zaman Sriwijaya. Khususnya terciptanya kondisi dan keadaan dimana rakyatnya sejahtera. Sedangkan untuk menciptakan sebuah negeri dengan kondisi dan keadaan rakyatnya sejahtera dibutuhkan manusia-manusia yang sadar akan sifat dasar persatuan yang terlahir dari rasa kebersamaan satu keluarga yang rumahnya bernama Nusantara, yang negerinya bernama Indonesia, dan yang tidak melupakan sejarah bangsanya: mau belajar dari sejarah—Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang unggul—memiliki budaya luhur yang diwarisi oleh para Leluhur Bangsa Indonesia. Dimana Bangunan Pusat Pemerintahan Sriwijaya yang Hilang? Hipotesa awal yang digunakan merujuk pada persebaran manusia di Nusantara dimulai. Melihat pola hidup manusia di Kalimantan yang bergantung pada alam hingga menemukan sebuah formula reaksi tentang bagaimana menjaga keseimbangan alam, dapat diketahui bahwa syarat memilih lokasi sebagai pemukiman atau bertempat tinggal adalah harus di dataran tinggi dan dekat dengan hulu sungai. Kedua syarat tersebut bersifat mutlak bagi mereka karena mengingat pengalaman mereka yang sebelumnya telah mengalami beberapa kali fase kondisi dan gejala alam. Lalu kaitkan dengan referensi JSG Grambreg, seorang Pegawai Hindia Belanda pada 1865 yang menuliskan hasil investigasinya dalam menyelami peta zaman kejayaan Nusantara. "Barang siapa yang mendaki Bukit Barisan dari arah Bengkulu. Kemudian menjejakan kaki di tanah kerajaan Palembang (sebutan Belanda untuk Sriwijaya) yang begitu luas; dan barang siapa yang melangkahkan kakinya dari arah utara Ampat Lawang (Negeri Empat Gerbang) menujuke dataran Lintang yang indah sehingga ia menapaki kaki sebelah barat Gunung Dempo. Maka sudah pastilah ia di negeri orang Basemah. Jika ia berjalan mengelilingi kaki gunung berapi itu, maka akan tibalah ia di sisi timur dataran tinggi yang luas yang menikung agak ke arah tenggara dan jika dari situ ia berjalan terus lebih kearah timur lagi hingga dataran tinggi itu berakhir pada sederetan pegunungan tempat, dari sisi itu, terbentuk pembatasan alami antara negeri Basemah yang merdeka dan wilayah kekuasaan Hindia Belanda."
"Maka kita akan mendapatkan titik koordinat -4.004574°.103.093732°. Carilah atau hanya cukup menunggu sambil duduk manis di teras beranda hingga waktunya tiba."
*** Palembang, Agustus 2013 [caption id="attachment_270899" align="alignleft" width="300" caption="Segitiga Konsentris Nusantara"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!