by Devi Afifa Rahma
Berawal saat kepindahanku di suatu sekolah elit di kota ini . Kepindahanku ini bukan karena aku tidak naik kelas karena aku termasuk anak yang cukup pintar di sekolah yang dulu ataupun orang tuaku yang memiliki pekerjaan yang berpindah-pindah kota sehingga aku turut mengikuti kemana mereka pindah . Lalu apa ? Kedua orang tuaku meninggal pada kecelakaan mengerikan dan hanya aku yang selamat . Dan sekarang aku diasuh oleh paman dari ibuku dan menyekolahkanku di sekolah ini . Aku terus berjalan menikmati teduhnya pohon-pohon beringin yang tumbuh di sekeliling lapangan . Mungkin memang ini takdir yang Tuhan tuahkan . Dan aku tak bisa berbuat apa-apa . Menangis pun bukanlah jalan satu-satunya masalah yang mengendap di otakku ini lenyap . Hanya sebagai pelampiasan yang membuang tenaga. Jadi kuputuskan untuk memulai semuanya dari awal . Walau masih ada luka ya biarkan itu sebagai hiasan yang gagal terbentuk . sampai kakiku terhenti di ujung sekolah . Aku berhenti bukan karena jalan setapak yang sudah kulewati telah berhenti di gerbang sekolah sehingga aku tak mungkin keluar sekolah karena gerbang ditutup sampai pulang sekolah tiba. Namun saat baru kusadari ada toko bunga di depan sekolah . Dan bukan itu yang memenuhi rasa penasaranku melainkan pelayan yang sedang melayani pengunjung toko tersebut . Betapa takjubnya mataku menikmati keindahan tersebut . Kakak pelayan tersebut sangat tampan . Nyaris seperti malaikat yang dikutuk menjadi manusia bagiku . Dan bukan kali ini saja aku selalu memandangi kakak itu . Bahkan dari hari pertama aku bersekolah dan dia memberikan sebuket bunga tulip untuk perayaan 50 tahun SMA Bina Bangsa ke satpam sekolah dengan sangat ramah . Disaat itulah kami bertemu dan tersenyum padaku . Walau itu hal yang biasa bagi banyak orang tapi ada aliran tak jelas dalam darahku yang membuatku sedikit .. merinding mendapat senyumannya ? Oh Tuhan ...
“Dan Tugas untuk semester awal ini adalah .... Buatlah cerita singkat tentang apa yang kamu pikirkan tentang kehidupanmu .. Kalian hanya diberi waktu sampai 3 bulan kedepan, jadi pergunakan waktu kalian sebaik mungkin ya ... Terima kasih !” Ku bersihkan barang-barang di mejaku ke tas dan menengok ke belakang . “Hey ... Tadi itu nama guru itu siapa ?” “Hay hey ... Namaku Shinta ... Guru bahasa Indonesia tadi ? Bu Elly .. Mmmemang kau tak ingat namanya ? Padahal Bu Elly sudah ke kelas kita 5 kali lho ya...”Jawab anak yang bernama Shinta sambil menulis beberapa kalimat yang belum selesai ia tulis dari papan tulis . “Hahaha .. Bukan begitu ... Hanya saja ... Tugas yang diberi guru itu membingungkanku saja ... Eh Shinta ... Kau mau tidak kuajak ke toko bunga di depan sekolah itu ? Aku ingin membeli sesuatu ...” Pintaku padanya sembari berdiri dengan ransel coklatku , bersiap untuk keluar kelas . “Ah aku tak bisa Rian ... Hari ini aku harus segera pulang .. hehehe .. maaf ya ? Eh aku pinjam dulu ya catatan B.Indonesiamu ini .. Besok kukembalikan deh ... hehe.” Aku tersenyum tipis membalas jawaban Shinta yang secara halus menolak ajakanku dan tubuhku segera berlalu menuju gerbang sekolah .
Kumasuki toko itu dengan gaya wajah seperti pengunjung toko , sibuk melihat-lihat bunga-bunga dan sesekali berhenti pada sekeranjang bunga sambil berbingung ria mencari sesosok yang tak kunjung muncul . Setidaknya melayani pengunjungnya karena yang kumaksudkan adalah diriku sendiri disini dan tak ada pengunjung lain . Sepi sekali hari ini . Jangan sampai aku dongkol di tempat ini hah jangan! Sampai ada derap sepatu mendekati tempatku berdiri . Orang itu tak kunjung menegurku padahal aku yakin sekali dia sudah ada dibelakangku . Saat kuberbalik dan hal wajah yang kuinginkan itu kulihat saat ini . “Pilihlah bunga yang sesuai dengan hatimu ...”Katanya ramah . “A aku ... eh .. Kak ... aku ingin membeli bunga ini ..” Tunjukku asal dan ternyata kupilih bunga matahari . Gila bunga ini besar sekali bagaimana aku membawanya ?
Dan Hari itu adalah hari yang sangat indah karena bertemu kakak pelayan itu sekaligus memalukan bagiku . Padahal alasanku hanya ingin tahu nama kakak itu tapi karena keadaan aku terpaksa membeli dan tanpa membawa uang yang cukup . Untung kakak itu sangat baik padaku dan membolehkanku membayarnya di lain hari . Bunga besar itu kupajang disebelah foto ayah dan ibu yang terpajang dikamarku . Dan ketika 1 ,2 ,3 ,6 sampai sepuluh kali aku kesana toko selalu tutup . Kudengar dari orang-orang yang berjualan di dekat toko itu jika ia pergi keluar kota menjenguk orang tuanya yang selalu ia lakukan di akhir bulan . Aku terus menunggu kepulangannya . Aneh sekali . Padahal aku baru mengenal kakak itu , ah bahkan kupikir aku tak pantas menyebutnya “mengenal” karena aku belum tahu namanya . Tapi hatiku selalu menggumamkan lelaki itu . Lalu siapa dia ? Mengapa begitu sangat membuatku ingin selalu mendekatinya. Sampai teringatlah otakku dengan tugas Bahasa Indonesia yang memuakkan bagiku . Aku benar-benar tak memiliki inspirasi untuk menulis esai kehidupanku . Lebih tepatnya tak berminat . Apa yang perlu kutuliskan ? Kehidupanku saja tak semenarik teman-temanku yang lain . Dan karena pelajaran itu aku mengingat kematian kedua orang tuaku . Ah ... Menyebalkan sekali minggu ini !
Hari berikutnya . Aku pulang sekolah seperti biasa . Kulihat Toko yang tak berpengunjung itu . Tak sadar kakiku ini malah melangkah ke toko itu dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan . Bodoh !
“Kau ....”
Kulihat orang yang berbicara itu . “Pilihlah bunga yang sesuai dengan hatimu ..”Jawabnya dengan nada yang sama ketika kami bertemu di toko ini . “Aku tidak sedang ingin membeli bunga .. Aku hanya ingin tahu namamu kak ... Bolehkah aku mengetahui namamu ?”Jawabku. Kakak itu hanya terdiam . Kutanya sekali lagi namun ia hanya tersenyum melihatku dan meninggalkanku dengan sepucuk surat dan sebuket bunga mawar putih . Sepulang sekolah kubuka amplop berwarna hijau muda itu dan membacanya perlahan agar tak ada satu katapun terlewat agar aku benar-benar mengerti apa maksud surat yang diberi oleh kakak itu . Tiba pada pertengahan surat aliran air mengucur dengan cepat membasahi kedua pipiku . Kulihat bunga mawar putih itu dengan lekukan bibirku yang menyerupai bulan sabit . Dan kutengadahkan wajahku ke atap kamar . “Apa yang telah kupikirkan ini ....”.
“Baiklah .. Terima kasih Mira atas cerita yang telah kamu suguhkan, sangat inspiratif . Sekarang giliran ... Rianty Putri .. Silakan maju ke depan.” Pinta Bu Elly disusul dengan majunya diriku ke depan kelas.
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan .... Saya akan menceritakan kehidupan saya . Tema yang saya usung adalah Bahasa . Bahasa merupakan akses dimana kita bisa saling berkomunikasi dan berekspresi . Hal tersebut yang sering diremehkan oleh banyak orang seperti saya . Saya bahkan tak sempat memikirkan tema ini sebelumnya begitu pula mungkin dengan teman-teman yang lain sebelum saya mengalami suatu hal yang takkan pernah saya lupakan dalam diary saya . Bahasa merupakan bagian terpenting dalam kehidupan saya setelah saya disadarakan oleh seorang malaikat . Saya mengaguminya dari pertama kami bertemu . Malaikat itu selalu membuat detik-detik kehidupanku tak boleh sampai terlupakan . Sampai saya mengetahui darinya bahwa dia bukan malaikat . Dia mengatakan bahwa dia yatim piatu . Benar , saya juga yatim piatu namun dia tak pernah mengenal orang tuanya dan matanya pertama kali mengenal seorang nenek yang menemukannya di hulu sungai , tidak seperti saya yang masih sempat mengenal bahkan mendapat kasih sayang orang tua . Dia bukan malaikat karena dia tak pandai berbicara karena dia tak bisa mendengar . Dia hanya bisa berbicara dengan beberapa kalimat yang ia dapatkan dari pemilik toko bunga yang memperkerjakannya yang tidak lain adalah nenek yang telah mengasuhnya . Benar dia tuli namun dia tak pernah absen untuk menorehkan senyumnya karena dengan cara itulah dia ingin menyemangati kekurangannya juga orang lain . Maka dari itu aku selalu melihat dirinya lebih banyak tersenyum ketimbang berbicara , karena ia tak mungkin bisa mendengar apa yang orang katakan padanya . Tidak seperti saya yang banyak bicara dan banyak mengeluh tanpa memandang apa yang akan terjadi jika aku juga seorang tuli . Dan pada saat itulah ia memberikan sekeranjang mawar putih , bunga kesukaanya untukku dan menuliskan beberapa patah kata dan 1 kalimat yang masih terekam adalah.. “Gunakanlah tutur katamu yang indah itu untuk orang-orang di sekitarmu karena aku iri dengan orang-orang sepertimu yang lebih sempurna dariku ... Jangan pernah meremehkan bahasa , karena beliaulah teman yang membantu kemana kita menghadapi kehidupan .... Dari seseorang yang selalu kau tunggu di Toko Bunga , Rama .”
Dari situlah aku tak lagi membenci pelajaran Bahasa Indonesia yang selalu tak lepas dari pengalaman kehidupan karena yang selalu kuingat adalah kematian kedua orang tuaku karena kecelakaan. Tanpa bidang tersebut saya tak bisa mengatakan ‘Terima Kasih’ untuk malaikat yang bukan malaikat . Bingung ? Karena Kak Rama adalah malaikat versi Rian bukan malaikat bersayap putih dalam cerita dongeng .Dia telah membuka pikiran saya selama ini . Bahwa bahasa adalah milik kita dan kita tak boleh melupakan atas apa yang telah terjadi karenanya .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H